• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Omnibus Law RUU CILAKA: Aturan Berawatak Kolonial

Januari 30, 2020
in Statement, Uncategorized @id
Home Media Statement
958
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

 

KERTAS  POSISI

FRAKSI RAKYAT INDONESIA (FRI)

JAKARTA — Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Oleh karena itu, organisasi rakyat dan lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia  (FRI)  menolak  Omnibus  Law  RUU Cilaka. FRI menilai keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, substansi RUU Cilaka Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia   Belanda.   Pada  akhir   abad   ke-19, di bawah tekanan  globalisasi dan perjanjian internasional, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan aturan Koeli Ordonantie untuk menjamin pengusaha  dapat mempekerjakan  kuli  perkebunan  tembakau  dengan  upah  sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan.

RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam  Agrarische  Wet  1870.  Kedua  aturan  tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme  hukum  yang  kuat  dalam  RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial.  Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.

Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan memerintahkan  aparat  keamanan  Kepolisian  Republik  Indonesia  serta  Badan  Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.

Kegagalan  pemerintah  dalam  menjalankan  program  dan  kebijakannya  tidak  perlu  ditutupi dengan membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian lingkungannya.

 

12 Alasan Menolak Omnibus Law RUU Cilaka (#Cilaka12)

  1. Melegitimasi investasi  perusak  lingkungan,  mengabaikan  investasi  rakyat  dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan.

Investasi yang digaet oleh pemerintah Indonesia sebagai solusi mengatasi defisit neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, justru merupakan investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan tidak menyejahterakan masyarakat. Hal itu disebabkan pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi asing yang datang sehingga investor potensial yang hadir justru adalah investor yang buruk dan paling ekstraktif, yang hanya akan memperluas eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan.

Pemerintah tidak pernah menganggap keberadaan investasi masyarakat lokal (masyarakat adat) selama ini. Padahal jika dinominalkan masyarakat adat telah menjalankan investasi triliunan rupiah dalam bentuk ekosistem yang sehat dan berkelanjutan (hutan yang lebat dan  subur,  sungai  yang  bersih,  dan  pantai  dan  lautan yang biru dan jernih). Namun celakanya,   lewat   RUU   Cilaka,   apa   yang   telah   diinvestasikan   masyarakat   adat dihancurkan bahkan dibagi-bagi melalui konsesi-konsesi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir investor hitam yang dilindungi kekuasaan negara.

  1. Penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan mendaur ulang pasal inkonstitusional

Secara  formal, penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur. Pertama, proses penyusunan RUU Cilaka sangat mencederai hak partisipasi masyarakat. Sejak pembahasan Prolegnas sampai penyusunan draft oleh Kemenko Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses oleh masyarakat. Padahal, Jokowi menargetkan RUU Cilaka selesai dibahas dengan DPR dalam 100 hari kerja. Terlebih lagi, ketiadaan oposisi yang kuat  dibuktikan  dalam  berbagai pernyataan bahwa DPR akan mengakomodasi semua kepentingan pemerintah di omnibus law. Hal ini melanggar Pasal 89 jo 96 UU 12/2011 yang  mewajibkan  pemerintah  untuk  membuka  akses  secara  mudah  segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat.

Kedua,  terdapat  banyak  pasal inkonstitusional dan aturan kolonial yang didaur ulang dalam  RUU Cilaka.  Contohnya  adalah  rencana  penambahan  pengaturan kewenangan Presiden untuk membatalkan Perda dalam rangka sentralisasi izin. Ketentuan itu sudah pernah dimuat dalam UU Pemerintahan Daerah dan sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiga, kesimpulan dari proses dilakukan secara tertutup, sosialisasi dadakan alias abal-abal, demikian pula pelibatan BIN dan Polri menunjukkan bahwa pemerintah mencederai demokrasi. Jika upaya pemerintah tersebut dibiarkan, akan membuka kesempatan berkuasanya rezim otoriter.

  1. Satgas Omnibus law bersifat elitis dan tidak mengakomodasi elemen masyarakat yang terdampak keberadaan seperangkat RUU Omnibus law.

