Jakarta, 3 September 2015. Seiiring meningkatnya kasus gugatan investor terhadap Indonesia di International Centre for Settlement on Investment Disputes (ICSID), Pemerintah meminta agar 64 BITs yang telah ditandatangani Indonesia segera dikaji kembali. Pemerintah Indonesia kemudian membentuk tim kajian yang bernama Tim Ahli Bilateral Investment Treaty (BIT).
Bulan lalu, Indonesia for Global Justice (IGJ) mendapat kesempatan untuk berdiskusi secara khusus dengan Hadi Rahmat Purnama, salah satu anggota Tim Ahli Kajian Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia atau disebut juga dengan Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M).
Model BITs yang lama tentunya sangat merugikan Indonesia, apalagi sebagai negara pengimpor investasi (investment importing country). Ketentuan agar Host State memberikan perlindungan kepada investor asing melalui iklim regulasi yang kondusif bagi investasi telah berdampak sangat serius dalam sebuah Negara yang berdaulat.
BITs telah menghilangkan Hak Negara untuk mengatur (The Rights of State to Regulate) yang berdampak pada hilangnya perlindungan hak-hak masyarakat yang selama ini terampas akibat tindakan oleh korporasi yang dilegalisasi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Perubahan terhadap peraturan perundang-undangan nasional yang kemudian berdampak terhadap kerugian investor akan dianggap melanggar ketentuan perjanjian yang akhirnya menyebabkan Indonesia digugat ke lembaga arbitrase internasional yang nilainya mencapai miliaran dollar.
Perlindungan HAM dan Pertanggungjawaban Investor
Dalam diskusi, Hadi menjelaskan bahwa dari penelitian tim ahli telah menghasilkan sebuah draft model BITs Indonesia yang baru dengan ketentuan-ketentuan yang dianggap lebih ampuh dalam melindungi kepentingan nasional. Draft model BITs yang baru ini hendak menuntut kewajiban tidak hanya Negara Tuan Rumah (Host State) tetapi juga kewajiban Negara Asal Investor (Home State) dan investor itu sendiri.
Draft yang baru tidak hanya mengkritisi beberapa ketentuan BITs model lama yang dianggap paling kritis, seperti definisi investasi, fair and equitable treatment, expropriation, mekanisme penyelesaian sengketa, dan survival clause. Namun, upaya untuk memasukan ketentuan perlindungan bagi hak-hak masyarakat menjadi pemikiran utama dalam penyusunannya.
Terdapat satu bab khusus dalam draft model BITs baru yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban Investor dan Negara yang menjadi para pihak dalam perjanjian, yang isinya memuat ketentuan seperti: kewajiban umum terhadap korupsi (common obligation against corruption); standard minimum untuk HAM, lingkungan, dan tenaga kerja; prinsip-prinsip penyelenggaraan perusahaan yang baik; pertanggungjawaban investor; Hak Negara untuk mengatur, hak untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan; serta ketentuan pengecualian umum (General exception) terkait dengan perlindungan terhadap kesehatan, moral public, dan keamanan Negara.
Argumentasi yang muncul dalam penelitian Tim Ahli bahwa perkembangan instrument hukum HAM internasional harus diakui (recognize) dalam standar BITs. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab Negara dalam memberikan perlindungan dan penegakan HAM oleh Host State. Selain itu, kewajiban Investor untuk menghormati HAM dalam menjalankan bisnisnya harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip yang telah disusun oleh John Ruggie dalam The General Principle on Business and Human Rights.
Yang paling menarik dalam draft model BITs Indonesia yang terbaru, prinsip Extraterritorial Obligations akan diterapkan dalam meminta pertanggungjawaban Investor. Hal ini tercermin dalam ketentuan tentang ‘Pertanggungjawaban Investor Di Negara Asalnya (The Liability of Investor in The Home State)’. Tim ahli menilai bahwa dengan adanya klausul ini maka setiap tindakan investor yang dapat menimbulkan kerugian di negara penerima investasi akan dapat digugat negara asalnya. Hal ini didasari atas doktrin forum non-conveniens.
Dalam mengomentari tentang mekanisme penyelesaian sengketa, Hadi menjelaskan bahwa mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) di dalam model BITs Indonesia yang baru akan tetap ada karena Indonesia adalah anggota dari ICSID Convention. Hanya saja diperlukan sebuah strategi jitu untuk menghindarinya, seperti memasukan ketentuan hak gugat balik oleh Negara penerima investasi (Host State) yang diatur dalam ketentuan Hak Negara Tuan Rumah Terkait Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: “The Host State may initiate a claim or file a counterclaim (as the case may be) against the investor……”
Undang-undang Penanaman Modal Harus Direvisi
Dengan adanya model baru perjanjian perlindungan investasi yang dimiliki oleh Indonesia, maka revisi Undang-undang Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 harus segera dilakukan. Hal ini karena isi Undang-undang Penanaman Modal tersebut sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai perlindungan kepentingan nasional yang diatur dalam draft model BITs Indonesia yang baru.
Hadi juga menambahkan bahwa ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Penanaman Modal sangat liberal dan mengadopsi secara langsung model BITs yang lama tanpa memperhitungkan perlindungan kepentingan nasional didalamnya. Bahkan, Hadi mengingatkan tentang pentingnya Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan perundingan-perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) yang didalamnya ada bab tentang investasi. Ataupun melakukan review terhadap FTA yang telah ditandatangani seperti: ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), Indonesia-China Economic Parthership Agreement, dan lain-lain.
Terlebih lagi komitmen yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam seluruh perjanjian perdagangan jasa, baik itu dalam World Trade Organization (WTO) maupun secara bilateral dalam FTA, harus juga direview. Hal ini karena akan ada ketidaksesuaian antara komitmen yang diikat pemerintah dalam perjanjian investasi yang menggunakan pendekatan list negatif dengan perjanjian jasa yang menggunakan pendekatan list positif.
Saat ini, draft model BITs Indonesia telah masuk dalam tahap legal drafting yang dikoordinatori oleh Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM). Pengawalan terhadap penyusunan draft ini harus terus dilakukan, khususnya dalam mempertahankan ketentuan-ketentuan yang memuat perlindungan HAM dan pertanggungjawaban investor.
******
Untuk informasi, hubungi:
Rachmi Hertanti
Manager of Knowledge Management
Indonesia for Global Justice
Email: rachmihertanti@gmail.com / amie@igj.or.id
Atau Sekretariat IGJ di email: igj@igj.or.id