Indonesia for Global Justice (IGJ) 7 April 2020
Catatan Monitoring Covid-19 IGJ Penulis: Olisias Gultom |
Tulisan ini disusun oleh IGJ untuk melakukan monitoring secara berkala mengenai situasi krisis ditengah wabah pandemi Covid19 yang ada di Indonesia dan seluruh dunia. Untuk melakukan update terhadap catatan selanjutnya silakan kunjungi website IGJ di www.igj.or.id |
Deteksi dan penyebaran
Sejak diumumkan di Wuhan pada bulan Desember 2019, wabah Covid-19 hingga akhir Awal April 2020 (3 bulan) telah menginfeksi lebih dari 1 juta manusia di 201 negara. Angka statistik menunjukkan bahwa virus yang menyebar sangat cepat ini sekalipun dapat menyebabkan kematian dan belum ada anti virusnya, tetapi jumlah orang yang dapat sembuh cukup tinggi. Bila dibandingkan dengan wabah jenis virus sejenis, angka kematian yang disebabkan oleh Covid-19 lebih rendah, 3,4% (hingga 3 Maret 2020) dibandingkan Sars (9,63 %) atau Mers (34,45%). Perbandingan ini membuat Covid-19 kelihatan tidak lebih berbahaya dibandingkan virus sejenis lainnya. Tapi pada kenyataannya, dalam 3 bulan, Covid-19 secara global telah menyebabkan 59,159 meninggal.
Membandingkan dengan virus sejenis dan dampak yang ditimbulkan seperti oleh Sars dan Mers, maka banyak negara kemudian menyadari bahwa mereka tidak cukup melakukan antisipasi ketika wabah ini mulai menginfeksi warganya. Pemerintah Indonesia pada asumsi awal melihat bahwa sektor pariwisata akan menerima dampak paling signifikan sehingga antisipasi lebih difokuskan pada sektor ini. Tetapi perkembangannya kemudian sangat masif. Iran dan Eropa, khususnya Italia, telah memakan korban begitu cepat hingga jumlah kematian yang melampaui angka di Wuhan. Kebijakan melakukan lockdown kota-kota dan seluruh Italia, juga diikuti oleh kota-kota lain dan beberapa negara di Eropa membuat situasi berkembang secara berbeda dan intensif.
Ketika mulai menginfeksi warga Indonesia, dengan segera angka-angka berkembang cepat. Virus yang tidak mengenal suku, agama, ras dan antar golongan ini pada faktanya menyerang siapa saja. Termasuk juga tenaga kerja produktif dari pekerja teknis hingga pengambilan keputusan. Masyarakat menengah ke atas yang memiliki akses penanganan dan perawatan kesehatan yang baik telah menjadi korban pada tahap pertama. Hal ini juga memberikan indikasi akan kemampuan dan prosedur penanganan medis yang ada di Indonesia. Tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukan pada tingkat global, pada tingkat nasional para pimpinan daerah juga seperti berlomba memperlihatkan kemampuan dalam mengarahkan masyarakatnya sesuai kondisi daerah masing-masing.
Tidak mudah secara awam membedakan antara gejala flu biasa dengan gejala jelas yang mengindikasi infeksi Covid-19. Sementara kecepatan penyebaran pada sisi lain sangat cepat dan masif dari orang ke orang, sekalipun belum memperlihatkan gejala-gejala yang jelas. Tingginya pertemuan-pertemuan nasional atau pertemuan antara pusat dan daerah memberikan kontribusi penyebaran yang tinggi di Indonesia. Serta rangkaian kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam jumlah besar dari berbagai daerah. Hal ini membuat penyebaran masif terjadi pada pulau-pulau di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. Hingga akhir Maret 2020, lebih dari setengah propinsi di Indonesia telah memiliki warga yang positif terinfeksi.
Alat pendeteksi awal yang terbatas serta membutuhkan waktu dalam proses mendeteksinya, membuat jumlah warga yang terinfeksi virus menjadi tidak diketahui dengan akurat. Prosedur pemeriksaan infeksi Covid-19 pada prinsipnya hanya dilakukan pada orang-orang apabila telah memiliki gejala jelas. Hal ini memberikan kemungkinan telah menyebarnya virus secara tidak terdeteksi dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada angka-angka yang telah diumumkan pemerintah secara resmi.
