Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama dengan 11 LSM lainnya menyesalkan putusan yang dijatuhkan oleh MK terhadap UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). MK menolak secara keseluruhan permohonan pengajuan beberapa pasal dalam UU Pangan pada 3 Desember 2014 dengan beberapa pertimbangan seperti dalam Pasal 3 UU Pangan yang menurut MK secara tegas telah mengakui, melindungi, menjamin, mengatur, dan memberikan kepastian hukum bahwa “kebutuhan dasar manusia” yang paling utama adalah berupa pangan. Dengan pertimbangan itu, Pasal 3 UU Pangan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada prakteknya, pasal 3 dan pasal 36 UU Pangan telah menyulitkan pemenuhan hak atas pangan dan berimbas pada tidak jelasnya tanggung jawab negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak warga negara atas pangan. Negara juga kemudian berhak membuka keran impor atas dasar pemenuhan pangan yang nyata telah merugikan petani kecil. Standar hak atas pangan seharusnya diarahkan pada sumber daya terkait pangan yang mencakup akses, partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap pangan. Dengan mempertimbangkan aspek kecukupan dan keberlanjutan atas ketersediaan dan akses pangan. Jadi ada banyak hal yang perlu dilihat terkait dengan hak atas pangan ini.
Terhadap pengujian Pasal 53 yang mengatur larangan bagi pelaku usaha pangan untuk menimbun atau menyimpan kebutuhan pangan pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana telah ditentukan dalam UU ini, Mahkamah menilai memang seharusnya tidak ada pengecualian bagi pelaku usaha kecil karena dengan adanya pengecualian bagi pelaku usaha kecil justru akan memberikan ketidakadilan bagi pelaku usaha lainnya.
IGJ berpendapat bahwa tidak adanya pengecualian pelaku usaha kecil dapat membuka peluang bagi para pengusaha besar melakukan kartel harga pangan. Hal ini tentunya merugikan petani kecil dan perseorangan.
Dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Terkait ketentuan dalam Pasal 36, menurut Mahkamah, keberlakuan Pasal 36 ayat (3) UU 18/2012, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan institusi atau lembaga yang menentukan kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan masyarakat. Mengingat pengertian pangan sangatlah luas, Mahkamah menilai tidak mungkin kewenangan di bidang pangan dikelola oleh suatu kementerian tertentu saja, karena selain lingkup tugasnya yang sangat luas, soal pangan juga diatur dan menjadi tanggung jawab kementerian lainnya. Atas dasar pertimbangan tersebut maka menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU 18/2012 tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menurut pendapat IGJ, dengan tidak adanya lembaga atau kementrian yang bertanggung jawab terhadap kecukupan pangan di tanah air, Kementerian-Kementerian tidak mau bertanggung jawab terhadap siapa yang berhak memenuhi kebutuhan atas pangan. Kepastian ini menjadi penting sekali mengingat koordinasi antar sector di pemerintahan sangatlah lemah.
Terhadap permohonan pengujian Pasal 69 huruf c UU Pangan yang mengatur produk pangan hasil rekayasa genetik, Mahkamah menilai hal tersebut juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, telah menjadi tanggung jawab Negara untuk mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga seluruh warga negara secara merata di seluruh wilayah Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
Menurut pendapat Lutfiyah Hanim, saksi ahli dalam UU Pangan, mempertanyakan kelembagaan yang mengatur produk transgenik pangan yang ada di tanah air. Tanggung jawab negara seharusnya tidak hanya pada ketersediaan pangan tetapi juga mencakup keamanan pangan.