Serial diskusi suara dari Sulawesi
Jakarta, 10 Mei 2020 – Serial diskusi suara dari pelosok negeri dengan topik menyoal kebijakan pemerintah tentang krisis multidimensi & omnibus law ditengah pandemi Covid19 bertujuan untuk mengkritisi dua isu penting yang sedang dihadapi oleh masyarakat, yaitu:
Pertama, krisis multidimensi yang terus memuncak akibat merebaknya wabah covid-19 dan kita sendiri belum tahu akan seperti apa situasi kedepannya; dan Kedua, pembahasan omnibus law yang semakin dikebut oleh DPR dan Pemerintah ditengah kebijakan pengetatan pembatasan sosial akibat Covid-19, yang mengakibatkan adanya isu krisis demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid19 sangat berdampak pada banyak hal, diantaranya perekonomian, ketenagakerjaan, pangan, kesehatan bahkan menimbulkan krisis multidimensi yang berdampak pada kebebasan berekspresi dan demokrasi.
PHK Massal ditengah Pandemi
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia tidak benar-benar melindungi kepentingan rakyat kecil. Bisa dilihat dari beberapa kali stimulus yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Keberpihakannya didominasi tertuju pada pengusaha/perusahaan untuk menggerakkan roda perekonomian bukan melindungi keberlanjutan hidup rakyat kecil. Dari annggaran 405 Triliun yang digelontorkan, hanya 20 Triliun yang dialokasikan bagi pekerja/buruh. Itupun anggarannya dikelola oleh perusahaan yang berbasis digital dan tidak secara serius menyasar pada perlindungan buruh/pekerja yang di PHK dan dirumahkan.
Insentif yang diberikan kepada Perusahaan bukan untuk menyelamatkan buruh dari krisis ekonomi yang terjadi. Justru pandemi dijadikan alasan untuk melakukan PHK massal terhadap buruh. Data dilapangan menunjukkan terjadi PHK massal dibeberapa daerah, seperti perusahaan pabrik sepatu yang melakukan PHK sebanyak 2000[1] pekerjanya, bahkan terdapat bunuh diri disebabkan depresi tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari[2].
Data Dinas Ketenagakerjaan Bandung melaporkan tercatat sebanyak 3.396 pekerja terkena PHK ditengah pandemi[3]. Presiden Jokowi juga menyatakan sebanyak 375 ribu pekerja formal di PHK akibat pandemi sementara 1 juta lebih pekerja informal dirumahkan[4]. Sedangkan data di wilayah Makassar, terdapat sekitar 12 ribuan pekerja yang dirumahkan dan sebanyak 4.241 pekerja di Makassar yang tidak dibayarkan upahnya oleh perusahaan selama pandemi Covid19 ini[5].
Mirisnya, Banyak PHK massal yang terjadi hanya dijadikan angka statistik belaka oleh Pemerintah untuk dilaporkan kepada publik. Tetapi tidak dibarengi dengan membuat kebijakan yang melindungi nasib tenaga kerja yang di PHK atau dirumahkan.
Pemerintah Tidak Sanggup Memenuhi Kebutuhan Masyarakat ditengah Pandemi
Anggaran jaminan sosial yang digelontorkan Pemerintah Indonesia sekitar 2,1% terbilang sangat kecil, bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Seperti Singapura menggelontorkan 5,3% dari PDB nya, dan Malaysia 4,2% dari PDB.
Kebijakan PSBB yang dibuat Pemerintah tidak dibarengi dengan tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat selama pandemi. Disatu sisi, masyarakat diminta untuk tetap dirumah (stay at home) dan diminta menghentikan sementara aktivitas diluar rumah. Namun, disisi lain masyarakat harus berjuang mencari mencari nafkah demi keberlangsungan hidup dirinya dan keluarganya, dikarenakan pemerintah tidak memenuhi kebutuhan mereka selama pandemi[6].
Kondisi ini bila terus berlanjut tanpa dibarengi perlindungan yang baik dari Pemerintah akan mengakibatkan krisis pangan bagi masyarakat. Hari ini saja, banyak peternak di Sulawesi Selatan yang terdampak serius akibat pandemi. Dikarenakan, dalam keadaan normal (baca: sebelum covid19) ternak mereka selalu dibeli untuk kebutuhan pesta pernikahan atau sejenisnya. Sementara, sejak adanya COvid19 ini semua aktivitas yang mengumpulkan massa dalam jumlah banyak tidak diperbolehkan. Ini mengakibatkan para peternak yang bergantung hidupnya dari jual-beli ternak sangat terdampak karena Covid19. Namun pemerintah tidak mengambil perannya untuk membuat kebijakan yang melindungi peternak lokal, malah justru membahas omnibus law dengan DPR tanpa mau tahu keberlangsungan hidup masyarakat[7].