Penanganan dan pendeteksian hanya pada pasien dengan gejala yang jelas tersebut membuka peluang akan terlambatnya pasien dapat tertangani, berbeda bila pasien sejak dini telah dapat dideteksi. Hal ini juga berarti memperbesar kemungkinanan tingginya angka kematian, khususnya sebagai penyakit yang belum memiliki prosedur penanganan secara jelas dan pasti. Bisa jadi hal ini menjadi sebab tingginya angka kematian di Indonesia dibandingkan jumlah orang yang sembuh, berbeda dari umumnya rasio penyembuhan yang terjadi di banyak negara terdampak lainnya.
Penggunaan rapid test, walaupun masih memiliki eror yang cukup tinggi, diharapkan bisa memberikan deteksi lebih awal sehingga penanganan warga terinfeksi akan lebih bisa optimal. Test lebih pasti akan hasil infeksi bisa diperoleh melalui Polimerase Chain Reaction (PCR) yang dilakukan dengan swab, mengambil lendir atau cairan pada hidung. Penggunaan rapid test bisa membuka peluang terjadinya kepanikan sosial. Orang-orang yang merasa sehat dan baik baik saja bisa memberikan reaksi beragam saat menyadari dirinya telah terinfeksi dan harus mengisolir dirinya. Reaksi tiap orang terhadap dirinya dan menghadapi reaksi orang atau lingkungan sekitar dengan pemahaman yang berbeda-beda sangat mudah menimbulkan ketegangan. Situasi ini bisa menciptakan kepanikan, khususnya pada masa awal terbukanya jumlah orang terinfeksi melalui rapid test yang memberikan hasil deteksi dalam waktu relatif singkat dan masif. Kepanikan semacam ini tidak jauh berbeda seperti diperlihatkan pada reaksi masyarakat yang menolak pemakaman korban pada banyak wilayah seperti diberitakan banyak media.
Penanganan tuntas wabah ini jelas tidak mudah. Penyembuhan dan penanganan secara medis, sesuai pengetahuan yang berkembang, setidaknya bisa dilakukan melalui beberapa cara. Menunggu dibuatnya anti virus, melakukan upaya penanganan dengan obat-obatan atau metoda pengobatan yang ada, atau mengandalkan antibodi yang akan dimiliki setiap manusia secara evolutif. Pilihan yang tidak mudah dan masing-masing memiliki resiko dan konsekuensi. Menunggu proses penanganan secara medis berjalan, kondisi terus berkembang dan memberikan dampak yang semakin meluas pada hampir semua aspek.
Problematik social distancing
Sesuai dengan saran WHO (World Health Organization), seperti dilakukan pada banyak negara, Indonesia juga melakukan kebijakan social distancing atau physical distancing. Kebijakan ini masih merupakan antisipasi terbaik dalam menahan penyebaran virus Covid-19. Menghentikan aktifitas sekolah dan menerapkan sekolah dari rumah menggunakan fasilitas internet menjadi pilihan alternatif , khususnya bagi kota-kota besar. Mengikuti himbauan pemerintah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) juga menjadi alternatif bagi banyak perusahaan, khususnya pada sektor-sektor jasa. Jelas tidak semua sektor usaha bisa melakukan hal ini seperti manufaktur, pertanian, perkembunan, pertambangan dan lain sebagainya.
Situasi ini membuat Covid-19 telah mempercepat proses pemanfaatan internet dalam berbagai bidang. Pemanfaatan belanja, bekerja, sekolah, berkunjung dan lain sebagainya secara online semakin populer. Masing-masing bidang dengan segera mulai menyusun metode kerja dan pemanfaatan fasilitas secara online pada hampir semua bidang. Semua sedang menyusun dan terus memperbaiki mekanisme kerja secara online bagi kebutuhan mereka. Berbagai aplikasi mulai dibuat untuk berbagai kebutuhan, baik dalam rangka menghadapi Covid-19 maupun kebutuhan lainnya. Perlindungan data pribadi yang lemah di Indonesia tetap menjadi persoalan dibalik percepatan pemanfaatan fasilitas online ini. RUU (Rancangan Undang-Undang) yang sedang disusun harus segera disahkan sebelum persoalan lain muncul sehubungan perlindungan data pribadi masyarakat.
Berhentinya aktifitas perkantoran dan sekolah di Jakarta dan sekitarnya telah memberikan dampak langsung, khususnya para pedagang kecil dan sektor informal di kota-kota besar. Pekerja sektor informal (74 juta) yang merupakan 57% [Biro Pusat Statistik/BPS 2019] dari seluruh pekerja di Indonesia menjadi kelompok yang paling rentan kehilangan penghasilannya.
