Pandangan Kritis IGJ Soal Omnibus Law[1]
Disusun oleh:
Rachmi Hertanti
Direktur Eksekutif IGJ
Bagi IGJ, bicara soal Omnibus Law, khususnya Cipta Lapangan kerja, tidak bisa kita lepaskan dari arah pembangunan industri yang sedang direncanakan oleh Pemerintah hari ini. Targetnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional melampaui dari 5%. Bisa dikatakan sejak tahun 2015 target pertumbuhan ekonomi Indonesia sering kali tidak tercapai, dan hanya mentok diangka 5,03%. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah seperti memasifkan pembangunan infrastruktur dan sebagainya.
Ke-frustasian pemerintah semakin menjadi ketika perang dagang terjadi yang semakin memperburuk perekonomian nasional. Defisit transaksi berjalan semakin dalam akibat ketergantungan kita pada dana-dana luar negeri serta ketergantungan kita pada perdagangan yang berbasis komoditas mentah. Ketidak-pastian ekonomi global sangat mempengaruhi dua hal ini. Investasi yang masuk sangat rendah, khususnya kerentanan investasi portofolio, serta penurunan harga dan permintaan global atas komoditas mentah tidak mampu menggenjot penerimaan negara.
Pak Jokowi sebenarnya berharap agar Indonesia dapat meningkatkan perdagangan ekspor ke pasar AS dan China ketika dua negara ini saling membatasi perdagangan sehingga bisa memberikan dampak positif terhadap neraca pembayaran Indonesia. Namun, hal ini tidak terjadi akibat perdagangan Indonesia sangat didominasi dengan komoditas mentah dan tidak memiliki produk dagang yang bernilai tambah. Pun ketika Jokowi berharap agar China memindahkan investasinya ke Indonesia dengan membangun industri untuk memasok pasar AS dan mitra dagangnya, alhasil China lebih memilih Vietnam ketimbang Indonesia.
Ketergantungan Indonesia pada sumber-sumber eksternal inilah yang membuat ekonomi Indonesia sangat rentan. Pemerintah sebenarnya menyadari, untuk mendorong pertumbuhan berkualitas hanya bisa didukung oleh sektor produktif. Tapi sejak lama pertumbuhan ekonomi disektor ini cenderung stagnan, walaupun kontribusinya terhadap PDB cukup tinggi. Banyak ekonom menyebut ini sebagai gejala de-industrialisasi.
Sejak periode pertama kepemimpinan pak Jokowi, sudah ada strategi untuk mendorong peningkatan daya saing ekonomi Indonesia, yang secara khusus juga untuk mendorong nilai tambah produksi melalui industrialisasi. Ada 16 paket yang dikeluarkan. Tetapi evaluasi pelaksanannya sepertinya banyak tidak tercapai. Yang mungkin Karena itu, pada periode kedua, Pak Jokowi mengeluarkan Omnibus Law untuk menjawab berbagai persoalan yang ada di Internal dalam rangka menarik investasi untuk mendorong terjadinya transformasi ekonomi Indonesia.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa transformasi ekonomi merupakan proses perubahan dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi[2].
Kenapa sih kita sulit menarik investasi?. Bisa dikatakan, selain kita punya persoalan internal, tetapi faktor eksternal juga sangat memberikan pengaruh.
Laporan OECD November 2019 menilai, peran dagang telah memberi tekanan kepada pertumbuhan investasi. Ketidak pastian global telah berimplikasi pada menurunnya kepercayaan investasi dikarenakan ketidakpastian kebijakan, meningkatnya risiko di pasar keuangan, dan membahayakan prospek pertumbuhan yang sudah lemah di seluruh dunia. Hal ini juga berdampak pada sektor manufaktur akibat rendahnya permintaan berdampak terhadap menurunnya produksi. Oleh karena itu, kegiatan re-alokasi yang diinduksi di seluruh negara dan penyesuaian rantai pasokan membuat perusahaan menjadi kurang produktif.
World Development Report 2020 yang dirilis Bank Dunia pada September 2019 menyatakan minimnya keterlibatan Indonesia dalam kegiatan rantai pasok global mengakibatkan sepinya minat investor untuk berinvestasi ke Indonesia. Apalagi ditengah kelesuan pasar global mengakibatkan investor untuk menunda kegiatan investasinya hingga situasi membaik.
