Manajer Advokasi dan Jaringan Aryanto Nugroho menjelaskan rencana Luhut yang mendorong dilakukannya revisi PP 1/2014 selain bertentangan dengan UU Minerba juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kedudukan pasal 102 dan 103 UU Minerba dan menegaskan pentingnya hilirisasi.
“Selain itu bertentangan dengan strategi perekonomian nasional tentang hilirisasi yang merupakan bagian dari janji politik pemerintah dalam Pemilu 2014 dalam Nawacita Jokowi-Jk serta bertentangan dengan RPJMN yang menjadi haluan strategis pembangunan jangka menengah (5 tahun),” kata Aryanto saat konferensi pers di Jakarta Selatan, Selasa (11/10/2016).
Menurut Aryanto, dibukanya ekspor konsentrat dan ore berpotensi memporak-porandakan proses penataan sektor pertambangan yang sedang berjalan, termasuk program Korsup KPK bersama Kementerian di sektor Minerba, serta proses transisi perpindahan kewenangan perijinan daerah dari Kabupaten ke provinsi.
Pasalnya, masih terdapat 2596 IUP Mineral yang masih berstatus Non-C&C karena persoalan administratif, tumpang tindih tata wilayah dan spasial, serta tidak memenuhi kewajiban keuangan serta alokasi dana rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang.
“Sebagaimana diketahui, hampir 90% dari IUP Minerba berdasarkan data awal Korsup Minerba KPK tidak mengalokasikan dana jaminan reklamasi & pasca-tambang. Bahkan, di Kalimantan Timur saja, terdapat sekitar 3000-an lubang bekas tambang-yang telah menelan korban hingga 25 jiwa, yg sebagian besar adalah anak-anak-generasi masa depan bangsa,” pungkasnya.
“Relaksasi ekspor mineral akan memicu kembali laju eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, yang mempercepat daya rusak lingkungan, minim standar keselamatan, dan menimbulkan tragedi kemanusiaan,” jelas Aryanto.
Aryanto menambahkan, alih-alih melaksanakan janji moratorium sebagaimana dinyatakan Jokowi beberapa bulan silam, pelonggaran keran ekspor mineral justru menimbulkan ketidak-adilan bagi sebagian pelaku ekonomi yg telah membangun fasilitas pengolahan & pemurnian (smelter).
Sementara itu, Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menjelaskan bahwa relaksasi ekspor mineral mentah yang kembali dibuka oleh Pemerintah Indonesia akan menimbulkan perlakuan diskriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di Indonesia.
Belum lagi, pengenaan pajak ekspor (pada persentase tertentu) yang melekat pada kebijakan relaksasi juga teridentifikasi sebagai export restriction dalam konteks non-tariff barriers. Hal ini tentunya membuka potensi Indonesia dapat kembali diprotes di WTO ataupun digugat oleh investor asing ke lembaga arbitrase internasional dengan menggunakan mekanisme International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
“Ketika kebijakan larangan ekspor konsentrat diterapkan, Indonesia diprotes keras di WTO, bahkan pernah digugat ke ICSID oleh Newmont. Tetapi jangan menganggap penerapan relaksasi ekspor mineral mentah saat ini akan menghilangkan protes tersebut. Potensi digugat di WTO ataupun ICSID sangat terbuka terhadap Indonesia akibat dari penerapan kebijakan yang diskriminatif tersebut,” tegas Rachmi.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah Ismail, menegaskan bahwa kebijakan pelonggaran eksor ini akan menguras habis-habisan cadangan mineral mentah Indonesia untuk dijual hingga 2021. Rantai kerusakaan lingkungan hidup dan ancaman keselamatan rakyat juga akan semakin panjang.
Rencana revisi ini hanya negara dan rakyat kehilangan potensi pendapatan dari nilai tambah dari pembangunan smelter. Dalam konteks ini, maka Freeport adalah perusahaan tambang yang paling diuntungkan.
“Pemerintah mesti tobat meninggalkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan pengurasan kekayaan alam dan mengancam keselamatan rakyat. Jika pelanggaran-pelanggaran ini tidak dihentikan, maka, Presiden Jokowi sedang membuktikan dirinya sebagai ‘pelayan’ industri tambang dan PT Freeport,” kata Merah Johansyah.
http://wartaekonomi.co.id/berita116257/buka-keran-ekspor-konsentrat-luhut-punya-rencana-tersembunyi.html