Brief Paper IGJ 2020
Ditulis oleh:
Rachmi Hertanti
Direktur Eksekutif IGJ
Pengantar
Dunia sedang mengalami perubahan tatanan ekonomi global baru yang belum mencapai titik pasti. Krisis keuangan global tahun 2008 telah menjadi titik kulminasi krisis kapitalisme global yang pemulihannya tidak lagi dapat dijawab dengan cara klasik yang biasa ditempuh. Bahkan sebaliknya, saat ini ketidakpercayaan terhadap globalisasi paling keras diteriakan oleh penganut fundamentalis kapitalisme itu sendiri. Hal ini sebagai bentuk kefrustasian dalam kegagalan mengatasi krisis keuangan global tahun 2008 yang pada akhirnya berdampak terhadap runtuhnya legitimasi terhadap sistem itu sendiri[1].
Dengan dalih globalisasi berdampak pada peningkatan kesenjangan ekonomi dan keadilan sosial, telah menjadi kunci keberhasilan bagi kelompok ultra kanan dalam merebut suara hati rakyat dengan membawa agenda rakyat dibalut dengan rasa nasionalisme yang kental. Secara khusus, para pemimpin kanan baru ingin mengurangi kekuatan lembaga-lembaga internasional dan kesepakatan yang melanggar kedaulatan negara dan membatasi kekuatan perusahaan-perusahaan nasional[2]. Dengan cara pemilihan umum yang “demokratis”, mereka berhasil merebut kekuasaan dan kembali memberi peluang bagi kaum kanan untuk menulis ulang aturan-aturan tatanan internasional sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
Tak pelak berbagai kebijakan menguatnya proteksionisme dilancarkan para pemimpin sayap kanan seperti Donald Trump di Amerika Serikat (AS) dan Boris Jhonson di Inggris. Menolak multilateralisme dan mendorong re-negosiasi kerjasama ekonomi pada level bilateral menjadi pilihan utamanya. Perang dagang, khususnya yang ditabuhkan oleh AS terhadap China, telah menyedot keprihatinan global yang berdampak signifikan terhadap arah perubahan tatanan aturan globalisasi hari ini.
Trump, dalam rangka implementasi janji kampanyenya untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan memperkuat industry dalam negeri, mengambil kebijakan ekonomi untuk mengurangi defisit perdagangan AS secara signifikan dengan berbagai negara mitranya, seperti Meksiko, Jepang, Korea, dan juga China. Dalam hal ini, strategi prioritas yang dilakukan Trump adalah melakukan negosiasi ulang kesepakatan perdagangan, mempromosikan kebijakan “Buy America“, dan menghadapi Cina yang dianggap sebagai penyebab distorsi ekonominya untuk mengatasi defisit perdagangan, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat keamanan nasional[3].
De-globalisasi: Memendeknya Rantai Pasok
Globalisasi memang sudah berubah. Bahkan beberapa ekonom dunia mengatakan bahwa globalisasi sudah berakhir. Banyak yang berpendapat bahwa globalisasi telah “kehilangan dinamisme” akibat kelesuan ekonomi dunia, “kelelahan” pasar baru untuk dieksploitasi dan peningkatan kebijakan proteksionis di seluruh dunia.
Alasan mendasar kenapa saat ini krisis kapitalisme 2008 belum juga mendapatkan jalan keluarnya dikarenakan akselerasi pertumbuhan ekonomi tidak lagi dinikmati oleh negara industri di utara yang diakibatkan oleh pergeseran arah globalisasi yang telah mengalami titik baliknya dipertengahan tahun 2000-an. Bagi Paul Krugman soal politik globalisasi hari ini bukan dikarenakan perdagangan bebas mengakibatkan ketimpangan upah ataupun hilangnya pekerjaan buruh kerah biru di negara utara, tetapi lebih disebabkan oleh hilangnya keuntungan atas pergeseran aliran perdagangan dunia[4].
Faktor penyebab bergesernya arah globalisasi sangat dipengaruhi dengan menguatnya industri negara berkembang di Asia. Krugman menandai dengan kondisi dimana ekspor negara berkembang tumbuh jauh lebih banyak antara tahun 1995 dan 2010 daripada yang diperkirakan oleh konsensus tahun 1990-an. Bagi beberapa ekonomi kondisi ini dinamai dengan “Hyperglobalization” dimana telah terjadi pengikisan rantai nilai tambah produksi dan terjadinya kegiatan un-bundling tahap kedua yang disebabkan oleh perkembangan teknologi. Salah satu aspek unik dari era hyperglobalisasi adalah negara-negara berkembang (terutama yang lebih besar) mengekspor FDI (yang mewujudkan faktor-faktor produksi yang canggih, termasuk keterampilan dan teknologi wirausaha dan skill manajerial) dan tidak hanya ke negara berkembang atau negara lain[5].
