Panel 1
- Intinya tidak ada pertentangan antara The GP dengan legally binding treaty process, karena keduanya kompelementer. Legally binding treaty process bukan untuk menggantikan The GP, bahkan proses ini akan memperkuat komitmen Negara dalam mengimplementasikan Natinal Action Plans on Business and Human Rights. Pernyataan Pemerintah Indonesia sangat serupa, dan hendak menjadikan proses ini sebagai bagian dari penyusunan National Action Plans di Indonesia.
Panel 2
- Mendiskusikan tentang beberapa hal, diantaranya: terkait dengan CSR yang selama ini digunakan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan dari kegiatan usahanya. CSR bukan human rights jadi tidak bisa dikatakan bahwa dengan CSR maka perusahaan telah menghormati HAM.
- Perlunya memasukan prinsip hak atas pembangunan. Hal ini karena selama TNCs memiliki peran cukup besar dalam pembangunan khususnya dalam melakukan investasi. Prinsip hak atas pembangunan bisa menyeimbangkan antara penegakan atas HAM dan kepentingan investasi untuk pembangunan.
- Pertimbangan agar binding treaty dapat mencakup IFIs dan tidak hanya Negara. Jika hanya melihat hanya Negara yang menjadi pihak dalam treaty maka dianggap sebagai satu kemunduran. Dalam diskusi tersebut perlu juga mendorong pembentukan sebuah badan supervisory dimana pihak bisnis bisa berkontribusi memberikan pandangannya. (Kritisasi: Perlu hati2 atas point ini dimana TNCs bisa menjadi subyek HAM dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Negara – Ada tulisan bagus dari FIAN International- Terlampir).
Baca Selengkapnya ⇒ Point diskusi Panel IGWG Meeting