Pada hal yang lain, IGJ memandang bahwa ketidak-pastian global juga dipicu dengan pergeseran arah globalisasi pasca krisis keuangan global tahun 2008. Dan hal ini juga berdampak terhadap perubahan model dan tujuan negara dalam berinvestasi, khususnya jika dikaitkan dengan FDI disektor produktif. Banyak ekonom global menilai, Pasca krisis keuangan global tahun 2008 perdagangan global mengalami kebuntuan. Sebenarnya secara mendasar bukan diakibatkan oleh meningkatnya tensi dagang akibat tindakan proteksionisme beberapa negara, tetapi diakibatkan oleh pergeseran arah globalisasi yang telah mengalami titik baliknya dipertengahan tahun 2000-an (Hyperglobalization). Perang dagang ataupun tindakan proteksionisme adalah ekses dari pergeseran globalisasi tersebut.
Misalnya, penelitian Mckinsey Global Institute tentang “Globalization in Transition: The Future Trade and Value Chains” pada Januari 2019[3] menyebutkan bahwa pergeseran globalisasi ke arah yang baru ditandai dengan perubahan model rantai pasok dunia saat ini yaitu kegiatan arahnya semakin ter-regional dibandingkan meng-global. Ada dua hal yang menyebabkan itu terjadi: pertama, Cina dan negara berkembang lainnya membangun rantai pasokan yang lebih komprehensif termasuk dalam hal kegiatan R&D (tidak lagi bergantung pada input dari negara industri di utara), dan; Kedua, penggunaan secara intensif teknologi.
Banyak juga yang memprediksi di masa depan, investasi akan lebih mengarah pada bentuk aset yang tidak berwujud, seperti Research & Development (R&D), Merek, dan Hak Kekayaan Intelektual, dan ini akan meningkat dua kali lipat. Baik bank dunia maupun McKinsey McKinsey menyarankan jika negara berkembang mengharapkan agar investasi dapat masuk, maka mereka harus mulai menjajaki spesialisasi baru dan peran baru dalam kegiatan rantai nilai global[4] dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. Hal inilah yang akan mendorong banyak perusahaan multinasional mempertimbangkan untuk berinvestasi dalam kemampuan produksi baru yang lebih dekat ke pasar konsumen untuk mempererat koordinasi rantai pasokan mereka yang lebih efisien, khususnya secara waktu.
Tranformasi industri ala bank dunia ini telah diterjemahkan secara baik oleh Pemerintah ke dalam aturan Omnibus Law Cilaka. Tentu transisi industri semacam ini menuntut adanya peningkatan kualitas ketrampilan khususnya tenaga kerja, konektivitas, dan regulasi institusi[5]. Dalam laporannya, Bank Dunia menyarankan agar negara berkembang, khususnya Indonesia, untuk segera mengambil peran aktif dalam kegiatan Global Value Chain (GVC). Bank Dunia meyakini bahwa mendorong ekspansi Global Value Chain dapat mengeluarkan dunia dari krisis ekonomi. Hal ini didasari argumentasi bahwa ada potensi pergeseran kekuatan GVC ke lokasi baru dan ini harus dijadikan peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia[6]. Ini bisa menjadi potensi pertumbuhan ekonomi baru dan meningkatkan kepercayaan pasar untuk mulai kembali melakukan investasi.
Untuk menjadi negara yang secara aktif akan berpartisipasi dalam kegiatan GVC, Bank Dunia mendorong agar Indonesia bisa melakukan transisi naik kelas industri dari spesialisasi komoditas mentah menuju produksi manufaktur bernilai tambah. Tentu transisi industri semacam ini menuntut adanya peningkatan kualitas ketrampilan khususnya tenaga kerja, konektivitas, dan regulasi institusi[7]. Beberapa resep bank dunia sepertiya banyak dituangkan dalam Omnibus Cilaka.
