UU Minerba Direvisi:
“Perlu Ada Strategi Untuk Menghindar Dari Gugatan ISDS”
Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) No.4/2009 masuk menjadi daftar UU yang akan direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada indikasi bahwa tahun 2016 ini pembahasan selesai dan bisa segera disahkan.
Terhadap rencana pembahasan perubahan UU Minerba dari materi versi pemerintah, Indonesia for Global Justice (IGJ) melakukan kritisasi, bersama-sama dengan kelompok masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam “Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Minerba”, antara lain; JATAM, ICEL, PWYP, ICW, WALHI, KIARA, AMAN, PATTIRO, HuMA, IGJ, Article 33, Solidaritas Perempuan, Epistema Institute, FWI dan AURIGA. Koalisi ini menolak RUU versi Pemerintah yang dibuat melalui Kementerian ESDM.
Alasan Revisi
Berdasarkan dokumen naskah akademik yang disusun oleh Pemerintah, setidaknya ada beberapa hal yang dijadikan dasar untuk melakukan revisi atas UU No 4 tahun 2009 tentang mineral dan perbatubaraan: pertama, tidak efektifnya UU No.4 Tahun 2009 dalam pelaksanaanya. Hal itu terlihat dari seringnya dilakukan yudicial review atas UU. No. 4. Tahun 2009 di Mahkamah Konstitusi yang mengakibatkan perubahan substansial dalam UU tersebut; kedua, terjadinya disharmoni dengan beberapa undang-undang sektor lain yang mengubah secara drastis dan fundamental penyelenggaraan perbatubaraan mineral dan batubara, khususnya harmonisasi dengan UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah;
ketiga, adanya beberapa ketentuan di dalam UU No. 4 Tahun 2009 yang tidak implementatif, sehingga terjadi stagnasi dalam proses penyelenggaraannya khususnya terkait dengan upaya renegosiasi Kontrak Karya, baik dalam hal pembangunan industri hilirasasi maupun kewajiban divestasi saham; keempat, adanya kebutuhan hukum di bidang perbatubaraan yang perlu diakomodir dalam suatu undang-undang perbatubaraan mineral dan batubara yang akan mengubah/menggantikan UU No. 4 Tahun 2009.
Menariknya, upaya revisi ini menimbulkan kesan yang cukup kuat terkait dengan desakan kepentingan korporasi tambang besar untuk melakukan penundaan pelaksanaan pembangunan industri hilirasasi maupun kewajiban divestasi saham. Hal ini karena dilakukan ditengah massifnya tuntutan Freeport dan Newmont yang meminta relaksasi dari Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan kewajiban pemurnian dan pembangunan industri hilir disektor ini. Kewajiban inilah yang sempat digugat oleh Newmont walaupun pada akhirnya dicabut kembali.
Gugatan ISDS Memperlemah Posisi Tawar Negara
Pemerintah Indonesia seharusnya menjadikan Gugatan Newmont di ICSID (International Center for the Settlement of Investment Disputes) sebagai pengalaman yang dapat mendorong penguatan strategi Indonesia dalam melindungi kepentingan nasional atas penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh korporasi multinasional. Keberadaan mekanisme gugatan antara Investor dengan Negara atau Investor-State Dispute Settlement (ISDS) hanya akan terus memperlemah posisi tawar negara dalam melindungi kepentingan nasional, khususnya di sektor industri ekstraktif.
Sebagai contoh nyata, Gugatan Newmont terhadap Pemerintah Indonesia di ICSID pada 2014 hanya memperlemah posisi tawar Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan kewajiban hilirisasi dan pelarangan ekspor konsentrat yang diatur dalam UU Minerba No.4/2009. Hasil dari tindakan Newmont tersebut berakhir pada keberhasilan Newmont yang mendapatkan izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan ekspor konsentrat tanpa harus merealisasikan pembangunan industri pemurnian terlebih dahulu.
Dari pengalaman gugatan Newmont semakin memperjelas bahwa Revisi UU Minerba bukanlah jalan keluar yang harus dipilih oleh Pemerintah Indonesia terkait sulitnya implementasi kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kewajiban industri pengolahan dan pemurnian oleh Perusahaan tambang. Hal ini karena Negara hanya akan melegalkan upaya penghindaran kewajiban yang selama ini enggan dilakukan.
Namun, yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah mengatur mekanisme sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar ketentuan UU Minerba khususnya dalam melaksanakan kewajiban pembangunan industri hilir dan divestasi saham. Misalnya saja, dalam Pasal 105 Draft RUU Minerba Versi Pemerintah, tidak mengatur sanksi administratif bagi pemegang IUP atau IUPK yang tidak segera membangun industri pengolahan dan pemurnian serta tidak melaksanakan divestasi saham. Tanpa adanya sanksi yang tegas, maka bisa dipastikan revisi UU Minerba ini pun hanya akan sia-sia, dan kembali tidak akan implementatif.