Jaring pengaman sosial tidak siap dalam situasi ini karena yang disanggah melalui program Bansos (Bantuan Sosial), PKH (Program Keluarga Harapan) dan lainnya adalah kelompok masyarakat miskin. Kelompok pekerja informal yang rentan miskin, dan dalam situasi ini dengan segera masuk ke dalam kelompok miskin, tidak dilindungi dalam program-program semacam itu.
Kesulitan mendapatkan penghasilan dan rendahnya kemampuan bertahan hidup membuat sebagian besar kelompok ini mulai bermigrasi ke daerah asal mereka masing-masing. Himbauan pemerintah agar tidak melakukan ‘pulang kampung’ sulit dilakukan. Resiko perluasan penyebaran sebaliknya menjadi semakin membesar bersamaan perpindahan ini. Pemerintah daerah mulai menyiapkan antisipasi yang kelihatannya akan sulit menghadapi datangnya jutaan orang sementara tetap harus melakukan prosedur isolasi 14 hari. Ancaman perluasan Covid-19 masih akan tetap tinggi, untuk itu kesiapan fasilitas kesehatan daerah jadi pilihan yang tidak bisa dihindari.
Puasa dan Idul Fitri merupakan salah satu puncak konsumsi nasional termasuk momen masuknya dana dalam jumlah besar dari berbagai negara ke daerah-daerah di Indonesia oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tetapi momen ini juga menjadi puncak migrasi jutaan orang dari kota dan luar negeri ke daerah-daerah di Indonesia. Bisa berubah menjadi puncak penyebaran secara masif. Kebijakan menahan laju penyebaran akan sulit dilakukan, sebaliknya kemampuan daya beli atau konsumsi terkendala situasi terhentinya aktifitas perekonomian. Situasi dilematis ini membuat keputusan pemerintah menjadi tidak mudah, begitu juga dengan dampak yang dirasakan masyarakat.
Pilihan lock down atau karantina total kota-kota atau negara secara keseluruhan menjadi tidak mudah. Dampak ekonomi yang segera dilanjutkan dengan reaksi sosial akan memberikan gonjangan yang semakin sulit dikendalikan. Pada sisi lain kemampuan negara cukup terbatas untuk menanggung beban ekonomi masyarakat secara langsung seperti negara lain. Amerika dikabarkan akan memberikan insentif kepada rakyatanya, Inggris juga akan menanggung sebagian gaji karyawan yang terdampak. Hal yang sulit dilakukan pemerintah Indonesia. Keputusan pemerintah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pihan moderat yang tetap saja akan memberikan dampak yang tidak mudah bagi masyarakat.
Kebijakan karantina terbatas dengan himbauan WFH (Work From Home) tidak bisa dilakukan oleh manufaktur. Banyak pabrik masih menjalankan produksinya dan mempekerjakan buruhnya dan para pekerja tidak dilengkapi alat pelindung diri seperti masker atau prosedur pengamanan yang ketat. Terdapat pabrik yang telah melakukan ‘lockdown’ pabrik dan tidak membayar gaji para buruh. Tidak adanya ketentuan yang tegas atau pemaksa dari pemerintah membuat para pekerja akhirnya harus memperjuangkan sendiri tuntutan fasilitas pelindung diri hingga melakukan negosiasi terhadap ketentuan pemotongan gaji.
Banyak perusahaan juga memanfaatkan situasi untuk melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dengan alasan yang sesungguhnya berbeda dan sebaliknya meminta insentif kepada pemerintah. Tetapi terdapat juga pabrik ekportir yang telah menutup produksinya akibat tidak adanya order. Manufaktur mungkin ditahun ini tidak melakukan PHK tetapi membayar setengah gaji atau memberikan cuti tanpa dibayar. Belajat dari pengalaman yang pernah terjadi, situasi seperti ini bisa dimanfaatkan pengusaha dalam rangka melakukan restruktur hutang sehingga menetapkan status pailit pada perusahaan. Pada situasi ini, kembali buruh akan menjadi korban.
Berkembangnya narasi lock down dan darurat sipil memberikan reaksi berlebih masyarakat secara luas. Himbauan social distancing pada banyak wilayah telah berkembang pada tindakan melakukan lock down lokal secara sukarela pada wilayah mereka masing-masing. Masyarakat mulai memblokir wilayah atau perkampungan mereka agar tidak dimasuki atau dilintasi warga lainnya. Bahkan pada beberapa wilayah dilakukan pencatatan detail bagi warganya apabila keluar pemukiman dan melaporkan kepada siapa saja mereka bertemu. Situasi yang jauh lebih mendekati darurat sipil ini pada dasarnya akan sulit bertahan mengingat daya tahan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Bila berlangsung lebih lama dan tanpa kontrol atau kordinasi dengan aparatur negara, situasi ini berpeluang menciptakan kekacauan sipil.
