Kinerja Ekonomi I Segera Antisipasi Fenomena Deindustrialisasi
Sektor Industri Minim Dukungan
Liberalisasi dan impor yang masif berpotensi menghambat industri nasional.
Penurunan kinerja sektor industri dinilai sudah masuk ke dalam kondisi darurat.
JAKARTA – Tren penurunan kinerja sektor industri nasional tidak terlepas dari minimnya dukungan pemerintah dalam upaya membangun kemandirian, daya saing, dan kekuatan industri bernilai tambah.
Selain itu, liberalisasi global memberikan lebih banyak keleluasaan bagi masuknya barang impor, khususnya barang konsumsi sehingga hal ini berpengaruh secara signifikan dalam menghambat pengembangan industri dalam negeri.
Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, berpendapat kesalahan pemerintah berikutnya adalah terlalu membuka lebar kran impor pangan yang seharusnya bisa digunakan pada kegiatan ekonomi lebih lanjut untuk menggerakkan kegiatan sektor riil. “Mestinya impor diutamakan untuk barang-barang yang tidak bisa diproduksi sendiri, bukan barang konsumtif,” ujar dia ketika dihubungi, Kamis (9/2).
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengungkapkan di balik kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 menjadi 5,02 persen dari 4,88 persen pada 2015, muncul kekhawatiran soal tren penurunan kinerja sejumlah sektor, khususnya sektor industri.
Padahal, pertumbuhan sektor industri bersama pertanian dinilai bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas karena berpeluang mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan kesejahteraan.
Peneliti Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bila melihat profil pertumbuhan ekonomi 2016 secara lebih detail, kurang lebih ada sembilan sektor usaha di Indonesia turun pada tahun lalu.
“Paling mengkhawatirkan adalah penurunan kinerja sektor industri dari 4,52 persen di triwulan III menjadi 3,36 persen di triwulan IV-2016. Sementara itu, secara tahunan pertumbuhan sektor industri anjlok di angka 4,29 persen dibanding tahun 2015 yakni 4,33 persen,” papar dia.
Menurut Bhima, penurunan sektor industri sudah masuk ke dalam kondisi darurat. “Fakta ini juga dikuatkan oleh fenomena deindustrialisasi yang sudah terjadi sejak 4 tahun lalu. Porsi industri terhadap PDB (produk domestik bruto) menurun hingga di bawah 20 persen,” jelas dia.
Pengamat ekonomi dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan pemerintah harus fokus melakukan penguatan industri nasional. Salah satu caranya dengan membuat kebijakan yang mendukung.
“Artinya, bagaimana kebijakan dalam negeri men-support pembangunan industri dalam negeri. Kalau kebijakan nasionalnya menjadi tidak pasti, ini akan berpengaruh pada investasi yang akan masuk ke Indonesia,” kata Rachmi, Kamis.
Rachmi mengingatkan tren liberalisasi selama ini tidak menutup kemungkinan justru akan mengancam industri nasional. Sebab, tidak sedikit perjanjian yang mengikat dan justru menjadi bumerang bagi industri nasional.
Misalnya, kata Rachmi, pelarangan penggunaan muatan lokal, pelarangan penggunaan tenaga kerja lokal, dan pelarangan transfer teknologi. “Ini akan mengganggu penerapan kebijakan yang mengharuskan ada kandungan lokal untuk sebuah produk, misalnya dalam industri minyak dan gas, serta pertambangan. Jadi, ini akan menghambat pertumbuhan industri nasional juga atau akan terjadi deindustrialisasi,” papar dia.
Belum Maksimal
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan tren penurunan kinerja sektor industri juga mengindikasikan paket kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintah belum berjalan maksimal. Sebab, tujuan awal digulirkannya paket kebijakan itu adalah mendorong daya saing industri nasional, peningkatan lapangan kerja, daya beli masyarakat, hingga pertumbuhan ekonomi secara merata.
“Paket kebijakan ekonomi yang dirilis secara umum tidak fokus berdasarkan sektor yang ingin dituju. Perlu dibuat analisis paket kebijakan berdasarkan pada sektor utama, yaitu sektor pendukung industri, dan dampak ke sektor lainnya,” ujar Ahmad.
Ekonom LIPI, Latif Adam, mengatakan kalau melihat pertumbuhan ekonomi secara sektoral hanya ada beberapa sektor yang tumbuh tinggi dan juga melibatkan segelintir orang. Akibatnya, sebagian besar masyarakat belum bisa menikmati pertumbuhan itu.
Oleh karena itu, kata Latif, sangat masuk akal bila ketimpangan pendapatan, meskipun menurun, tapi akselerasinya masih sangat kecil. Menurut dia, hal itu harus menjadi komitmen pemerintah untuk memperbaiki di 2017. Latif berpendapat untuk memperbaikinya, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja. SB/ahm/WP
http://www.koran-jakarta.com/sektor-industri-minim-dukungan/