Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia dan Eropa mengadakan People’s Forum di Brussels, Belgia, pada 9-13 Juli 2018 dalam rangka memberikan respon dan intervensi dalam perundingan ke-5 Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang sedang berlangsung. Beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia yang hadir dalam People’s Forum ini adalah Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konfederasi Perjuangan Rakyat Indonesia (KPRI), dan KSBSI.
Beberapa agenda dan kegiatan intervensi kelompok masyarakat sipil Indonesia dan Eropa seperti: People’s Forum, Pertemuan dengan Negosiator Indonesia, dan Komisi Uni Eropa. Beberapa isu penting yang diangkat seperti: Investasi, HAKI dan akses terhadap obat murah, dan pembangunan berkelanjutan secara khusus di sektor Sawit, Perikanan, dan buruh.
Dalam isu akses terhadap obat murah, CSO Mengkritisi aturan TRIPS Plus yang akan mengatur banyak hal terkait dengan aturan perlindungan Paten, dan akan memberikan perpanjangan waktu bagi perusahaan farmasi asing untuk memonopoli paten obat dan menghilangkan kesempatan untuk memproduksi obat generic untuk masyarakat, khususnya terkait dengan penyakit kritis baik yang communicable maupun yang non-communicable seperti HIV, Kanker, Jantung, dsb. Untuk itu CSO menolak adanya aturan TRIPS plus didalam IEU CEPA.
Penolakan tersebut disampaikan oleh IGJ dan CSO-CSO melalui surat kepada Cecilia Malmström, Komisioner Perdagangan Komisi Uni Eropa. Melalui surat tersebut IGJ dan CSO-CSO mengkritisi proposal Uni Eropa dalam bab Hak Kekayaan Intelektual, terutama dalam bagian hak Paten, menawarkan banyak pengaturan yang meminta komitmen HKI yang lebih tinggi daripada TRIPS (perjanjian HKI dalam WTO). Proposal TRIPs plus yang dibuat oleh UE dalam negosiasi FTA dengan Indonesia mencakup:
- Ekstensi istilah paten untuk obat-obatan untuk keterlambatan di dalam persetujuan pemasaran dengan masa esktensi paten kedua apabila penelitian pediatric dilakukan.
- Eksklusivitas data dan pasar dalam obat-obatan dengan ditambah periode eksklusivitas untuk penggunaan baru dari obat lama yang dinilai secara signifikan bernilai klinis jika dibandingkan dengan terapi yang ada.
Monopoli tambahan terhadap obat-obatan yang diusulkan oleh UE akan menjadikan obat-obatan ini tetap tak terjangkau di Indonesia. Hal ini dikarenakan obat-obatan yang dipatenkan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan versi generiknya. Sebagai contoh, versi paten dari obat-obatan untuk mengobati penyakit AIDS berharga US$ 15,000/pasien/tahun, tetapi versi generiknya hanya berharga US$ 67/pasien/tahun.
PNB perkapita Indonesia adalah US$ 3,540 dibandingkan dengan EU US$ 32,778 (9 kali lipat lebih besar dari pada Indonesia). Bahkan pada tingkat keseimbangan daya beli, 62% populasi Indonesia hidup dengan biaya kurang dari US$ 5.50/hari, maka, mereka memiliki masalah dalam memenuhi obat-obatan ditambah dengan level TRIPS dari perlindungan kekayaan intelektual (paten selama 20 tahun dan tidak ada ekslusivitas data/pasar untuk obat-obatan). US$ 15,000/pasien/tahun untuk obat-obatan paten untuk HIV/AIDS, dibutuhkan setidaknya 62% rakyat Indonesia dan dalam waktu 7 tahun untuk membayar obat selama 1 tahun, apabila mereka menghabiskan semua uang mereka untuk obat-obatan ini. Apabila Indonesia dipaksa untuk menyetujui proposal RTRIPS+ UE di atas, maka akan banyak masyarakat Indonesia yang hidup dengan HIV akan meninggal oleh penyakit yang sebenarnya dapat diobati, dikarenakan oleh obat-obatan yang terlampau mahal.
“Perjanjian ini akan menetapkan perlindungan paten lebih lama, dan itu akan mempengaruhi akses masyarakat pada obat-obatan,” demikian kata Lutfiyah Hanim, yang melakukan penelitian mengenai proposal Uni Eropa pada bab HKI. Selain dengan perpanjangan paten, Hanim juga menyebutkan UE juga mengusulkan penerapan eksklusifitas data, dimana obat-obatan yang tidak dilindungi paten tidak bisa dibuat versi generiknya karena perusahaan generik dilarang menggunakan data untuk menjual atau membuat versi generiknya.
Karena itu, Hanim mengatakan, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk menolak proposal UE dalam bab HKI yang meminta penerapan TRIPs Plus. “Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia untuk menerapkan TRIPS plus, itu hanya akan mempersulit akses, dan menaikan harga obat, “ demikian Hanim menjelaskan.
Download >>> Artikel Monitoring Isu Akses Obat Murah Dalam People’s Forum, Brussels 2018