Pemberlakuan isolasi mandiri dan pembatasan aktifitas ekonomi menjelang puasa dan lebaran akan membuka ancaman terhadap kesediaan pangan secara nasional. Kapasitas cadangan dan daya tahan di kota-kota cenderung lebih rendah daripada di daerah atau desa-desa. Produksi di daerah berpeluang terhenti atau setidaknya terganggu dan hal ini membuka peluang terjadinya krisis pangan. Pilihan impor pada sisi lain menjadi alternatif yang tidak mudah mengingat negara-negara importir juga menghadapi situasi yang hampir sama. Mereka cenderung akan menahan ekspor pangan mereka dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan nasional masing-masing. Alternatif lain dalam menghadapi potensi krisis pangan harus menjadi perhatian pemerintah mengingat situasi ini belum jelas akan berlangsung berapa lama.
Secara finansial daya tahan keuangan Indonesia juga mendapatkan ancaman. Kurs 20.000 rupiah per USD, berdasarkan perhitungan banyak ahli, merupakan ambang batas kemampuan perbankan untuk bisa menjaga likuiditasnya agar tidak terjadi gagal bayar. Sementara hingga pertengahan Maret 2020 nilai kurs rupiah sempat mencapai 17.000 rupiah/USD. Seberapa kuat Bank Indonesia akan mampu menjaga likuiditas perbankan? Bilamana situasi berkembang diluar kendali atau berjalan lebih lama maka skenario masuknya dana IMF jelas akan menjadi harapan dalam menghadapi situasi ini. Menteri Keuangan memperkirakan situasi terburuk pertumbuhan Indonesia bisa mencapai minus 0,4%.
Penanganan, Momentum dan Ancaman
Pada tanggal 27 Maret 2020 IMF (International Monetary Fund) resmi menyatakan dunia telah memasuki resesi ekonomi secara global. Setidaknya 80 negara telah mengajukan permintaan bantuan kepada IMF dan G20 menghitung kebutuhan sekitar 5 triliun USD atau 6% dari GDP global bahkan lebih. Situasi ini menunjukkan jelas dampak wabah ini sangat besar bahkan diperkirakan akan lebih besar dari krisis ekonomi global sebelumnya. Mengandalkan IMF dalam kondisi permintaan yang sama dari banyak negara juga menjadi pilihan yang tidak mudah dan mengandung resikonya sendiri.
Kebijakan pemerintah Indonesia menghadapi Covid-19 dengan memberikan stimulus ekonomi pertama (I) pada akhir Pebruari 2020 yang dititikberatkan pada sektor pariwisata berlalu begitu cepat akibat asumsi-asumsi yang terlalu optimis sehingga harus ditunda pelaksanaannya serta dirubah secara signifikan. Revisi berikutnya dilakukan stimulus II pada minggu kedua Maret 2020 yang mulai menyinggung soal ketahanan pangan dan bahan baku impor untuk industri. Pada awal April 2020, bersamaan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), pemerintah menyiapkan dana menghadapi Covid-19 sebesar Rp. 405,1 triliun. Dana tersebut diperuntukan untuk Kesehatan Rp. 75 triliun, Jaring Pengaman Sosial Rp. 110 triliun, Insentif pajak & KUR Rp. 70.1 triliun dan Pemulihan Ekonomi Nasional Rp. 150 triliun.
Situasi yang berkembang cepat membuat keputusan juga dilakukan cengan cepat bahkan melebihi kesiapan pelaksanaan di lapangan. Misalnya pada pernyataan presiden tentang penangguhan hutang atau cicilan setahun bagi kredit kendaraan bermotor. Pada pelaksanaanya pihak leasing belum mendapatkan informasi tentang hal tersebut serta bagaimana tatalaksananya, akibatnya terjadi gesekan antara leasing, pihak ketiga dan masyarakat. Persoalan semacam ini berpotensi muncul pada banyak kasus lainnya, khususnya terkait persoalan perbankan dan finansial, dimana tatalaksana yang tidak siap, lemahnya pengawasan, moral hazard, dan lainnya dan semuanya memanfaatkan isu Covid-19.