Omnibus Law digawangi oleh 138 orang yang komposisinya mayoritas diisi oleh pihak pemerintah dan pengusaha. Ada 69 orang yang merupakan wakil dari pemerintah dan kebanyakan diambil dari Kemenko Perekonomian yaitu sebanyak 27 orang. Hanya ada 3 orang perwakilan  dari  pemerintahan  daerah  yaitu, Gubernur DKI Jakarta, Wali Kota Tangerang Selatan, dan Bupati Banyuwangi yang dilibatkan dalam tim Satgas Omnibus Law ini. Terdapat lebih dari 46 orang pengusaha yang merupakan perwakilan asosiasi pengusaha dalam tim satgas Omnibus Law, yang terdiri atas 21 pengusaha yang mewakili KADIN dan 25 pengusaha yang mewakili berbagai Asosiasi Pengusaha di Indonesia. Sebanyak  46  orang  itu  belum  termasuk individu  pengusaha  yang  dimasukkan  oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto ke dalam tim ini.

Ada 12 perwakilan perguruan tinggi yang dimasukkan ke dalam Tim Satgas ini, yang terdiri atas 10 Rektor PTN dan 2 Rektor PTS. Akan tetapi, tidak ada organisasi atau asosiasi masyarakat yang diikutsertakan dalam satgas ini. Karena itu, konten RUU Cilaka hanya akan mengakomodasi kepentingan pengusaha nir-kepentingan masyarakat lainnya, bahkan  sangat  dimungkinkan  bertentangan  dengan  kepentingan  masyarakat  secara umum. Lebih parah lagi, ada beberapa anggota Tim Satgas ini yang terindikasi terseret dalam beberapa kasus korupsi (Kasus Bank Century, Impor Garam, Impor Bawang Putih, dsb). Tentunya hal ini akan sangat berisiko terhadap agenda pemberantasan korupsi mengingat RUU Cilaka ini akan memuat beberapa ketentuan yang akan berhubungan dengan penghapusan sanksi pidana bagi korporasi.

  1. Sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat yang mencederai semangat reformasi

Rencana pemerintah untuk mengalihkan semua kewenangan perizinan kepada pemerintah pusat dalam RUU Cilaka tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah sebagai produk reformasi. Beberapa kewenangan daerah yang akan ditarik ke pusat antara lain: Pertama, RUU Cilaka akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan  batubara,  termasuk  kewenangan  penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin. Berbeda dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang telah mendelegasikan kewenangan  tersebut  kepada  Pemda.  Kedua,  sentralisasi  perizinan berimplikasi terhadap semakin menjauhkan pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat terdampak.

  1. Celah korupsi  melebar  akibat  mekanisme  pengawasan  yang  dipersempit  dan penghilangan hak gugat oleh rakyat

RUU  Cilaka  menjadi  celah  bagi  koruptor karena hanya mengakomodasi kepentingan oligarki. Kepentingan ini sarat akan penyelewengan perizinan-perizinan usaha yang berdampak pada lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dinilai gagal menutup potensi KKN. Namun dalih Kemenko Perekonomian RI, sistem baru tersebut  dianggap tidak berjalan optimal lantaran tumpang tindih peraturan perizinan antara pusat dan daerah.   Sehingga   lewat   Omnibus   Law   ini,   pemerintah   akan   merevisi   puluhan undang-undang  yang  dianggap  mempersulit  kemudahan  usaha. Padahal pemangkasan izin-izin tersebut akan membuat koruptor semakin merajalela dan lingkungan hidup semakin hancur. Seiring dengan rencana tersebut, pengawasan dan hak gugat masyarakat menjadi hilang sehingga perlindungan hak asasi manusia tidak pernah dijamin.

  1. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat 

Atas  nama  kepentingan  pembangunan  dan ekonomi, RUU Cilaka menjadi alat untuk merampas dan menghancurkan ruang hidup rakyat. Pasalnya, aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang  dikuasai  masyarakat,  baik  kelompok  miskin  kota,  masyarakat  adat, petani, dan nelayan.