Dalam laporan McKinsey menyebutkan pertumbuhan China yang pesat telah menjadi faktor terjadinya pergeseran globalisasi akibat perubahan model rantai nilai global. Industri China telah melampaui dari produksi perakitan input impor menjadi produksi barang akhir. Bahkan, menjadikannya sebagai bagian utama dari hampir semua rantai nilai global produksi barang. Kegiatan global value chain semakin ter-regional dibandingkan global[6]. Tidak ada lagi sekarang pembagian peran kerja (the division task of labour) antara negara utara dan selatan yang menspesialisasi antara negara utara sebagai industri maju yang padat modal dengan negara selatan sebagai negara berkembang yang berbasis pada padat karya (baca: upah buruh murah). Menguatnya regionalisasi menjadi dasar bagi para ekonom untuk mengatakan bahwa era globalisasi akan segera berakhir, meskipun pengaruhnya tidak akan hilang sepenuhnya.
“Kegiatan global value chain semakin ter-regional dibandingkan global. Menguatnya regionalisasi menjadi dasar bagi para ekonom untuk mengatakan bahwa era globalisasi akan segera berakhir”
Salah satu penyebab rantai pasokan menjadi lebih pendek adalah karena penggunaan teknologi secara signifikan seperti robotik canggih dan kecerdasan buatan[7]. Situasi ini menjadi tantangan bagi negara maju khususnya jika mereka ingin mendapatkan peluang lebih besar dalam memanfaatkan potensi pertumbuhan ekonomi lebih besar di negara berkembang yang ditandai dengan meningkatnya jumlah masyarakat berpendapatan menengah.
Kinerja ekonomi China yang luar biasa selama lebih dari tiga puluh lima tahun dan transformasinya menjadi salah satu kekuatan perdagangan terbesar di dunia telah membuat banyak orang percaya bahwa China akan menggantikan AS dalam dominasi global. Stagnasi ekonomi kapitalis maju dan kontraksi ekonomi di Zona Euro dalam beberapa tahun terakhir telah memperkuat gagasan bahwa dunia berada pada titik balik keseimbangan kekuatan antara ekonomi negara maju di Utara dan ekonomi baru negara-negara berkembang di Selatan seperti Cina, India, Brasil, dan Afrika Selatan[8].
Dalam penelitan “China Rising: A New World Order or an Old Order Renewed?” yang ditulis oleh Dorothy Guerrero (2017), memperlihatkan analisisnya mengenai ekonomi China mengalami perkembangan signifikan. Dimulai pada tahun 2001 saat Perdana Menteri China Zhu Rongji secara resmi menggunakan istilah going out (keluar) sehubungan dengan investasi asing langsung ke luar (OFDI) sebagai strategi komplementer untuk mengundang masuk (FDI ke dalam atau IFDI). Strategi “Going Out” dilakukan untuk menciptakan dan memperluas ruang pasar untuk ekspor Cina, meningkatkan kapasitas dan proses belajar untuk perusahaan transnasional (TNC), mengamankan sumber daya dan teknologi untuk proses produksi mereka, dan meningkatkan prestise merek Cina.
Dalam prosesnya, TNC Cina telah menjadi sumber tunggal terbesar perusahaan multinasional baru dalam dekade ini. Mereka termasuk perusahaan perdagangan, perusahaan manufaktur, lembaga keuangan, dan perusahaan konstruksi. Yang paling dikenal hingga saat ini adalah Lenovo, yang membeli divisi komputer pribadi IBM pada tahun 2005, Haier muncul sebagai pemain global dalam peralatan dengan pangsa volume ritel mencapai 8,6 persen dari pasar dunia pada 2012 dan Huawei Technologies yang bersaing dengan perusahaan mapan lainnya yang dulunya mendominasi peralatan telekomunikasi di seluruh dunia dengan 4,8 persen pangsa pasar global dan sekarang berada di urutan ke 5 di peringkat merek global. China juga aktif berinvestasi di Utara. Pada 2012, Perdana Menteri Wen Jiabao mengumumkan penciptaan jalur kredit $ 10 miliar untuk mendukung investasi Tiongkok dalam infrastruktur Eropa Tengah dan dalam infrastruktur baru dan teknologi serta energi terbarukan[9].
Pertarungan Dominasi Global: Pengaturan Ulang Aturan Perdagangan Global
”Strategi diplomasi perdagangan internasional dalam perundingan perjanjian perdagangan di WTO maupun pada level bilateral dan regional, kembali akan menjadi arena pertarungan dominasi kapitalisme untuk menyusun standar global yang baru dalam rangka mengakumulasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dimasa depan”
Dengan menguatnya peran China dalam perekonomian dunia termasuk penguasaan teknologi global telah menggiring arena pertarungan dengan negara utara, khususnya AS, menjadi lebih ketat. Pertarungan dalam globalisasi teknologi akan berdampak besar pada ekonomi internasional. Bagi China, hal itu akan meningkatkan independensi dan pengaruhnya. Untuk AS, cengkeramannya pada aturan standar dunia akan semaking melemah dan bagi beberapa pemain utamanya ada risiko bagi mereka unuk kehilangan pangsa pasar material[10].
