JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengevaluasi 67 perjanjian kerja sama investasi bilateral. Rencana itu harus dicermati. Jangan sampai revisi materi perjanjian justru memperkuat dominasi investor sehingga mengabaikan kepentingan nasional. Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik mengatakan, pemerintah berencana mengevaluasi sedikitnya 67 perjanjian kerja sama investasi bilateral (BIT) yang sebelumnya telah ditandatangani. Menurut Riza, kebijakan ini perlu direspons karena membawa konsekuensi pada pemerintahan berikutnya. “Kami berharap hasil evaluasi akan lebih berpihak pada kepentingan nasional, bukan malah semakin menguntungkan investor,” ujar Riza di Jakarta, akhir pekan lalu. Riza menilai kebijakan mengevaluasi BIT sebagai reaksi pemerintah atas maraknya gugatan terhadap Indonesia terkait penggunaan BIT.
Sebelumnya, Churchill Mining menggugat Pemerintah Indonesia 2 miliar dollar AS melalui badan arbitrase intemasional atau The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) dengan menggunakan BIT Indonesia-Inggris. Gugatan ganti rugi sengketa lahan itu kemudian turun menjadi 1,05 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12,075 triliun. Peneliti IGJ, Salamuddin Daeng, mengatakan, rencana mengevaluasi BIT perlu didukung sekaligus dicermati. Selama ini, sebagian isi perjanjian BIT berpihak pada kepentingan investor. Revisi itu semestinya memperbaiki posisi tawar Indonesia. Menurut Daeng, sejumlah poin yang tidak berpihak pada kepentingan nasional tertuang dalam BIT. Hal itu antara lain fasilitas yang berlebihan terhadap investor. Transfer hasil keuntungan investor ke negara asai juga tidak dibatasi. Daeng membandingkan dengan sejumlah negara lain yang mensyaratkan keuntungan harus disimpan terlebih dahulu pada perbankan setempat sebelum ditransfer ke negara asal. BIT juga belum mengatur ketentuan transfer teknologi dari investor kepada pekerja lokal.
Lebih cermat
Pemerintahan mendatang selayaknya lebih mencermati isi perjanjian ekonomi menyeluruh. Hal itu meliputi investasi, perdagangan, jasa, dan hak kekayaan intelektual dalam skema Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) berdasarkan perdagangan bebas antara Indonesia dan Uni Eropa. Daeng melanjutkan, pemerintah perlu mempertimbangkan sejumlah poin dalam mengevaluasi isi BIT. Hal itu seperti jaminan atas risiko usaha, insentif pajak, penghindaran pajak berganda, kerangka hukum yang menjamin keuntungan dan melindungi investor dari berbagai laktor, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat di lokasi investasi, perlindungan atas kearifan lokal, serta pemanfaatan konten lokal. Berdasarkan data Badan Kooidinasi Penanaman Modal, realisasi investasi negara-negara Uni Eropa ke Indonesia tahun 2001-2010 mencapai 1.434 proyek dengan nilai 11,8 miliar dollar AS. Adapun investasi tahun 2011-2013 sebanyak 1.856 proyek bernilai 6,87 miliar dollar AS. (ITA)