Menurut Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 2018, 16 kantor LBH yang berada di bawah naungan YLBHI melaporkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria di 16 provinsi dengan   luasan   konflik   mencapai  488.404,77  hektar.  Dalam kasus-kasus  tersebut, LBH-YLBHI menemukan adanya 367 pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai aktor. Pelaku tertinggi yang melakukan pelanggaran hak adalah korporasi sebanyak 84 kasus, diikuti Pemerintah Daerah sebanyak 73 kasus, Perhutani sebanyak 54 kasus, TNI sebanyak  34  kasus  dan  BUMN  sebanyak  49  kasus.  Data-data tersebut menunjukkan bahwa selama ini pemerintah justru melakukan pelanggaran hak dan abai melindungi hak-hak warga negara.

Kondisi pemenuhan hak, akan diperparah kemudian dengan hadirnya RUU Cilaka ini. RUU Cilaka berencana menghapus izin lokasi dan menggantikannya dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sehingga menghambat rakyat untuk mempertahankan tanah dan ruang hidupnya karena mempersempit ruang publik untuk menguji keputusan pemerintah  yang  melanggar  hukum.  Selain  itu,  IMB  juga  direncanakan  dihapus. Sehingga publik kehilangan kesempatan untuk mengontrol proyek pembangunan di daerahnya.  RUU  Cilaka  juga  akan  menutup  akses  nelayan tradisional terhadap SDA perikanan laut. Kondisi akan terjadi apabila izin penangkapan ikan yang diberlakukan bagi   penangkap   ikan   berkapasitas   ribuan   GT  juga  diberlakukan  kepada  nelayan tradisional berperahu kecil dibawah 10 GT. Ketentuan penataan batas kawasan hutan juga akan dihapuskan. Sehingga pemerintah akan semakin mudah melancarkan kesewenangannya dalam menetapkan kawasan hutan. Terakhir, perpanjangan HGU dan HGB “di muka” menghilangkan fungsi sosial tanah dan politik hukum pertanahan yang dirumuskan  dalam  UU  Pokok  Agraria  dan  TAP  MPR  No.  IX  Tahun  2001. Bahkan perpanjangan HGU dan HGB pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Lewat RUU Cilaka ini, cita-cita redistribusi tanah untuk menghapus ketimpangan penguasaan lahan akan dikubur dalam dan tanah hanya akan dimiliki oleh segelintir orang.

  1. Percepatan krisis lingkungan  hidup  akibat  investasi  yang  meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (man-made disaster), dan kerusakan lingkungan

Sejarah telah membuktikan bahwa nafsu menggenjot keuntungan kerap berimplikasi pada ongkos lingkungan dan kesehatan masyarakat jangka panjang. Kebakaran hutan di Kalimantan  dan  Sumatera,  banjir  dan  gedung  ambruk  Jakarta,  lubang tambang yang menganga di seluruh nusantara, kekeringan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara, dan polusi udara yang menyesakkan – semua adalah pembelajaran bagi kita untuk tidak lupa menghitung ongkos lingkungan dalam pembangunan. Tetapi pemerintah malah abai terhadap ongkos lingkungan dengan merumuskan RUU Cilaka. Berikut beberapa ketentuan  perlindungan  dan  pengelolaan  lingkungan  hidup  yang  akan  diubah  RUU Cilaka: berkurangnya instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dihapuskannya izin lingkungan, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi, dan dibatasinya pelibatan masyarakat.

Pertama, RUU Cilaka berwacana mengubah sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan  hidup  yang  semula  wajib  AMDAL,  menjadi  peraturan  berbasis  risiko (risk-based regulation) yang akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas kegiatan/proyek di suatu lokasi. Padahal, hal itu tidak akan mungkin dilakukan karena memerlukan data yang sangat banyak. Sementara, inventarisasi lingkungan hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan RDTR belum siap untuk diaplikasikan dalam sistem baru tersebut. Berkaca pada realitas, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 41 kabupaten/kota yang memiliki RDTR.

