JAKARTA- sia-Europe People Forum (AEPF) meminta negosiator dari Indonesia dan Uni Eropa tidak memasukan pembahasan tentang kelapa sawit dalam perundingan putaran ke-4 Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA), di Solo, Jawa Tengah 19-23 Februari.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, perundingan I-UE CEPA seharusnya tidak memasukan ketentuan apapun yang membatasi kapasitas negara untuk mengatur dan mengambil tindakan untuk pentingan umum yang berkaitan dengan sawit.
“Tindakan pemerintah itu seperti moratorium ekspansi sawit atau mengevaluasi izin kebun,” ujar dia di Jakarta, Senin.
Menurut Yuyun, produksi, pengolahan dan perdagangan produk sawit di Indonesia baik oleh perusahaan domestik maupun asing menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari soal lingkungan hidup, sosial, hak asasi manusia maupun perburuhan.
Persoalan ini termasuk, pemotongan dan pembakaran hutan primer dan sekunder yang beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Hal ini menjadikan Indonesia salah satu penyumbang perubahan iklim, pencemaran lingkungan, perampasan tanah dan persoalan HAM dunia lainnya.
Dia menambahkan, negosiasi perdagangan yang pragmatis tidak tepat untuk menyelesaikan tumpukan persoalan tersebut. Persoalan ini harus diatasi dengan sebuah dialog inklusif dengan melibatkan pemangku kepentingan di Indonesia dan Uni Eropa.
Indonesia dan UE harus mengupayakan peta jalan yang ambisius untuk mengatasi masalah ini secara demokratis, transparan dan holistik, kata Yuyun.
Yuyun juga menjelaskan, meski neraca perdagangan Indonesia didominasi oleh komoditas kelapa sawit, namun efeknya bagi kesejahteraan masyarakat tidak begitu signifikan. Ini karena lebih dari 10 juta hektare perkebunan dikuasai oleh perusahaan, sedangkan petani kecil hanya menguasai kurang dari 4 hektare saja.
Selain itu keputusan perdagangan kelapa sawit di CEPA, akan meningkatkan perdagangan komoditas ini, padahal skema sertifikasi keberlanjutannya hanya bersifat sukarela dan lemah seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Keduanya tidak memiliki mekanisme penegakan hukum dan gagal melindungi masyarakat lokal, pekerja dan lingkungan hidup,” ujar dia.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti mengatakan, I-UE CEPA juga tidak boleh membatasi kewenangan negara pada layanan publik yang vital, tariff ekspor untuk bahan mentah, akses terhadap obat generic dan benih hak asasi buruh serta persyarakat lkal dan perlakuan istimewa bagi produsen kecil dalam negeri.