Menghadapi MEA 2015:
“Butuh Strategi Yang Berpihak Kepada Petani dan Nelayan”
Hasil studi yang dilakukan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) tentang Strategi Menghadapi Liberalisasi Pangan Dalam MEA 2015 menunjukan bahwa persoalan pangan di Indonesia akan terus mengalami ketergantungan terhadap impor dan meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran di sektor pertanian dan perikanan akibat liberalisasi sektor pangan dalam MEA 2015. Sehingga dibutuhkan strategi pangan berkeadilan yang berpihak kepada petani dan nelayan kecil.
Pemerintah telah menetapkan strategi industrialisasi pangan dalam menghadapi Liberalisasi pangan dalam MEA 2015, yakni melalui pembentukan Food Estate dalam MP3EI dan peningkatan hilirisasi industri dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah yang akan disahkan ke dalam Inpres. Hal ini akan meningkatkan peran korporasi dalam sektor pangan nasional yang berdampak terhadap peminggiran keberadaan petani dan nelayan Indonesia.
Pembangunan Food Estate telah meningkatkan nilai investasi di Koridor Ekonomi (KE) Merauke dan Kalimantan. Data BKPM menyebutkan terjadi peningkatan nilai investasi, yakni Pada 2012 nilai investasi di KE Kalimantan terhitung mencapai Rp.45,6 Triliun dan di KE Merauke, Papua telah mencapai Rp.12,4 Triliun. Dan pada 2013 nilai investasi tersebut meningkat yang mencapai hingga Rp.27,8 Triliun di KE Merauke, Papua, dan sebesar Rp.55 Triliun di KE Kalimantan.
Peningkatan investasi ini juga memiliki dampak besar. Tercatat pertumbuhan korporasi pangan sebesar 3,7% (155 perusahaan) hingga 2013 harus dibayar dengan hilangnya jumlah petani (tanaman pangan) sebesar 979.980 orang dan nelayan (perikanan tangkap) sebesar 704.542 orang. Bahkan peningkatan ini akan mendorong pengambil-alihan dan konversi lahan secara besar oleh korporasi. Pertumbuhan penguasaan lahan oleh korporasi sebesar 24,57% hingga 2013 (dengan luas 5.000-30.000 Ha) harus dibayar dengan hilangnya akses petani kecil terhadap lahannya (luas lahan 0-5000) sebanyak 5.177.195.
Strategi industrialisasi pangan yang dipilih Pemerintah juga berdampak terhadap kedaulatan pangan nasional. Hal ini karena dalam industrialisasi pangan yang dijalankan oleh korporasi akan melakukan Produksi pangan yang difokuskan pada tanaman pangan industri atau cash crop seperti sawit, karet, coklat, jagung, kedelai, dan gandum guna memasok kebutuhan bahan baku industri yang berorientasi ekspor. Sehingga, akan terjadi dis-orientasi dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional dan pada akhirnya menggantungkan kembali kepada impor.
Misalnya, pembangunan Food Estate di Merauke dan Kalimantan telah mendorong peningkatan investasi korporasi pangan secara signifikan yang sebagian besar digunakan untuk menanam tanaman pangan yang memang menjadi bahan baku industri pangan olahan. Seperti, PT.Indofood yang akan menanam tebu dan sawit, PT. Sinar Mas Group menanam sawit, Solaria Group (restaurant) menanam padi, kedelai, dan budidaya ikan tawar, serta Unilever yang juga akan menanam sawit sebagai bahan baku industrinya.
Namun, sepertinya strategi industrialisasi pangan yang dipilih pemerintah seolah melupakan persoalan klasik di sektor pangan selama ini, yakni kemiskinan yang dihadapi oleh petani dan nelayan. Pasca berlakunya AFTA 2003, kemiskinan petani dan nelayan di pedesaan tidak juga membaik. Data BPS masih menunjukan terjadi peningkatan angka kemiskinan di pedesaan sebesar 17,92 juta orang per September 2013.
Kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor klasik yang berdampak terhadap penurunan daya saing petani dan nelayan kecil, yakni (1) ketergantungan Indonesia terhadap produk pangan impor; (2) tingginya biaya produksi akibat subsidi yang tidak tepat sasaran dan ketergantungan terhadap input eksternal; (3) peran BULOG yang hilang dalam melakukan intervensi harga; (4) Hilangnya akses atas tanah akibat pengambil-alihan lahan untuk kepentingan industri/perkebunan dan pembangunan.
Dalam Rancangan Inpres Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam Menghadapi MEA 2015, tidak terlihat keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Pemerintah hanya akan menambah akses permodalan dan peningkatan kapasitas untuk peningkatan standar mutu produksi pangan. Namun, persoalan klasik yang dihadapi petani dan nelayan tidak masuk dalam strategi yang disiapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing petani dan nelayan.