Kedua,  penghapusan  izin  lingkungan  akan  menyulitkan  pengawasan,  menghilangkan pula  ruang  keberatan  dan  upaya hukum yang selama ini menjadi checks & balances keputusan-keputusan  lingkungan,  dan  mereduksi  secara  signifikan kesempatan masyarakat memperjuangkan haknya (termasuk mewakili lingkungan) dengan gugatan perizinan. Ketiga, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi juga akan meningkatkan kerentanan terhadap bencana karena pelanggaran hanya mendapatkan sanksi administrasi. Sedangkan, ketika terjadi ketikdakpatuhan terhadap sanksi administrasi tersebut yang berpotensi memperparah kerusakan/pencemaran atau terjadi pengulangan  pelanggaran  administrasi,  tidak  dapat ditegakan  menggunakan  sanksi pidana, seperti pasal 100 UU 32/2009. Keempat, dibatasinya pelibatan masyarakat berisiko mengabaikan kearifan lokal yang dapat menjaga kelestarian lingkungan dimiliki masyarakat terdampak/adat/yang berkepentingan.

  1. Menerapkan perbudakan  modern  lewat  sistem  fleksibilitas  tenaga  kerja berupa legalisasi  upah  di bawah standar minimum, upah per jam, dan perluasan kerja kontrak-outsourcing

RUU Cilaka sejatinya merupakan upaya revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sejak 2006 coba dilakukan pemerintah dan terus digagalkan gerakan  pekerja/buruh.  Sistem  fleksibilitas  tenaga  kerja  yang  diandalkan pemerintah, asosiasi pengusaha, dan Bank Dunia merupakan fitur utama klaster ketenagakerjaan RUU Cilaka yang akan diwujudkan dalam kemudahan rekrutmen dan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK (easy hiring easy firing). Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin  dengan  penghitungan  upah  per  jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum, serta status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.

Perempuan pekerja yang diupah per jam merupakan kelompok yang paling terdampak. Upah per jam hanya diberlakukan ketika perempuan pekerja sedang melakukan aktivitas produksi. Oleh karena itu, mereka akan kehilangan akses terhadap hak cuti haid, melahirkan,  keguguran,  dan  kesempatan  menyusui  di  tempat  kerja  karena  dianggap sedang tidak produktif. Selain itu, upah per jam akan sangat kecil jika berdasarkan perhitungan  UMK  Jakarta  2020 sebesar Rp 4.2000.000/bulan untuk 8 jam kerja/hari, maka kerjanya hanya dihargai Rp 26.250/jam.

Fleksibilitas tenaga kerja juga akan memberangus serikat pekerja (union busting). Hal itu karena buruh akan sulit untuk berorganisasi baik oleh karena status kerjanya, upahnya yang rendah sehingga memerlukan lembur atau menambah pekerjaan lain. Para pekerja dalam sistem yang diciptakan Omnibus Law RUU Cilaka, selain kehilangan waktu untuk berorganisasi juga akan kehilangan waktu untuk bersosial dan bermasyarakat.

  1. Potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja

Sepanjang tahun, asosiasi pengusaha dan Bank Dunia terus mendorong penurunan dan bahkan penghapusan pesangon. Pemerintah kemudian mengabulkan permintaan itu dengan menjadikan manfaat BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari kompensasi pemecatan.  Sesungguhnya  hal  itu adalah akal-akalan karena pekerja/buruh membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. Artinya, buruh/pekerja sedang membayar sendiri ongkos pemecatan yang akan menimpa mereka. Dengan hilangnya pesangon, maka memudahkan perusahaan relokasi ke daerah yang upahnya lebih murah. PHK massal pun mengancam semua pekerja/buruh.

Dengan semakin mudahnya pengusaha memecat buruh/pekerja membuat kondisi kerja semakin  buruk.  Buruh/pekerja  tidak  akan  punya  daya  tawar lagi untuk memperbaiki kondisi kerja karena akan dengan mudah dipecat tanpa kompensasi yang layak. Pekerja muda dan calon pekerja akan menghadapi kondisi ini di tahun-tahun mendatang. Jaminan kerja (job security) akan hilang.

