IGJ Monitoring on FTAs
Perundingan Kerjasama Komprehensive Ekonomi Regional ASEAN (RCEP):
“Ingin Menghadang AS di ASEAN, China Mendorong RCEP Selesai”
Tak terasa perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) telah memasuki putaran kesepuluh. Perundingan ini menambah catatan “warning” bagi Indonesia yang telah banyak meratifikasi Free Trade Agreement (FTA). Alih-alih menguatkan perekonomian domestik, justru policy space Indonesia semakin lemah sebagai negara yang mempunyai potensi besar dari sumber daya manusia dan sumber daya alam.
RCEP merupakan Mega Block Trading yang mempunyai kemiripan model perdagangan bebas dengan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang di-drive oleh Amerika Serikat. Kawasan ini melibatkan hampir 3 milyar manusia, market share yang mencapai 27 persen dari perdagangan global, dan capaian PDB sekitar USD 21 triliun.
Putaran Busan & Tekanan Terhadap TPP
Perundingan RCEP di Korea yang berlangsung dari tanggal 12-16 Oktober 2015, merupakan putaran kesepuluh dari serangkaian negoisasi RCEP. Negosiasi RCEP ini difokuskan pada pengaturan pedoman komprehensif tentang: akses pasar, liberalisasi di bawah perjanjian mega perdagangan bebas, dan pemilihan sektor yang akan diliberalisasi dari setiap negara. Dalam sambutannya, Wakil Menteri Perdagangan Korea Selatan Moon Jae-Do mengatakan bahwa RCEP menjadi pondasi untuk mempercepat integrasi ekonomi di Asia Timur.
Menariknya, pada 5 Oktober 2015, jauh sebelum berlangsungnya perundingan ini, TPP yang dikomandoi AS telah mencapai kesepakatan yang menyatukan 12 negara yang mampu menyumbang sekitar 40 persen dari ekonomi global. Ke 12 negara tersebut adalah Australia, Brunei Darussalam, Chile, Japan, Malaysia, Mexico, New Zealand, Peru, Singapore, United States of America, Korea Selatan, dan Vietnam.
Dengan tercapainya TPP, perundingan RCEP kali ini mendapatkan tekanan cukup besar dimana China mendorong agar perundingan RCEP bisa segera tercapai. Hal ini karena TPP akan menciptakan kompetisi yang ketat terhadap China akibat beberapa negara seperti Jepang, Vietnam, dan Korea Selatan bergabung di TPP. Yang artinya, sebagai anggota TPP akan memiliki akses bebas tariff baik ke Amerika maupun ke negara-negara anggota TPP lainnya. Hal ini tentunya akan merugikan China. Bank Sentral China memperkirakan bahwa China akan kehilangan pertumbuhan sebesar 2,2% terhadap produk domestik bruto karena tidak bergabung dengan TPP.
Inisiatif perdagangan bebas bebas yang melibatkan 10 negara anggota ASEAN dan 6 negara mitra ekonomi ASEAN ini dilakukan oleh China, dalam upaya untuk menghadang keinginan Amerika Serikat untuk menguasai perdagangan di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Bahkan upaya China tersebut juga diarahkan untuk memblok AS dalam memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik dengan mewacanakan untuk membentuk Free Trade Area of the Asia Pacific (FTA-AP) yang diusulkan pada pertemuan APEC tahun lalu di Beijing. Tentunya perkembangan TPP dan RCEP akan menjadi salah satu fokus pembicaraan dalam pertemuan APEC di Manila November 2015.
Perundingan Bab Investasi
Dalam pertemuan Para Menteri Perdagangan Negara-negara perunding RCEP pada 24 Agustus 2015 yang lalu mendesak percepatan penyelesaian perundingan RCEP pada 2016. Beberapa perjanjian yang dirundingkan terkait perdagangan barang, jasa, investasi, kerjasama ekonomi dan teknis, kekayaan intelektual, (termasuk paten pada obat-obatan, hak cipta, indikator geografis, sumber daya genetik, dll), kompetisi, dan penyelesaian sengketa. Bahkan muncul bab baru terkait dengan Jasa Keuangan, Telekomunikasi dan Electronic Commerce.
