Jakarta – Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia (KMSI) menyampaikan beberapa pandangan untuk posisi runding Indonesia terkait dengan perundingan subsidi perikanan dalam perundingan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 WTO yang akan berlangsung pada 10-15 Desember 2017, di Buenos Aires, Argentina.
Pasca KTM ke-9 WTO di Bali memandatkan kembali pembahasan mengenai Doha Development Agenda (DDA).
Juru Bicara Kelompok Masyarakat Sipil yang diwakili Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menyampaikan, bahwa Isu mengenai subsidi perikanan merupakan bagian dari mandat Doha Development Agenda 2001, yang menginginkan adanya perbaikan terhadap aturan disiplin dalam Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994 dan Kesepakatan tentang Subsidies and Countervailing Measures.
“Perundingan Subsidi perikanan akan difokuskan pada persoalan overfishing, overcapacity, dan IUU Fishing di seluruh perairan dunia, yang disebabkan oleh adanya pemberian subsidi di bidang perikanan,” ujar Rachmi di Jakarta, Sabtu (9/12).
“Dengan merujuk pada target pendisplinan pada Agenda 14 SDGs dengan melarang subsidi yang berkontribusi terhadap overfishing dan overcapacity dan pemberantasan IUUF pada tahun 2020,” tambahnya.
Adapun beberapa pandangan kritis dan masukan terhadap posisi runding Indonesia. “Kami sampaikan pertama tentang Praktek Overfishing, Overcapacity, dan IUU Fishing Data FAO menyebutkan bahwa subsidi perikanan dunia dinilai telah mencapai hingga USD 35 milyar,” tutur Rachmi.
“Dimana sekitar USD 20 milyar dari subsidi tersebut berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas penangkapan ikan yang berlebih dan berdampak langsung pada keberlanjutan sumber daya perikanan. Hal ini berdampak terhadap pangsa stock ikan yang terus menurun sepanjang tahun,” imbuhnya.
FAO mencatat adanya penurunan stok ikan yang yang cukup signifikan, dari sekitar adanya 90 persen stok ikan di tahun 1974 dan menurun hingga 69 persen di tahun 2013.
“Oleh karena itu, kami mendukung upaya global untuk mengatasi overfishing, overcapacity, dan praktek IUU Fishing di seluruh perairan dunia yang disebabkan oleh adanya pemberian subsidi di bidang perikanan berlebih pada industri penangkapan ikan berskala besar, dan secara khusus subsidi di negara-negara industry,” ungkap Rachmi.
Pada level nasional, pihaknya menilai, bahwa kasus pencurian ikan di Indonesia melibatkan jaringan “pasar” yang cukup besar karena dilakukan oleh pencuri ikan dari berbagai negara dan diperkirakan menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 260 triliun.
Sementara itu, di tingkat global kerugian akibat Illegal, Unreported, and Unregulated (lUU) Fishing diperkirakan mencapai USD10 miliar hingga USD23,5 miliar atau setara Rp310 triliun per tahun.
Untuk itu, tindakan tegas terhadap praktik pencurian ikan menjadi salah satu cara untuk menekan over exploitations yang terjadi di Indonesia.
“Kami juga menilai, penindakan illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia tidak cukup dengan menenggelamkan kapal, walaupun jumlah kapal yang ditenggelamkan sudah mencapai 317 unit kapal pencuri,” ucap Rachmi.
Tetapi bagaimana penegakan hukum terhadap perusahaan pemilik kapal menjadi kunci utamanya. Karena penindakan hukum hanya sebatas pada kapten kapal tidaklah cukup membuat efek jera perusahaan pemilik kapal.
Selain itu, penegakan hukum terhadap illegal fishing harus menyentuh pada praktek-praktek pencurian ikan di perbatasan seperti double flagging, mematikan alat VMS, dan transshipment di tengah laut.
“Oleh karena itu, kami meminta agar Pemerintah Indonesia dapat melakukan penindakan terhadap praktek-praktek overfishing, overcapacity, dan IUU Fishing yang dapat menyentuh pada aktor utamanya, dan bukan ditujukan pada pelaku kecilnya. Aturan WTO harus juga diarahkan pada hal ini,” ungkap Rachmi.
Kedua, Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia & Pengutamaan Peran Nelayan, pihaknya mencatat, bahwa hingga hari ini Indonesia memiliki 2.7 jiwa nelayan, baik mereka yang beroperasi di laut maupun perairan umum.
Dimana sekitar 556.349 unit kapal sedang beroperasi dan 95,6 persen di antaranya adalah kapal skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil dari pantai, dengan spesifikasi perahu tanpa motor sebanyak 170.938 unit, kapal motor tempel sebanyak 225.786 unit, kapal motor di bawah 5 GT sebanyak 123.748 unit, dan kapal motor ukuran 5GT s.d 10 GT mencapai 35.877 unit (KIARA, 2017).
Berpijak pada keberadaan mayoritas nelayan lokal tersebut, Presiden Joko Widodo dalam salah satu dari lima pilar Poros Maritim menempatkan nelayan sebagai pilar utama dalam Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut di Indonesia.
Namun, nelayan belum sejahtera. Data BPS menunjukan 63,47% penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Rata-rata tingkat upah nelayan sekitar Rp1,1 juta per bulan, sedikit di bawah pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan.
Hasil survei Pendapatan Rumah Tangga Pertanian 2011, penghasilan per tahun dari hasil melaut nelayan mencapai Rp28 juta atau per bulannya hanya sekitar Rp2,3 juta. Subsidi untuk nelayan adalah amanat Konstitusi.
Nelayan Indonesia masih sangat membutuhkan dukungan pemerintah terkait berbagai persoalan yang dihadapi nelayan seperti 1) Alat dan kapal penangkapan; 2) biaya operasional untuk melaut, seperti: subsidi BBM, skema permodalan dan asuransi untuk nelayan, serta Pembebasan pajak dan retribusi; 3) Sarana dan prasana pendukung hasil tangkapan; dan 4) bantuan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
“Kami menilai, hanya sekitar 16 persen dari total subsidi perikanan dari Pemerintah Indonesia yang sampai pada nelayan tradisional skala kecil. Sebaliknya, 90% subsidi perikanan diberikan secara ekslusif pada industri perikanan skala besar yang berkontribusi pada penangkapan ikan berlebih,” tutur Rachmi.