Petani dan nelayan tetap diletakan diposisi terbawah dalam rantai produksi pangan. Tidak ada nilai tawar yang tinggi terhadap hasil produksi petani. Hal ini karena korporasi dalam praktek agri-bisnis (industrialisasi pangan) telah mengambil kontrol atas segi hulu-hilir dalam sektor pangan, seperti penentuan harga (pricing), produksi, suplai inputs, komodifikasi pangan, distribusi, hingga pengetahuan. Pada akhirnya Kedaulatan petani menjadi hilang.
Untuk itu, MEA 2015 harus dijadikan momentum bagi Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan/pembudidaya kecil melalui pemberdayaan dan peningkatan daya saing. Untuk itu butuh strategi yang berpihak kepada petani dan nelayan kecil, yaitu dengan kebijakan pangan yang berkeadilan untuk mengembalikan kedaulatan petani dan nelayan atas kontrol hulu-hilir produksi pangan dapat kembali.
Oleh karena itu, strategi pangan berkeadilan yang berpihak kepada petani dan nelayan kecil harus segera didorong kepada Pemerintah untuk segera diterapkan. Studi IGJ telah merangkum strategi tersebut yang diambil dari masukan berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia termasuk organisasi petani dan nelayan di beberapa daerah, yakni:
Kontrol Hulu
- Penerapan konsepsi agroekologi dalam kebijakan pertanian dan perikanan indonesia untuk menggantikan konsepsi agroindustri;
- Penguatan dan perluasan organisasi petani, nelayan, dan pembudidaya ikan kecil yang bekerja secara kolektif baik dalam kegiatan produksi, peningkatan kapasitas, maupun pemasaran (bisa dalam bentuk koperasi);
- Mengevaluasi seluruh kebijakan subsidi pertanian dan perikanan indonesia yang tidak tepat fungsi dan sasaran;
- Mendorong reforma agraria dan pembentukan kelembagaan reforma agraria;
- Mengembalikan peran BULOG untuk mengontrol produksi dan ketersediaan pangan nasional yang tidak terbatas pada beras tetapi kepada seluruh bahan pangan pokok seperti jagung, gula, kedelai, daging, ikan, dan lain sebagainya. Hal ini untuk mengendalikan harga pangan yang selalu berfluktuasi.
Kontrol Hilir
- Penerapan HPP pada seluruh produk pangan pokok untuk memberikan kepastian harga bagi petani dan nelayan, sehingga tidak terjebak pada praktek tengkulak yang merugikan.
- Mengembalikan peran BULOG yang pernah berperan sebagai stabilisasi harga pangan nasional.
- Kontrol impor kepada satu lembaga pangan tunggal (bisa kepada BULOG) dan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar.
- Peningkatan kapasitas dan skill petani dan nelayan dalam kegiatan nilai tambah produksi.
- Dukungan permodalan yang kuat untuk melakukan kegiatan pengolahan dalam rangka memberikan nilai tambah terhadap hasil produksi pertanian dan perikanan yang dikontrol langsung oleh organisasi petani, nelayan, dan pembudidaya ikan Indonesia.
Dari seluruh rumusan diatas, yang paling terpenting dari strategi ini adalah peran negara/pemerintah dalam melindungi petani dan nelayan/pembudidaya ikan kecil dari penerapan perjanjian perdagangan bebas yang merugikan kepentingan nasional. Perlu suatu terobosan baru dalam kesepakatan internasional yang dapat melindungi kebijakan perlindungan (safeguard) untuk petani dan nelayan yang dibuat oleh Pemerintah dari sanksi hukum dalam suatu perjanjian internasional.
Pembentukan kebijakan safeguard ini sangat penting bila nantinya strategi kontrol hulu-hilir telah diterapkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perlu ada perlindungan hukum pada level internasional untuk menjamin bahwa kebijakan nasional yang diterapkan tidak akan digugat secara hukum. Apalagi, mayoritas negara ASEAN adalah negara yang berbasis pada pertanian juga memiliki kepentingan untuk melindungi petani dan nelayan kecil dari potensi ancaman integrasi ekonomi ASEAN.
Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan Pemerintah pada level internasional untuk melindungi petani dan nelayan kecil dari ancaman MEA 2015 serta memperkuat petani dan nelayan kecil Indonesia dalam pertanian nasional, adalah:
- Kembali memperjuangkan Proposal G33 di WTO yang membolehkan negara memberikan subsidi pertanian yang tidak terbatas untuk kepentingan kesejahteraan petani kecil.
- Mendorong pembentukan aturan Fleksibilitas (pengecualian dan perlakuan khusus) atas kebijakan nasional yang dikeluarkan dalam rangka melindungi petani dan nelayan kecil dari ancaman integrasi ekonomi ASEAN di sektor Pangan.
- Optimalisasi FAO-RAI dan VGSSF.
****
Sekretariat Indonesia for Global Justice
Jl.Tebet Barat XIII No.17, Jakarta 12810
Tel&Fax: +62-21-8297340 – Email: igj@igj.or.id