Isi Omnibus Law mengutamakan kepentingan oligarki yang dibahas ditengah pandemi
Seolah-olah tidak punya rasa kemanusiaan, Pemerintah dan DPR justru membahas omnibus law ditengah pandemi Covid19. Sementara, rakyat kecil dibiarkan berjuang sendiri dengan mengandalkan herd immunity (kekebalan imun tubuh) yang akan terseleksi dengan sendirinya dari kekebalan tubuh masyarakat itu sendiri. Sangat mengecewakan disaat dibutuhkan untuk melakukan tugas dan fungsi sebagai Pemerintah justru membahas omnibus law yang syarat dengan kepentingan para pemodal dan oligarki.
Omnibus law itu sendiri merupakan konsep kolonialisme gaya baru yang ada di era modern ini. Misalnya, dalam draft teks omnibus law terdapat perpanjangan HGU (Hak Guna Usaha) bagi perusahaan hingga 90 tahun. Tentu ketentuan ini sangat merugikan masyarakat bahkan kepemilikan Negara pada aset sendiri. Hal ini menunjukkan kepentingan perusahaan yang lebih diperjuangkan ketimbang rakyat sendiri.
Omnibus law juga syarat dengan kepentingan agenda internasional salah satunya organisasi perdagangan dunia (WTO)[8]. Dari kekalahan Indonesia di WTO pada 2018 lalu dalam gugatan WTO disektor kebijakan impor pangan memberikan konsekuensi besar bagi Indonesia untuk mengimplementasikan putusan WTO dengan mengubah kebijakan pangan di Indonesia. Perubahan UU Pangan itu masuk dalam omnibus law RUU Cipta Kerja yang hari ini dibahas oleh Pemerintah dan DPR.
Perubahan kebijakan pangan di Indonesia tentu lebih mengarah pada liberalisasi disektor pangan Indonesia. Dimana Indonesia harus lebih pro impor ketimbang menjaga pangan lokal. Terbukti draft omnibus law itu menyamakan pangan lokal dan pangan impor sebagai sumber pangan nasional. Padahal dalam UU Pangan sebelumnya impor dilarang terkecuali ketika kebutuhan pangan dalam negeri tidak terpenuhi. Maka konsekuensi dari ketentuan ini akan sangat mengancam bagi kehidupan pangan dan petani di Indonesia.
Mirisnya, ketika masyarakat melakukan kritik dan pengawalan terhadap kebijakan pemerintah ditengah pandemic ini baik kritik terhadap omnibus law maupun kebijakan stimulus ekonomi untuk Covid19. Banyak kasus masyarakat sipil dikebiri dan diancam dengan pasal-pasal karet dalam UU ITE. seperti kasus Ravio Patra, dan peretasan akun media social orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ini menunjukkan terdapat ancaman serius bagi kebebasan berekspresi dan demokrasi di Indonesia.
Sebenarnya omnibus law sama bahayanya seperti virus corona. Namun, bahaya ini belum banyak masyarakat yang mengetahuinya. Untuk itu penting terus mengedukasi masyarakat terkait dampak omnibus law bagi masyarakat dan keberlanjutan bangsa ini bila omnibus law RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang.
Penyusun:
Rahmat Maulana Sidik
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Jl. Kalibata Tengah No. 1A, Kec. Pancoran, Kelurahan Kalibata
Jakarta Selatan.
Website. www.igj.or.id
Email. Rmaulanasidik55@gmail.com
——————————————————————-
[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200430185123-92-499062/pabrik-sepatu-di-tangerang-phk-2000-pekerja
[2] https://kabar6.com/ada-phk-massal-dampak-covid-19-karyawan-pabrik-bunuh-diri-di-sukamulya/
[3] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200430174343-92-499038/3396-pekerja-di-bandung-kena-phk?
[4] http://kompas.tv/article/78831/langkah-presiden-cegah-meluasnya-phk-massal
[5] Disampaikan Tendri Sompa, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Wilayah Sulawesi dalam diskusi IGJ tentang Menyoal Kebijakan Pemerintah tentang Krisis Multidimensi dan Omnibus Law ditengah Pandemi Covid19” pada 8 Mei 2020.
[6] Disampaikan Frank Kahiking, LBH Manado dalam diskusi IGJ tentang Menyoal Kebijakan Pemerintah tentang Krisis Multidimensi dan Omnibus Law ditengah Pandemi Covid19” pada 8 Mei 2020.
[7] Disampaikan Armin Salasa, FIAN Indonesia dalam diskusi IGJ tentang Menyoal Kebijakan Pemerintah tentang Krisis Multidimensi dan Omnibus Law ditengah Pandemi Covid19” pada 8 Mei 2020.
[8] Disampaikan Olisias Gultom dalam diskusi IGJ tentang Menyoal Kebijakan Pemerintah tentang Krisis Multidimensi dan Omnibus Law ditengah Pandemi Covid19” pada 8 Mei 2020.
Download>>> Berita Monitoring_Serial Diskusi Suara Pelosok Negeri-Sulawesi