“suatu negara kemungkinan akan memperoleh kemampuan teknologi dan manajerial baru hanya dapat dilakukan dengan menarik Foreign Direct Investment (FDI) dengan mengatasi kendala iklim bisnisnya dan menetapkan prosedur sederhana untuk mendaftarkan investor asing. Selain itu, reformasi kelembagaan diperlukan untuk meyakinkan Investor asing dalam rangka menyediakan stabilitas politik dan kepastian hukum. Biaya tenaga kerja yang kompetitif juga menjadi syarat yang sangat penting. Negara juga harus memberikan prioritas pada dukungan perdagangan (seperti reformasi tariff, mekanisme seperti gudang berikat, penarikan bea masuk, atau KEK) dan termasuk pada aspek konektivitas fisik seperti pelabuhan dan jalan. Akhirnya, penguatan akses pasar melalui perjanjian perdagangan bebas juga harus dimaksimalkan oleh masing-masing negara”[8].
Namun, melihat kondisi hari ini, khususnya akibat dampak dari pandemic ini, saya ragu konsep yang coba diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dapat menjawab persoalan mendasar perekonomian nasional kita. Ketidak-pastian akibat wabah corona juga belum kelihatan dampaknya ke depan terhadap perbaikan ekonomi dan arah perdagangan global. Lalu, apa yang sebenarnya dikejar oleh Pemerintah dan DPR ketika memaksa Omnibus Law untuk dapat segera disahkan?. Kalo alasan klasik yang dipakai adalah untuk menjawab persoalan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara ketergantungan, saya pikir disituasi saat ini siapa yang mau berinvestasi?. Perdagangan juga sangat lesu. Perdagangan apa yang mau diekspor?. Impor pun banyak terhambat akibat corona. Atau jangan-jangan, bukan investasi baru yang ditarget pemerintah… tetapi omnibus law ini hanya akan memberi ruang legitimasi untuk kelonggaran ekonomi dan ekonomi bagi existing investor yang selama ini terbukti tidak banyak memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Kalo Pemerintah mengakui bahwa dari pengalaman krisis yang pernah ada sebelumnya ternyata sektor usaha kecil dan menengah adalah tulang punggung ekonomi disaat krisis, maka kenapa tidak diarahkan saja fokus kebijakannya kesana secara konsisten, dari pada mendorong Omnibus Law Cilaka yang dipertanyakan keberpihakannya.
Kritik IGJ terhadap Omnibus Law juga telah mengangkat soal UMKM, sepertinya tidak terlalu jelas bagaimana sebenarnya Pemerintah mau mengatur dan mengarahkan UMKM ke depan. Ada juga upaya untuk merevisi ukuran usaha berskala mikro, kecil, dan menengah. Tetapi, tidak digambarkan secara jelas bagaimana ukuran yang akan diatur. Ini juga berpotensi membuka celah hukum bagi pengusaha sektor padat karya yang selalu berlindung pada status usaha berskala kecil dan menengah untuk menghindar dari seluruh kewajibannya khususya dalam memenuhi hak-hak pekerja.***
Keterangan:
Untuk membaca analisis lebih lengkap soal analisis IGJ mengenai Omnibus Law, silakan baca lebih lanjut Framing Paper IGJ mengenai Omnibus Law di Link berikut: https://igj.or.id/framing-paper-igj-ruu-omnibus-cipta-lapangan-kerja/
[1] Pandangan IGJ terhadap Omnibus Law yang disarikan dari Framing Paper Omnibus Law IGJ, disampaikan pada Seri Diskusi Keadilan Ekonomi IGJ bertajuk “Agenda Industrialisasi Nasional Dalam Krisis Pandemi & Omnibus Law”, pada 8 Mei 2020,
[2] https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024
[3] Diunduh dari link https://www.mckinsey.com/featured-insights/innovation-and-growth/globalization-in-transition-the-future-of-trade-and-value-chains
[4] McKinsey Global Institute Report 2019: “Globalization in Transition: The Future Trade and Value Chains”, Hal.23
[5] Ibid. Hal.3
[6] World Development Report 2020: Trading for Development in the Age of Global Value Chains”, Bank Dunia, hal.2
[7] Ibid. Hal.3
[8] World Development Report 2020, World Bank, Hal:186.
Download>>>Pandangan Kritis IGJ Soal Omnibus Law