Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesak agar Pemerintah Indonesia lebih serius menyusun strategi perundingan IEU CEPA guna melindungi kepentingan rakyat dalam rumusan teks perundingan.
Setelah menyepakati Scooping Paper pada April 2016, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa memulai perundingan putaran pertama perjanjian kerjasama ekonomi (CEPA) pada 20-21 September 2016 di Brussel.
Berdasarkan catatan Koalisi dariscooping paper perundingan tersebut, terungkap bahwa cakupan liberalisasi yang akan didorong tidak hanya dalam perdagangan barang dan jasa, tetapi juga ketentuan jaminan perlindungan investasi asing.
Selain itu juga kompetisi termasuk terkait dengan aturan liberalisasi BUMN, pengadaan public, perlindungan hak kekayaan intelektual, transparansi regulasi, mekanisme penyelesaian sengketa, serta isu pembangunan berkelanjutan.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menjelaskan level liberalisasi yang ambisius tersebut seharusnya dilakukan secara berimbang.
“Jangan sampai pada akhirnya IEU CEPA hanya mempermudah aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja EU ke Indonesia ketimbang sebaliknya,” jelasnya di Jakarta, Rabu (21/9/2016).
IGJ berpendapat paling tidak ada beberapa kepentingan EU di sektor jasa, seperti energi (infrastruktur ketenagalistrikan), pembangunan transportasi maritime, pariwisata (khususnya di luar Bali dan Jawa), asuransi, distribusi barang (ritel), konstruksi, dan pelayanan jasa kesehatan.
Berdasarkan sejumlah kepentingan tersebut, lanjut Rachmi, EU hendak mendesakan penghapusan berbagai bentuk hambatan salah satunya adalah di moda 3 perdagangan jasa yang terkait dengan investasi.
“EU punya catatan keberatan dengan kebijakan investasi Indonesia, seperti kewajiban tingkat kandungan lokal dan pembatasan kepemilikan modal asing di beberapa sektor tertentu,” jelasnya.
Dia menambahkan, EU juga memiliki kepentingan untuk memasukan ketentuan perlindungan maksimum untuk investor di dalam CEPA, termasuk memasukan klausul ISDS.
Ketentuan perlindungan investasi ini ditujukan untuk menggantikan Bilateral Investment Treaty (BIT) yang telah diterminasi oleh Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara anggota Uni Eropa.
Skema perlindungan investasi yang ditawarkan oleh EU mengadopsi dari aturan BITs yang sebenarnya Pemerintah Indonesia sendiri telah merasa dirugikan.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menyusun draf perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal (P4M), yang sebenarnya isinya sudah sangat baik dan merepresentasikan perlindungan kepentingan nasional.
“Untuk itu, Koalisi mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara konsisten menerapkan kebijakan yang telah diambil dalam proses review dan menjadikan draf P4M ini sebagai modal dasar dalam perundingan IEU CEPA”, tambah Rachmi.
Sementara itu, peneliti GRAIN Kartini Samon menjelaskan bahwa dalam konteks perdagangan barang di sektor pertanian dalam IEU CEPA akan tidak mudah diakses oleh Indonesia.
“Tidak mudah juga untuk melakukan ekspor ke Eropa karena adanya hambatan-hambatan keluar-masuk barang, apalagi produk pangan dan pertanian. Uni Eropa mempunyai ketentuan EU Feed & Food Safety Legislation,” katanya.
Dia memaparkan ketentuan tersebut menjadi hambatan yang sulit bagi produsen Indonesia untuk menyuplai produk pangan dan pertanian olahan ke negara-negara Uni Eropa termasuk di dalamnya mengenai Sanitary and Phitosanitary regulations.
“Belum lagi pada level kebijakan pertanian ada Common Agricultural Policy (CAP)—yang terus memberikan subsidi besar pada sektor pertanian pada petani besar di Eropa mempertajam ketidaksetaraan dengan petani kecil,” jelas Kartini.
Dari scooping paper, terlihat juga ada keinginan dalam CEPA untuk mengatur mengenai isu Pembangunan Berkelanjutan. Hanya saja pengalaman nyata dari EU-Vietnam CEPA menunjukan bahwa ketentuan itu tidak dibuat mengikat dan tidak memuat mekanisme sanksi bagi yang melanggar komitmen.
Khalisah dari WALHI menambahkan kebijakan biofuel Uni Eropa, misalnya, menempatkan Indonesia sebagai sumber pemenuhan konsumsi energi Eropa. Hal itu bertentangan dengan salah satu fokus SDG’s untuk target mengatasi perubahan iklim dan dampaknya.
“Kebijakan biofuel Uni Eropa akan semakin mempercepat ekspansi perkebunan besar kelapa sawit, yang selama ini berdampak buruk terhadap lingkungan hidup, sosial dan ekonomi masyarakat dan melanggengkan praktek perampasan tanah-tanah rakyat dan konflik agraria. Sehingga diperlukan komitmen kuat dari masing-masing Negara untuk dapat mengimplementasikan aturan sustainable development di dalam IEU CEPA”, jelas Khalisah.