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sudah mengeluarkan POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan), terkait penangguhan cicilan dan bunga hutang khususnya untuk UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menegah) dan masyarakat berpenghasilan rendah. Tetapi OJK tidak menetapkan batasan-batasan tertentu dan memberikan keleluasaan kepada pihak bank dalam memberikan keringanan cicilannya. OJK yang cenderung lepas tangan bisa menyebabkan akan ‘meledaknya’ NPL (Non Performance Loan) bank misalnya bila mereka melakukan penangguhan selama setahun kepada KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Belajar dari pengalaman tahun 1998 atau BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), dikuatirkan adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi dengan melakukan modifikasi laporan keuangannya sehingga terlihat bermasalah sehingga bisa meminta atau mendapatkan fasilitas-fasilitas kemudahan. Pengalaman masa lalu menunjukan pola bermain umumnya dilakukan pada pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pihak perbankan.
Pemerintah cukup jelas menyakinkan bahwa situasi darurat dan ancaman krisis multidimensi berpeluang terjadi dalam waktu dekat. Berbagai kebutuhan seperti pangan dan bahan baku industri perlu dijaga melalui impor. Selain hal tersebut mengandung ketidakpastian akibat negara eksportir juga berpeluang menahan komoditinya, situasi ini juga sangat mudah dimanfaatkan pengusaha importir nasional. gejala ke arah tersebut mulai ‘tercium’, belum lagi wabah memasuki puncaknya, beberapa komoditi seperti gula sudah mulai langka di pasaran.
Pengusaha importir beras, gula, garam dan beberapa komoditi lain yang selama ini menjadi polemik mendapatkan peluang untuk memanfaatkan situasi ini demi kepentingan bisnis dan kelompoknya. Ketegasan dan kecermatan pemerintah sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi ini. Tetapi pada kenyataannya agenda-agenda ekonomi dan politik tertentu masih menjadi pilihan yang mendapatkan pertanyaan publik.
Box: Stimulus I dan II
Dalam rangka mengurangi dampak Covid-19 pemerintah mengeluarkan paket kebijakan berupa stimulus kepada masyarakat dan pelaku industri pada akhir Februari 2020. Stimulus fiskal dan non fiskal yang dikeluarkan pemerintah melalui insentif kepada badan usaha bertujuan untuk mendorong tingkat konsumsi masyarakat. > Percepat penyaluran dana melalui Kartu Pra Kerja, di prioritaskan 3 propinsi. > Menambah insentif program Kartu Sembako selama 6 bulan. > Menambah subsidi bunga dan uang muka perumahan, 175.000 unit rumah baru layak huni. > Insentif industri pariwisata pada 10 destinasi wisata, diskon penerbangan. Anggaran bagi influenser dan media sosial sebesar 72 miliar dan alokasi ini menimbulkan kritik berbagai kalangan. > Memberikan stimulus diskon penerbangan hingga 20% selama 3 bulan bagi 10 destinasi wisata. > Memberikan diskon avtur selama 3 bulan. > Realokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) pembangunan infrastruktur di 10 Destinasi Wisata. > Pembebasan Pajak Hotel dan Restoran di 10 Destinasi Wisata Prioritas. Stimulus kedua dikeluarkan pada minggu kedua Maret 2020. Total stimulus kedua sebesar Rp 22,9 triliun dan stimulus pertama sebesar Rp. 10,3 triliun. Paket stimulus kedua terdiri dari stimulus fiskal, stimulus non-fiskal, dan stimulus sektor keuangan. Stimulus sektor fiskal, > relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 untuk pekerja manufaktur selama 6 bulan, > relaksasi PPh pasal 22 Impor selama 6 bulan untuk sektor 19 sektor tertentu, > pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% selama 6 bulan untuk 19 sektor tertentu, dan > relaksasi restitusi PPN yang dipercepat selama 6 bulan untuk 19 sektor tertentu. Stimulus sektor fiskal, > relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 untuk pekerja manufaktur selama 6 bulan, > relaksasi PPh pasal 22 Impor selama 6 bulan untuk sektor 19 sektor tertentu, > pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% selama 6 bulan untuk 19 sektor tertentu, dan > relaksasi restitusi PPN yang dipercepat selama 6 bulan untuk 19 sektor tertentu. Stimulus sektor non-fiskal, > penyederhanaan/pengurangan Lartas (larangan terbatas) ekspor yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran ekspor dan daya saing produk ekspor; > penyederhanaan/pengurangan Lartas impor untuk meningkatkan impor bahan baku; > percepatan proses ekspor-impor untuk Reputable Trader kepada 625 perusahaan Mitra Utama Kepabeanan (MITA) dan 109 perusahaan Authorized Economic Operator (AEO); > percepatan proses ekspor-impor melalui National Logistics Ecosystem. Stimulus perekonomian, > mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, > menjaga stabilitas sistem keuangan, dan > mendukung pertumbuhan ekonomi terutama sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Selanjutanya pada 31 Maret 2020 pemerintah bersamaan dengan menerbitkan Perppu No.I/2020 kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mengatasi Covid-19, dengan menggunakan sumber keuangan negara, mengeluarkan dana sebesar Rp 405,1 triliun. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk beberapa sektor. > Perlindungan Sosial (Rp. 110 triliun) > Kesehatan (Rp. 75 triliun) > Program Pemulihan Ekonomi (150 triliun) > Insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat/KUR (70.1 triliun) |
Agenda pemerintah melakukan perubahan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk disesuaikan dengan perkembangan kondisi akibat Covid-19, walaupun tetap harus dicermati, hal ini masih dapat dipahami. Tetapi pemaksaan penetapan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang mengandung kontroversi dan berimplikasi multi aspek dan multi dimensi, akibat berhubungan dengan banyak sektor dan perundangan, sepertinya mengundang pertanyaan besar.