  1. Membuat orientasi sistem pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah

Pelajar dan mahasiswa yang sedang duduk di bangku sekolah dan perkuliahan juga akan menjadi sasaran bagi kepentingan kapital yang dibawa oleh Omnibus Law RUU Cilaka. Di Indonesia, angkatan kerja baru setiap tahunnya kian meningkat seiring dengan lulusan–lulusan bangku sekolah dan perguruan tinggi yang menjadi tempat membentuk tenaga kerja terdidik. Pemerintah berdalih RUU Cilaka untuk   menyerap 2 juta tenaga kerja baru dan 7 juta pengangguran. Guna memuluskan langkah itu, Menteri Pendidikan dan  Kebudayaan  yaitu  Nadiem Makarim memfasilitasi penciptakan tenaga kerja bagi industri lewat gagasan “Kampus Merdeka”. Sistem pendidikan “Kampus Merdeka” diciptakan agar lulusan mampu menyesuaikan kebutuhan (link and match) industri. Mahasiswa yang hari ini tersedia di perguruan tinggi di seluruh Indonesia dipersiapkan untuk  menjadi  tenaga  kerja  di tengah upaya pemerintah menarik investasi yang kian massif.

Nadiem memberikan kewenangan otonomi terhadap perguruan tinggi untuk membuka program studi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. Bahkan dia mengharuskan perguruan tinggi untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan, organisasi nirlaba, dan institusi multilateral. Kerja sama tersebut dibarengi dengan kebijakan bahwa setiap mahasiswa diharuskan mengambil 40 SKS atau setara dengan tiga semester untuk dapat  melakukan  magang  di  perusahaan,  proyek  di desa (proyek perampasan lahan), penelitian, hingga wirausaha. Pemerintah melalui Nadiem akan menjalin kerja sama dengan perusahaan startup untuk mendukung pemagangan mahasiswa di semester 6 hingga 8. Tenaga magang akan mengisi kebutuhan pekerja murah bagi industri karena tidak perlu dibayar upah secara penuh atau tanpa upah.

Hal yang dirumuskan Nadiem merupakan bentuk komersialisasi, privatisasi, hingga liberalisasi di sektor pendidikan. Padahal, pendidikan seharusnya berorientasi pada kecerdasan dan kemerdekaan  bangsa untuk membebaskan belenggu dari kebodohan dan penjajahan sesuai dengan perjuangan para tokoh terdahulu pada awal abad ke-20. Sistem pendidikan  berorientasi  industri  itu  terjadi  di  tengah  belum meratanya pendidikan di Indonesia akibat kemiskinan, di mana berdasarkan   data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terdapat 1.228.792  anak di usia 7 – 12 yang tidak dapat mengakses pendidikan di Indonesia. Di usia 13 – 15 tahun terdapat 936.675 anak. Sementara  di  usia  16  –  18  tahun  terdapat  2.420.886  anak  juga  yang  tidak  dapat mengakses pendidikan.

Dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, daya kritis mahasiswa juga dikekang melalui upaya  represif.  Mahasiswa  yang melakukan demonstrasi atas kinerja pemerintah atau otoritas universitas dikeluarkan dari kampus, bahkan ada yang ditembak mati oleh aparat keamanan. Kasus tersebut telah dirasakan oleh mahasiswa di Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, di mana 28 mahasiswa dikeluarkan atau DO karena menolak peraturan rektor. Hal itu juga dialami 4 mahasiwa UN Khairun Ternate.

  1. Memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.

Hilangnya ruang hidup juga akan sangat dirasakan mendalam oleh perempuan. Tidak hanya kehilangan sumber penghidupan dan ekonomi, tapi juga menghancurkan nilai sosial, kearifan lokal, pengetahuan dan aspek spiritualitas yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh perempuan. Dipangkasnya partisipasi masyarakat baik dalam prosedur penyusunan RUU Cilaka dan dengan dihapuskannya status wajib AMDAL akan berkontribusi pada menguatnya ketidakadilan gender dan semakin terpinggirnya perempuan serta kelompok minoritas lain.