Tentunya, langkah ini harus diikuti dengan strategi Pemerintah untuk menghindar dari penerapan mekanisme ISDS. Keberadaan mekanisme ISDS ini juga akan mempersulit Pemerintah mewujudkan kepentingan nasional terkait dengan kewajiban divestasi saham. Dalam praktek Perjanjian Perlindungan Investasi Internasional, kewajiban divestasi saham merupakan bentuk dari tindakan nasionalisasi tidak langsung (Indirect Expropriation), yang dapat melanggar ketentuan prinsip non-diskriminasi melalui penerapan National Treatment dan Fair and Equitable Treatment.
Contoh penerapan Gugatan ISDS terkait dengan tindakan Divestasi Saham bisa dilihat dari gugatan perusahaan tambang asal Italia terhadap Pemerintah Afrika Selatan (Piero Foresti and others vs. South Africa (tahun 2007)). Investor asal Itali dan Luxembourg menggugat Pemerintah Afrika Selatan sebesar US$ 350 Juta karena UU Pertambangannya mengandung ketentuan anti-diskriminasi, yang mewajibkan perusahaan untuk mentranster porsi sahamnya kepada beberapa investor berkulit hitam (black investor) di afrika dalam rangka memulihkan ketidakadilan pada saat rezim apartheid. Putusan atas kasus ini dikeluarkan pada tahun 2010 dan investor Italia dan Luxemburg berhasil mendapatkan izin baru yang membolehkan mereka untuk melakukan divestasi saham pada level yang sangat rendah, jauh dari ketentuan UU Black Economic Empowerment.
Peluang Menghindar Gugatan ISDS Di Sektor Industri Ekstraktif
Hal yang menarik dari draft RUU Minerba versi Pemerintah, disebutkan bahwa salah satu alasan merevisi UU Minerba karena adanya perubahan kewenangan pemberian izin di bidang Minerba dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Dalam UU Pemda yang baru ini, disebutkan bahwa Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak lagi diberikan kewenangan untuk menerbitkan Izin di bidang Mineral dan Batubara. Memang selama ini tumpang tindih perizinan telah menjadi persoalan pelik di sektor tambang.
Sepertinya Pemerintah Indonesia tidak ingin mengulangi kesalahan dari kasus Gugatan Churcill Mining terhadap Pemerintah Indonesia pada 2012 di ICSID. Dalam kasus ini Pemerintah pusat harus bertanggung jawab atas tindakan Bupati Kutai Timur yang mencabut izin di bidang batubara ditengah konflik kepentingan yang ada. Dalam upaya menghindari tanggung jawab dari keputusan Bupati yang merugikan, Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan Perpres No.31/2012 yang isinya adalah tidak memasukan keputusan administratif yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kabupaten sebagai sengketa yang dapat dibawa ke dalam sebuah sengketa investasi. Namun upaya menghindar dari Gugatan ISDS tidak cukup hanya berhenti sampai disini.
Dalam upaya menghindari gugatan ISDS, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah strategis, seperti menghentikan Perjanjian Perlindungan Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty/BIT) dengan beberapa negara dan melakukan review serta menyusun kembali draft Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M). Hanya saja, draft ini belum secara efektif diimplementasikan. Padahal jika melihat draft P4M yang ada (versi 2015), terdapat beberapa ketentuan yang jika diterapkan secara konsisten akan dapat memperkuat strategi perlindungan kepentingan nasional di sektor industri ekstraktif.
Misalnya saja, aturan mengenai tindakan pengecualian dari penerapan National Treatment untuk kondisi tertentu, seperti: Pertama, Undang-undang atau peraturan untuk memfasilitasi bisnis skala kecil dan menengah; Kedua, setiap tindakan yang mempengaruhi sektor sumber daya alam; dan ketiga, atas alasan keamanan nasional atau kebutuhan pembangunan dari sektor tertentu yang ditetapkan bersama dengan para pihak dalam suatu perjanjian investasi.
Jika saja ketentuan ini bisa diterapkan, maka tentunya bisa menjadi strategi yang ampuh dalam melindungi kepentingan nasional di sektor industri ekstraktif dari dampak buruk mekanisme ISDS. Sehingga, revisi UU Minerba tidak akan bisa secara efektif melindungi kepentingan nasional tanpa adanya upaya untuk menghindar dari penerapan mekanisme ini. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus kembali serius dan secara konsisten dalam mengimplementasikan draft P4M, serta menghentikan seluruh negosiasi bab perlindungan investasi yang didalamnya mengatur mekanisme ISDS, misalnya seperti Perjanjian TPP dan Perjanjian Perdagangan Bebas Antara EU dengan Indonesia.***
Disusun oleh:
Suliadi
Monitoring Officer (Intern)
Indonesia for Global Justice
Email: zulieynew@gmail.com
Rachmi Hertanti
Executive Director
Indonesia for Global Justice
Email: rachmihertanti@gmail.com / amie@igj.or.id