Upaya menarik investasi dengan melakukan deregulasi melalui omnibus law terus dipaksakan oleh pemerintah pada saat dunia sedang mengalami perlambatan, termasuk perlambatan arus investasi. Keputusan melakukan percepatan pada saat yang tidak tepat dan ancaman krisis menjadi keputusan yang layak dipertanyakan. Jangan sampai kasus BLBI kembali terjadi.
Alasan investasi sepertinya tidak menjadi alasan utama tetap dipaksakannya omnibus law untuk diundangkan. Pada kluster pangan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terdapat perubahan dimana impor pangan disamakan dengan produksi dan cadangan nasional. Hal ini berarti aturan impor yang sebelumnya hanya bisa dilakukan apabila produksi dan cadangan nasional tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri tidak lagi berlaku. Ancaman krisis akibat Covid-19 menjadi alasan digunakannya omnibus law sebagai payung hukum agar leluasa melakukan impor. Mekanisme hukum lain seperti Perppu yang bisa dilakukan tidak menjadi pilihan pemerintah saat ini.
Sementara melalui omnibus law Cipta Kerja ini persoalan lain yang masih menjadi polemik akan ikut disahkan. Misalnya soal kemudahan ijin lingkungan bagi investor, tenaga kerja murah, liberalisasi Tenaga Kerja Asing untuk start up dan kemudahan lainnya khususnya bagi investasi asing. RUU ini juga mengurangi sanksi terhadap monopoli dimana hal ini memberikan peluang bagi kelompok-kelompok pengusaha nasional tertentu untuk memperluas produksinya sehingga tidak menghambat ekspansi monopolinya. Begitu juga persoalan lain yang menjadi kritik berbagai kelomok masyaraat. Pemaksaan dan percepatan diundangkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang memang telah dipersiapkan sebelum situasi krisis, akhirnya lebih dilihat sebagai pemanfaatan momentum ketimbang menjadi alat dalam menghadapi ancaman serius Covid-19.
Covid-19 telah membawa Indonesia memasuki krisis multidimensi, yang berpeluang jauh lebih besar dari krisis ekonomi global tahun 2008 atau bahkan dari krisis Asia tahun 1998. Krisis moneter tahun 1998 umumnya terjadi di kota-kota besar. Sebaliknya di desa-desa yang mengandalkan perkebunan dan pertanian tidak mengalami situasi krisis sehebat di perkotaan. Mereka masih bisa melakukan produksi dan menjaga daya hidup mereka. Tetapi situasi saat ini mengancam setiap orang hingga ke desa-desa sehingga mereka tidak lagi bisa beraktiftas dan berproduksi. Akibatnya mengancam produksi secara nasional. Hal ini tentunya membuka peluang terjadinya krisis terhadap daya hidup.
Pengalaman Indonesia mengadapi krisis selalu dibarengi dengan kontroversi kebijakan dan moral hazard yang memanfaatkan situasi dan mengorbankan negara dan masyarakat. Kasus BLBI yang tidak mendapatkan penyelesaian sejak krisis 1998. Kasus Century yang juga tidak mendapatkan kejelasan sejak krisis 2008. Saat ini, lahirnya Perpu No.1/2020, yang kontroversi akibat berisi pasal yang membebaskan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) dan jajarannya dari peluang tuntutan pidana dan perdana kembali menjadi pertanyaan besar. Bayang-bayang Kasus BLBI dan Kasus Century kembali menghantui masyarakat, sebagai kelompok yang akan menanggung akibatmya.
Corona membawa perubahan?