Terkait  ketenagakerjaan,  sebelum adanya RUU Cilaka ini, buruh perempuan, difabel, minoritas  gender  dan seksual masih mengalami diskriminasi hak yang berujung pada pemiskinan struktural. Dan pemerintah amat lamban merespons kondisi tersebut. Bilamana RUU Cilaka yang jauh dari semangat perlindungan HAM ini disahkan, maka akan   semakin   melanggengkan   diskriminasi   hak   kelompok   minoritas   dan   rentan. Kelompok ini akan semakin terpinggirkan, tidak dapat mengakses hak atas penghidupan yang layak.

Komitmen pemerintah untuk menampilkan diri sebagai Negara yang mendorong pemberdayaan  perempuan adalah  omong  kosong  belaka  ketika  dihadapkan  dengan wacana RUU Cilaka yang mengabaikan hak rakyat. Sebelum adanya RUU Cilaka ini, perempuan telah rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi di tempat kerja. Pun hak khusus perempuan yang secara minimal telah tercantum dalam UUK 13/2003 seperti hak untuk merasa aman saat hamil, dalam praktiknya mudah dilanggar.

Perempuan telah terjerumus dalam situasi kerja yang tidak manusiawi karena target dan jam kerja yang panjang, upah yang seringkali jauh dari standar hidup layak, status yang tidak jelas (baca: kontrak), atau bahkan tidak diakui sebagai pekerja. Ketimpangan relasi tersebut menyebabkan perempuan semakin rentan mengalami kekerasan fisik dan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual ketika sedang bekerja.

RUU Cilaka menghendaki eksploitasi tanpa batas (fleksibilitas), sedangkan hak perempuan menuntut agar tetap diupah dengan layak ketika hamil, melahirkan dan menyusui (tidak bekerja dalam makna produktivitas), mendapatkan tunjangan yang sama seperti layaknya Kepala Keluarga, tanggung jawab atas kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya (sistem cuti bagi korban untuk mengurus kasus, jaminan tidak di-PHK), serta penghapusan kategori pekerjaan unskill yang menyebabkan banyak perempuan tidak diakui status kerjanya dan tidak diupah secara layak. Oleh karenanya, dengan adanya RUU Cilaka maka perempuan tidak terbebaskan dan semakin jauh dari akses pemberdayaan.

RUU Cilaka paling membahayakan dan merugikan untuk kelompok rentan. Misalnya, jika terjadi bencana ekologis, maka perempuan dan anak lebih rentan mengalami kekerasan seksual di pengungsian. Pemerintah cenderung melupakan tanggungjawabnya untuk  memberikan  hak  atas  rasa  aman.  Terbukti  hingga hari ini, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih mandek, hanya diparkirkan saja dalam Prolegnas selama bertahun-tahun. Pemerintah lebih nafsu untuk mengesahkan kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya sendiri.

Selain itu, masyarakat adat memiliki keterkaitan khusus dengan tanahnya. Penggusuran paksa terhadap masyarakat adat tidak sekedar memaksa mereka untuk pindah dan kehilangan   sumber-sumber  penghidupannya, yang  secara subsisten hidup dari memanfaatkan sumber daya alam di sekitar. Namun juga merupakan penghinaan besar terhadap hak asal usul masyarakat adat, yang sudah mengelola sumber daya alam dengan pengetahuan tradisional secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka.

12. Kriminalisasi, represi, dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha.

Aturan dalam Omnibus Law secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor/korporasi ketimbang perlindungan terhadap hak demokrasi dan konstitusional rakyatnya. Amanah konstitusi untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat dikesampingkan begitu saja dengan dalih mendatangkan investasi. Mirisnya, banyak kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat justru yang menjadi pelapornya adalah korporasi/investor itu sendiri, seperti Korporasi BISI di Kediri, Jawa Timur yang melaporkan petani kecil karena dituduh memalsukan benih jagung milik korporasi. Sementara,  negara  abai  untuk  melindungi  dan  membela  rakyatnya,  negara  justru membuat aturan yang mengukuhkan keistimewaan posisi investor (pengusaha/korporasi) dengan berbagai kemudahan regulasi sementara mengebiri hak rakyatnya sendiri.