Dengan perkembangan teknologi digital[11] dalam kegiatan ekonomi akan menggeser peran perdagangan barang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, dan berpindah ke perdagangan jasa. Potensi perkembangan perdagangan jasa dunia (khususnya Information, Communication, and Technology) yang saat ini dinikmati oleh negara industri utara juga terancam dengan kehadiran China. Di bidang komputer dan elektronik, Cina telah bergerak ke hulu dan sekarang memproduksi chip untuk handset-nya. Agenda Made in China 2025 bertujuan untuk membangun kekuatan bangsa di bidang-bidang canggih seperti 5G, AI, dan robotika cerdas. Cina sudah menjadi konsumen robot industri terbesar di dunia, di depan Amerika Serikat. Bahkan sepertiga dari “unicorn” dunia (startup swasta yang bernilai lebih dari $ 1 miliar) sekarang berbasis di China[12].
Pergeseran arah globalisasi menjadi pertarungan perebutan sumber pertumbuhan ekonomi antara negara utara dan selatan, khususnya Asia. Untuk memenangi pertarungan, maka tatanan standar global baru harus di-setting ulang. Inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh Trump di WTO yang mendorong proposal untuk melakukan secara mendasar reformasi terhadap aturan WTO. Hal ini bukan karena Trump benci perdagangan bebas saat ini, tetapi hal ini dikarenakan aturan lembaga ini telah dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi global dan cenderung tidak adil kepada AS dan lebih banyak menguntungkan beberapa negara di Asia yang berlindung dibalik status negara berkembang, seperti China, India, dan lainnya.
Negara AS ingin menulis aturan baru bagi WTO untuk merespon situasi dunia paska krisis kapitalisme 2008 agar globalisasi tetap berjalan sesuai dengan jalurnya. Laporan McKinsey bahkan mengingatkan negara-negara industri di utara mengenai strategi kebijakan yang harus dilakukan apabila mereka ingin mengejar pertumbuhan lebih tinggi.
Besarnya potensi pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada perdagangan jasa di masa mendatang, maka prioritas kebijakan yang harus dilakukan negara industri maju adalah dengan menetapkan aturan dan standar untuk era baru globalisasi digital. Negara harus mengatasi masalah seperti akses pasar, sensor, perlindungan kekayaan intelektual, standar privasi, dan keamanan siber. Membangun perlindungan kekayaan intelektual yang kuat semakin penting di zaman jasa digital. Sektor jasa dan kekayaan intelektual adalah kunci pertumbuhan perdagangan, dan mereka harus lebih sentral dalam perjanjian perdagangan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melakukan penghapusan hambatan non-tarif yang membatasi perdagangan jasa dan hal ini lebih rumit daripada menegosiasikan tingkat tarif[13].
Oleh karena itu, strategi diplomasi perdagangan internasional dalam perundingan perjanjian perdagangan di WTO maupun pada level bilateral dan regional, kembali akan menjadi arena pertarungan dominasi kapitalisme untuk menyusun standar global yang baru dalam rangka mengakumulasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru dimasa depan.***
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Email: keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or.id
Website:www.igj.or.id
[1] Transnational Institute’s Working Report, “Understanding and Confronting Authoritarianism”, Pg.6-7, Amsterdam 2017
[2] John Feffer, “The Battle for Another World: the progressive response to the new right”, Pg.12, published by Transnational Institute, Roxa Luxemberg, and Focus on the Global South, December 2019.
[3] James Mcbride and Andrew Chatzky, “The US Trade Deficit: How Much Does it Matter?”, Council on Foreign Relations, diunduh dari https://www.cfr.org/backgrounder/us-trade-deficit-how-much-does-it-matter
[4] https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2019-10-10/inequality-globalization-and-the-missteps-of-1990s-economics
[5] Arvind Subramanian and Martin Kessler, “The Hyperglobalization of Trade and Its Future”, Working Paper, July 2013, diunduh dari: https://www.piie.com/sites/default/files/publications/wp/wp13-6.pdf
[6] McKinsey Global Institute Report 2019: “Globalization in Transition: The Future Trade and Value Chains”, Hal.13
[7] https://www.marketwatch.com/story/why-this-era-of-globalization-is-coming-to-an-end-2016-06-07
[8] Dorothy Grace Guerrero, “China Rising: A New World Order or an Old Order Renewed?”, Transnational Institute,
[9] Dorothy Guerrero, “China Rising”, Hal: 10
[10] https://www.forbes.com/sites/zakdoffman/2020/12/29/us-and-china-technology-conflict-heres-why-2020-is-so-critical/#3a75d57a175e
[11] Paling tidak ada enam kategori teknologi yang mempengaruhi perdagangan digital platforms, logistics technologies, additive manufacturing, automation technologies (advanced robotics and AI), electric vehicles, and renewable resources (McKinsey 2019)
[12] McKinsey Report 2019, Hal: 91
[13] McKinsey Report 2019, Hal: 111.