Terkait dengan perundingan investasi di RCEP, muncul kembali kekhawatiran terkait dengan diterimanya Proposal Korea Selatan dan Jepang yang memasukan klausul tentang Investor-State Dispute Settlement (ISDS) mechanism yang diambil dari perjanjian perlindungan investasi bilateral dan teks TPP. Dengan adanya mekanisme ISDS dalam RCEP tentunya ini adalah sebuah kemunduran bagi proses review BIT yang sedang dilakukan oleh beberapa negara seperti Indonesia. Sehingga seharusnya menolak masuknya mekanisme ISDS ke dalam bab investasi RCEP.
Pada putaran perundingan kesepuluh ini, perhatian penting juga tertuju pada proposal India yang menawarkan konsep Most Favoured Nation (MFN) yang memasukan dua elemen penting yaitu ‘pre-establishment’ and ‘post-establishment’. Komitmen pre-establishment mewajibkan negara tuan rumah untuk memberikan perlindungan kepada investor asing selama proses investasi dibuat. Sedangkan Komitmen post-establishment, mengacu pada perlindungan yang ditawarkan selama siklus hidup investasi.
Sebelumnya, India memberikan status MFN untuk investor asing hanya setelah investasi dibuat-post establishment. Namun, AS menuntut kepada India memberikan status MFN pada tahap pre-establishment, inilah yang menjadi alasan utama tertundanya usulan BIT India-AS.
Hasil riset Komisi Hukum India tentang model BIT menunjukkan bahwa tidak adanya ketentuan MFN akan mencegah investor asing terlibat dalam “treaty shopping”. Untuk menghindari kesewenang-wenangan investor asing di dalam BIT, diperlukan keseimbangan antara regulasi dengan perlindungan investasi. Untuk mencapai keseimbangan ini, India dapat mengusulkan bahwa ketentuan MFN cakupannya terbatas pada tindakan domestik. Hal ini akan memastikan perlakuan non-diskriminatif kepada investor asing, dan pada saat yang sama, tidak akan mengizinkan investor asing untuk “sewenang-wenang”dalam perjanjian tersebut.
Kilas Balik RCEP
RCEP diinisiasi oleh 16 pimpinan negara yang tergabung di dalam East Asia Summit pada 20 November 2012. RCEP merupakan forum negosiasi FTA yang terdiri dari 16 negara yaitu 10 negara di ASEAN ditambah Australia, China, India, Japan, Korea, dan New Zealand.
Sebelumnya, Perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) di Kuala Lumpur, (25/08/2015) lalu, berhasil mencapai kesepakatan tentang modalitas perdagangan barang, yang menjadi pelengkap modalitas lainnya: jasa dan investasi. Perundingan dilakukan di sela-sela acara Pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) ke-47. Hasil pertemuan tersebut menjadi arahan bagi proses perundingan Paket Permintaan dan Penawaran (Request and Offer) pada pertemuan di Busan Korea Selatan pada 12-16 Oktober 2015 ini.
Selama kurang lebih empat tahun, terjadi sembilan putaran perundingan. Perundingan perdana diselenggarakan di Brunei Darussalam pada 9-13 Mei 2013. Pada perundingan tersebut terbentuklah tiga group kerja: barang, jasa, dan investasi. Berbagai dinamika negoisasi antar peserta perundingan, tampak mulus dalam menetapkan modalitas perdagangan jasa dan investasi. Sedangkan untuk investasi, baru disepakati pada perundingan yang berbarengan dengan pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) di Kuala Lumpur , Malaysia (25/08) lalu.*
Tim Penyusun
Niko Amrullah Rachmi Hertanti
Advocacy & Campaign Staff IGJ Research & Monitoring Manager IGJ
nikoamroe@gmail.com rachmihertanti@gmail.com
Sekretariat IGJ
Jl. Duren Tiga Raya No. 9 Jakarta 12760
Tel: +62 21 7941655
Fax: +62 21 7941649
Website: www.igj.or.id
Email: igj@igj.or.id
Sumber informasi:
http://news.xinhuanet.com/english/2015-10/13/c_134709994.htm
https://igj.or.id/update-on-the-regional-comprehensive-economic-partnership-agreement-ngo-briefing/