Segala kemudahan berusaha bagi investor/korporasi dijamin oleh Pemerintah dalam Omnibus  Law  yang  dijalankan  oleh  BKPM  (Badan  Koordinasi  Penanaman  Modal). Mulai dari kemudahan administrasi berinvestasi, pemberian insentif bagi investor, penyediaan  lahan  bagi investor yang akan berinvestasi, dihapuskannya AMDAL juga IMB, jaminan upah buruh yang rendah, penghapusan sanksi pidana bagi investor jahat (anti serikat buruh dan pencemar lingkungan).

Tidak berhenti di situ, bahkan ada berbagai jenis diskon pajak bagi investor/korporasi. Semua  keistimewaan  itu,  tidak  didapatkan  bagi  rakyat  kecil,  justru  yang  terjadi pemerintah mencabut subsidi bagi rakyat kecil, harga kebutuhan pokok seperti pangan semakin mahal, upah buruh semakin murah, dan melemahkan bukan hanya daya saing domestik  tapi  juga daya beli banyak masyarakat Indonesia. Bahkan di banyak kasus, masyarakat diancam dan dikriminalisasi bila tidak mendukung proyek pemerintah dan atau korporasi.

Tidak jarang pemerintah menggunakan aparat kepolisian dan militer untuk mengkriminalisasi masyarakat yang melakukan penolakan terhadap regulasi yang akan dibuat maupun terhadap proyek pembangunan yang berlangsung. Data sepanjang tahun 2019 sudah menunjukkan hal itu. 114 peladang, 94 orang masyarakat adat, 74 petani, dan 25 buruh dikriminalkan karena memperjuangkan hak-haknya. Situasi akan lebih buruk dengan    diberlakukannya    Omnibus   Law.   Kondisi   demikian   akan   memperlebar ketimpangan  ekonomi  dan  ketidakadilan  bagi  rakyat kecil, dikarenakan keberpihakan pemerintah kepada kepentingan investor/korporasi dan abai terhadap nasib rakyat sendiri.

 

Narahubung:

Arip Yogiawan (0812-1419-4445) Raynaldo Sembiring (0813-7667-0167) Nining Elitos (0813-1733-1801)

Tentang Fraksi Rakyat Indonesia (FRI)

Faksi Rakyat Indonesia merupakan gerakan rakyat sipil yang terdiri atas berbagai organisasi/lembaga/kelompok masyarakat yaitu

  1. Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  2. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
  3. Sentra Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
  4. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
  5. Pergerakan Pelaut Indonesia
  6. Jarkom Serikat Pekerja Perbankan
  7. Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
  8. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
  9. Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia
  10. LBH Jakarta
  11. AEER
  12. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  13. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Kristen Indonesia
  14. Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI)
  15. Federasi Pelajar Indonesia (Fijar)
  16. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Dewan Nasional (LMND DN)
  17. YLBHI
  18. ICEL
  19. JATAM
  20. WALHI
  21. KPRI
  22. EPISTEMA
  23. HUMA
  24. GREENPEACE
  25. PWYP
  26. AURIGA NUSANTARA
  27. ICW
  28. Solidaritas Perempuan
  29. KIARA
  30. Perempuan Mahardhika
  31. IGJ
  32. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  33. DEMA UIN Jakarta
  34. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
  35. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  36. RMI-Indonesian Institute for Forest and Environment
  37. CM
  38. Solidaritas Pekerja VIVA.co.id (SPV)
  39. Pusat Studi Agraria (PSA) IPB
  40. Trend Asia

Download >>>

KERTAS POSISI FRAKSI RAKYAT INDONESIA. LENGKAP

12 ALASAN MENOLAK OMNIBUS LAW RUU CILAKA

Tags: Bisnis dan HAM
Previous Post

Pemerintah dan DPR Didesak Demokratis & Transparan Dalam Pembahasan Omnibus Law

Next Post

OMNIBUS LAW CILAKA DRAFT BILL: COLONIAL REGULATIONS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655