Krisis moneter 1998 hanya terjadi di Asia, khususnya Asia Tenggara, tetapi krisis kali ini terjadi secara global. Semua negara di dunia terancam oleh Covid-19. Negara-negara maju di Utara hampir semua sedang kewalahan perkembangan penyebaran infeksi dan penanganan yang seperti tanpa henti. Setiap hari dilaporkan ratusan orang meninggal dan ribuan orang baru terinfeksi. Rumah sakit tidak pernah cukup begitu juga peralatan medis yang dibutuhkan. Pabrik-pabrik berubah fungsi membuat kebutuhan medis dan apa saja yang dibutuhkan. Aktifitas perekonomian lumpuh, pasar saham dimana-mana runtuh. Sebagian negara negara di dunia sedang sibuk dan panik, sebagian lagi sedang bersiap-siap bilamana datang. Suasana saat ini seperti sedang menghadapi perang dunia. Perang Dunia Ketiga, perang melawan virus.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan telah berada pada minus sampai 1 %. Bank sentral Amerika mengeluarkan ratusan milyar dollar ke pasar keuangan sebagai bentuk kuantitatif easing, pembeli surat hutang pemerintah Amerika. Ini biasa dilakukan bank sentral amerika apabila memasuki situasi krisis seperti tahun 2008-2009. Pemerintah Amerika mengeluarkan stimulus 2 triliun USD, terbesar dalam sejarah USA, dimana akan memberikan insentif 1200 USD bagi orang dewasa dan 500 USD bagi anak. Negara kapitalis yang liberal ini sedang bertindak menjaga universal basic income, menjaga daya beli dengan membagikan cash kepada penduduknya. Mungkin ini kali pertama dalam sejarah Amerika Serikat.
Apakah Amerika akan berubah? Tidak mudah menyimpulkan hal tersebut mengingat adanya situasi Pemilu di dalam negeri. Apakah langkah Trumph mengambil kebijakan yang mirip kampanye Bernie Sanders saingan terberatnya sekaligus dalam rangka menarik simpati? Tapi apapun itu, Trumph telah memperlihatkan perubahan wajah kapitalis Amerika. Setelah kebijakan ala proteksionisnya, kali ini mengambil kebijakan gaya sosialis, mencuri materi kampanye demokrat kiri Amerika. Kebijakan Boris Johnson di Inggris yang akan menanggung 80% gaji para pekerja, memperlihatkan wajah kapitalis yang tidak jauh berbeda dan keduanya dilakukan oleh kelompok kanan di negaranya masing-masing, konservatif maupun republik.
Melihat apa yang sedang berkembang secara global sejak sebelum hingga datangnya wabah, kemana arah globalisasi akan berubah? Apakah sedang terjadi Hybrid Kapitalisme? Atau kapitalisme sedang menunjukan elastisitasnya dalam mempertahankan diri dari keambrukan dan keruntuhan? Apapun itu, Covid-19 telah menjadi katalisator yang mempercepat terjadinya proses perubahan global. Tinggal bagaimana selanjutnya setiap komponen memanfaatkan ini sebagai momentum dalam memperbaiki bumi, manusia dan interaksi diantara keduanya.
Covid-19 terjadi ditengah kapitalisme yang sedang memasuki krisis, dimana perang dagang terbuka sedang terjadi antara Amerika Serikat dengan China. Perkembangan perekonomian China telah membuat kutub dunia mengalami pergeseran dan mendorong terjadinya perang dagang secara terbuka, melanggar aturan-aturan yang telah disepakati puluhan tahun. Wabah Covid-19 kemudian menguji daya tahan setiap negara dan bagaimana menjaga perekonomiannya. Ketika wabah nantinya surut, maka ‘kutub-kutub’ baru dunia bisa jadi akan terlihat semakin jelas.
Covid-19 datang ditengah semakin gencarnya kampanye perubahan iklim di dunia, khususnya di Eropa. Teringat kisah seorang gadis remaja, Greta Thunberg, yang memulai aksi perubahan iklim dari palemen di negaranya Swedia, hingga menjadi gelombang protes para remaja di seluruh Eropa hingga belahan dunia lainnya. Pesan generasi muda kepada generasi tua, para pemimpin dan pengendali kekuasaan yang terlalu lemah dalam kooptasi cengkraman rejim kapitalis minyak. Alam, dimana lingkungan dan iklim, cederung dilupakan, disepelekan dan hanya menjadi lips service atau bahkan menjadi alat untuk mendominasi semata, saat ini
telah merestui virus corona menjadi wabah bagi manusia secara global. Melalui Covid-19, alam memberikan pesan yang jelas atas perubahan-perubahan didalamnya yang menuntut keseimbangan baru bagi alam. Agar alam, lingkungan dan iklim kembali menjadi perhatian penting dan utama dalam pembangunan dan kebijakan global. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, gelombang alam pasti akan datang!
