Bisnis.com, JAKARTA—Evaluasi maupun kelanjutan perundingan perjanjian bilateral dengan Jepang dan Korea Selatan tak mungkin tuntas di periode Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua.
Perjanjian dengan dua negara itu tercakup dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
Evaluasi dan perundingan dua perjanjian bilateral itu mesti dilanjutkan di era pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Penyebabnya bukan Indonesia tidak siap, melainkan dari kubu mitra yang tak kunjung memberikan kepastian proses selanjutnya.
Dirjen Kerja sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Agus Tjahajana Wirakusumah menyatakan dalam IK-CEPA pihaknya tengah menunggu kesediaan Korea agar bersedia merespon usulan Indonesia yang diajukan saat pertemuan ke-7.
Sementara dalam pertemuan dengan Jepang terkait IJEPA pada September 2014, hanya membahas term of refencerence (TOR).
TOR akan dipakai sebagai pedoman dalam peninjauan ulang lima tahunan IJEPA. Tapi pemerintah Jepang sendiri belum memberikan kepastian kapan review akan dilakukan.
“Dengan Jepang kami baru membahas TOR, sedangkan Korea lebih mementingkan menyelesaikan negosiasi dengan negara lain lebih dulu,” kata Agus saat dihubungi Bisnis, Selasa (7/10/2014).
Permintaan evaluasi IJEPA diajukan Kemenperin sejak Agustus 2013.
Pasalnya selama lima tahun perjanjian ini berlangsung Indonesia merasa dirugikan. Kooperasi antara Indonesia dan Jepang di bidang perekonomian itu berlangsung sejak 2008.
Nasib perundingan kerja sama dagang dengan Korea Selatan dalam IK-CEPA tak lebih baik daripada IJEPA.
Pembicaraan mandeg sampai pertemuan ke-7 pada akhir Februari 2014. Kemenperin memastikan bukan RI yang mengajukan penghentian negosiasi melainkan Korsel.
Pada pertengahan Agustus 2014, duta besar Korsel untuk Indonesia sempat menemui menteri perindustrian mengutarakan kenginginan pemerintahnya untuk melanjutkan negosiasi IK-CEPA. Tapi sampai sekarang belum ada kepastian soal perundingan ke-8.
Perundingan IK-CEPA tertahan karena pemerintah Korea enggan menyetujui klausul yang diajukan RI. Negeri Garuda bersedia meringankan bea masuk menjadi 0% asalkan Negeri Gingseng siap membawa masuk investasi di sektor tertentu ke Indonesia.
Direktur Kerjasama Industri Internasional Wilayah II dan Regional Kemenperin Restu Yuni Widayati memastikan IK-CEPA bakal menjadi pekerjaan rumah bagi menteri perindustrian selanjutnya. Sejauh ini belum ada sinyal positif Negeri Gingseng bakal menyetujui permintaan Indonesia.
“Dua perjanjian bilateral ini belum tentu juga langsung gol di pemerintahan baru. Bisa saja presiden mendatang butuh waktu untuk pelajari dulu,” tuturnya.
Negosiasi RI dan Korsel belum beranjak dari tarik ulur pembukaan pos tarif. Negeri Gingseng membuka 376 pos tarif serta meminta RI membuka 114 pos tarif lain.
Sementara Indonesia sudah membuka 226 pos tarif lantas menginginkan Korsel buka 81 pos tarif lagi.
Dari segi daya saing, Indonesia jelas di bawah Korea Selatan. Oleh karena itu, pemerintah bersikeras menginginkan adanya klausul soal jaminan investasi demi memproteksi kinerja industri di Tanah Air.
Peringkat daya saing RI dalam Global Competitiveness Index versi World Economic Forum (WEF) pada 2013 – 2014 berada urutan ke-38 dari 148 negara yang disurvei.
Padahal untuk periode yang sama Negeri Gingseng bertengger di posisi ke-25.
Sumber : http://finansial.bisnis.com/read/20141007/9/263008/perundingan-bilateral-dengan-jepang-korsel-jadi-pr-jokowi?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter&dlvrit=1368482