Oleh: Rahmat Maulana Sidik1
Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan kejar tayang oleh DPR dan Pemerintah patut dipertanyakan secara essensial dan substansial. Alih-alih ingin menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru RUU Cipta Kerja dalam berbagai prosesnya melahirkan sifat non-demokratis dan non-transparansi.
Salah satunya dapat dilihat dari komposisi penetapan Satgas (Satuan Tugas) yang dibentuk oleh Kemenko Perekonomian, Airlangga Hartarto malah didominasi kalangan pebisnis dan elitis pemodal2. Maka, tidak heran draft RUU Cipta Kerja yang lahir bersifat eksploitatif dan menguntungkan golongan tertentu saja, bukan untuk kemashlahatan bersama.
Sesuai dengan namanya RUU Cipta Kerja, yang seharusnya menciptakan peluang kerja bagi tenaga kerja lokal sehingga bisa mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Dalam substansinya justru RUU Cipta Kerja ini juga memberikan kesamaan derajat dengan tenaga kerja asing.
Bisa dilihat dalam Pasal 15 UU Hortikultura yang telah diubah dalam RUU Cipta Kerja. Perubahannya dalam RUU Cipta Kerja itu yakni tidak dibenarkan memperlakukan pembedaan antara pekerja lokal dengan tenaga kerja asing (TKA). Padahal dalam UU Hortikultura sebelumnya ada kewajiban bagi pelaku usaha untuk mengutamakan tenaga kerja dalam negeri ketimbang tenaga kerja asing.
Belum lagi RUU Cipta Kerja ini ternyata semakin banyak menghilangkan hak-hak pekerja yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, kemudian direduksi dalam RUU Cipta Kerja. Seperti penghapusan ketentuan Pasal 91 dalam UU Ketenagakerjan3, dengan menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah pekerja sesuai upah minimum yang telah ditetapkan.
Itu berarti pengusaha dapat membayar upah pekerja dibawah upah minimum. Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, apabila pengusaha memberikan upah dibawah upah minimum. Maka ketentuan itu dapat batal demi hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kini ketentuan itu dihilangkan dalam RUU Cipta Kerja sekaligus mengurangi hak pekerja untuk menuntut bila upah dibayarkan tidak sesuai dengan upah minimum.
Kondisi hak pekerja lainnya yang dikurangi dalam RUU Cipta Kerja yakni mengubah Pasal 93 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang me-reduksi hak tetap mendapatkan upah bagi pekerja yang sedang melakukan kegiatan-kegiatan seperti: ke-agamaan, pernikahan, mengkhitankan, sedang mengalami masa haid, dan terdapat keluarga meninggal dunia.
Dengan tidak diberikan hak upah kepada pekerja yang sedang melakukan kegiatan-kegiatan urgen tentunya akan merugikan hak pekerja. Apalagi jika posisi pekerja sebagai pekerja kontrak dalam waktu tertentu, yang fleksibel dalam hubungan kerjanya. Tentu akan mengurangi pendapatan upah yang seharusnya diterima pekerja.
Kondisi kerja yang fleksibel melalui kontrak kerja waktu tertentu juga di-reduksi jangka waktu pekerjaannya. Sebelumnya jangka waktu PKWT dalam Pasal 59 dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Kini dalam RUU Cipta Kerja dihapuskan jangka waktu PKWT tersebut. Hal ini membuka peluang bagi pekerja dapat di kontrak sekehendak hati pengusaha, bisa jadi 5 bulan, 6 bulan, 24 bulan atau bahkan menjadi pekerja kontrak selamanya. Kondisi demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja bagi si pekerja.
Dengan menerapkan konsep easy hiring, easy firing (kemudahan mengambil, kemudahan melepas) kepada pekerja ini akan merugikan pekerja karena sewaktu- waktu bisa dipekerjakan dan diputus hubungan kerjanya tanpa kepastian hak-hak normatif.
Selain itu, adanya pengubahan di RUU Cipta Kerja terhadap Pasal 77 UU Ketenagakerjaan mengenai pengaturan kebijakan waktu kerja yang diserahkan melalui Peraturan Perusahaan, menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Betapa tidak, selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar namun waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja4.
Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan. Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Akan semakin menjerumuskan nasib pekerja dibawah jurang eksploitasi. Karenanya, pantas saja RUU Cipta Kerja dikatakan bukan menciptakan peluang kerja baru justru membuka ruang eksploitasi dan penindasan baru bagi pekerja.
1 Penulis merupakan Koordinator Advokasi di Indonesia for Global Justice (IGJ).
2 https://tirto.id/komposisi–bermasalah-satgas-omnibus-law-enEn
3 lihat dalam draft RUU Cipta Kerja melalui link: https://ekon.go.id/info-sektoral/15/6/dokumen- ruu-cipta-kerja
4 https://igj.or.id/omnibus-law–payung–hukum–menarik-investasi-atau–melegitimasi-eksploitasi/
Download>>>Hilangnya Hak-Hak Pekerja Dalam RUU Cipta Kerja