Covid-19 saat digitalisasi mulai menjadi bagian dari kehidupan manusia. Percepatan digitalisasi pada hampir semua bidang dan kebutuhan, secara perlahan mulai memperlihatkan bentuk struktur relasi industrial dan sosial baru pada masyarakat. Bagaimana interaksi dalam bekerja hingga interaksi sosial sedang mneyusun bentuknya yang baru. Umumnya anak-anak yang sebelumya sudah terbiasa dalam aktifitas digital terlihat lebih mampu mengadapi situasi keterasingan sosial baru berfasilitas digital ini
Covid-19 datang disaat pemerintah sedang gencarnya mengundang investasi masuk ke Indonesia. Segala upaya telah dilakukan, menyediakan infrastruktur dan kini melakukan percepatan deregulasi, merubah UU (Undang-Undang) hasil kesepakatan rakyat. Liberalisasi sejak 1998 telah mendapatkan perlawanan yang jelas dari rakyat, setidaknya terlihat dari penolakan setiap UU yang bertentangan dengan konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi. Kepentingan kapitalis global pada banyak sisi jelas bertentangan dengan kepentingan rakyat, dimana hal tersebut pada perspektif sejarah sebaliknya telah melahirkan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa, sebagai negara. Pemerintah yang dipilih rakyat dan sebagai pengabdiannya terhadap rakyat, sudah selayaknya berada pada sisi rakyat bukan sebaliknya mengakali rakyat.
Pengalaman Indonesia sejak tahun 1998 yang melayani permintaan atas nama investasi, memperlihatkan bukan hanya tidak kunjung datangnya investasi seperti yang diharapkan, melainkan semakin tergantungnya Indonesia dari investasi global. Pada dasarnya proses tuntutan dan pemenuhan tersebut hanya akan merubah negara dan bangsa ini sebagai wadah dalam rangka melayani kepentingan kapital global, jauh dari cita-cita bangsa ini memerdekakan diri.
Covid-19 memberi pelajaran bagaimana ketamakan atas keuntungan yang telah merusak alam, menelantarkan lingkungan, merubah iklim kini mengembalikan dampaknya kepada kita. Ekonomi dengan mengandalkan konsumsi hanya dalam hitungan bulan telah porak poranda. Ekonomi dengan mengandalkan infrastruktur semata tidak mampu bertahan dan melakukan fungsinya. Investasi seperti apa yang hendak dicari? Investasi yang dengan mudah melarikan diri? Investasi yang tidak bertanggungjawab terhadap pekerja? Investasi yang tidak perduli akan kerusakan lingkungan dan hanya pada keuntungan semata? Investasi yang hendak menganbil alih dan menguasai aset rakyat?
Menempatkan kembali kedaulatan rakyat pada porsinya harus menjadi perhatian utama. Mengembalikan pelayanan publik sebagaimana layaknya rakyat ditempatkan dan dilayani harus segera dilakukan. Membangun produksi berdasarkan kerakyatan dan solidaritas sosial akan menjadi dasar yang kuat bagi bangsa dan kemanusiaan. Membangun negara yang mampu memenuhi kebutuhan negerinya dan membangun produksi yang khas, selayaknya menjadi dasar bagaimana perdagangan dunia dilakukan dalam penghargaan dan kesederajatan yang sama antar negara. Maka perdamaian dunia, antara negara dengan negara, bangsa dengan bangsa, manusia dengan alam menjadi keniscayaan.
Sebuah harapan, ketika masyarakat bergotong royong memproduksi kekurangan peralatan medis, melakukan pembersihan lingkungan, membangun organisasi warga dalam menjaga wilayahnya dan aktifitas solidaritas lainnya. Usaha kecil menengah berubah memproduksi bermacam kebutuhan lain. Pada skala global beberapa pabrik juga mulai merubah produksi mereka memenuhi kekurangan peralatan medis, tidak hanya bagi negaranya, tetapi juga bagi negara lainnya. Produksi kerakyatan dan solidaritas sosial kembali mengambil peran nyatanya sebagai kekuatan yang sesungguhnya dari produksi dan pemenuhan kebutuhan. Solidaritas sosial, solidaritas kemanusiaan dalam kegotong royongan menjadi kekuatan utama sebagai masyarakat, sebagai bangsa, sebagai manusia dalam menghadapi persoalan bersama.
=============================
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Email: igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Website: www.igj.or.id
Download >>>Indonesia Dalam Pusaran Covid-19-og 1