Uraian Diskusi Keadilan Ekonomi
IGJ – Nov 2020
Reporter:
Agung Prakoso, Intan Baretta Nur Azizah, Rachmi Hertanti
Pendahuluan
Sebuah keyakinan bahwa Satu-satunya cara untuk mengembalikan kehidupan normal adalah memastikan bahwa penyebaran virus dapat diperlambat sambil mempercepat penelitian dan pengembangan teknologi diagnostic, ketersediaan medical tools and treatment yang mencukupi, dan termasuk vaksin. Namun dalam prosesnya masih banyak negara yang belum memilki teknologi serta infrastruktur yang mumpuni dalam proses pengadaan vaksin, terlebih pengetahuan seputar hal ini sering kali dimonopoli oleh korporasi yang berasal dari negara-negara maju. Indonesia sendiri mengalami keterbatasan dalam infrastruktur dan teknologi sehingga dalam pengadaan vaksin masih memerlukan kerja sama dengan negara lain melalui upaya diplomasi bilateral dan multilateral.
Pendekatan bisnis masih digunakan dalam penanganan Covid-19. Penguatan aturan perlindungan paten yang berdampak pada monopoli pengetahuan dan produksi berujung pada kontrol harga dan pasokan. Hal ini tentu akan membuat negara berkembang, khususnya Indonesia, akan menghadapi persoalan pembiayaan pengadaan vaksin dan alat kesehatan lainnya terkait dengan pandemic covid19, apalagi ditengah resesi ekonomi yang masih membayangi.
Pelaksanaan dalam produksi dan distribusi vaksin telah menjadi sorotan masyarakat sipil hari ini khususnya untuk memastikan akses vaksin dan alat kesehatan lainnya sebagai barang publik untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Termasuk vaksin yang beredar nantinya terjamin keamanannya dan efektif bagi masyarakat.
Masalah ini telah dibahas oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama Indonesia AIDS Coalition (IAC) dan Koalisi Obat Murah dalam diskusi daring yang bertajuk “Diplomasi Vaksin Covid-19 Indonesia” pada 12 November 2020. Berbagai narasumber dan perspektif telah diangkat baik dari CSO, akademisi, pakar kesehatan masyarakat, pemerintah, maupun DPR RI[1]. Diskusi ini bertujuan untuk memastikan publik terinformasi mengenai pentingnya akses vaksin dan alat kesehatan menjadi barang publik dan tidak dikomersialkan ditengah pandemic, termasuk memastikan perlindungan HAKI khususnya Paten untuk tidak disalah gunakan guna kepentingan profit perusahaan farmasi dan kelompok-kelompok yang mencoba mencari keuntungan ditengah pandemic hari ini.
Upaya Global Membuka Akses Vaksin Untuk Semua
“No one is safe until everyone is safe”
(Dr.Tedros Adhanom Ghebreyesus)
Bicara penanganan covid-19, hampir semua terkait dengan persoalan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI). Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim, menjelaskan bahwa hampir seluruh Produk kesehatan dalam penanganan Covid-19 seperti tes kit, diagnostik, masker, obat-obatan, vaksin, dan ventilator dilindungi dalam hak paten, rahasia dagang, dan desain industri. Terlebih aturan TRIPS di WTO masih tetap dipertahankan hingga saat ini, dan Indonesia telah banyak mengubah aturan HKI nya pasca meratifikasi WTO.
Ketentuan perlindungan HKI telah memonopoli pengetahuan yang dikontrol penuh oleh industri farmasi di negara maju. Oleh karena itu, penanganan Covid-19 memiliki tantangan yang begitu besar, apalagi ketika perusahaan farmasi masih tetap menggunakan pendekatan business as usual dalam prakteknya. Kita sedang menghadapi Pandemi, maka sangat penting untuk memastikan bahwa semua orang di dunia dapat mengaksesnya dan tidak boleh ada yang tertinggal.
Dalam penanganan pandemic covid-19, ada banyak sekali tantangannya, baik dari segi efikasi dan keamanan, akses (harga, ketepatan, kecukupan), alokasi, dan pelaksanaan (distribusi). Dengan pendekatan bisnis oleh korporasi, tentu akan sulit sekali kita bisa menjawab tantangannya, apalagi jika aturan perlindungan HKI tetap diperketat. Lebih lanjut Hanim menjelaskan, bahwa di level internasional saat ini paling tidak ada beberapa upaya yang dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk menjawab tantangan penanganan pandemic Covid-19.
Pertama, upaya bilateral. Sudah banyak sekali negara-negara yang melakukan transaksi secara bilateral dengan perusahaan farmasi, khususnya negara-negara maju yang memiliki kemampuan untuk membeli secara langsung. Tapi tentu, dengan upaya bilateral atau yang seringkali disebut dengan isu nasionalisme vaksin cenderung memunculkan persoalan kesenjangan dengan negara-negara berkembang dan negara kurang berkembang akibat keterbatasan kemampuan pembiayaannya. Upaya ini dilakukan walaupun vaksin tersebut belum dinyatakan aman (Lihat gambar 1). Saat ini, sering kali kita mendengar klaim sepihak dari perusahaan farmasi yang berlomba untuk mengatakan bahwa vaksin temuannya sudah memiliki efektivitas hingga 90%. Misalnya, dari 154 kandidat vaksin pra klinis yang sedang diuji, baru sebanyak 21 vaksin masuk uji klinis fase 1 yang sedang diuji keamanan kepada orang muda yang sehat, sebanyak 13 vaksin sedang uji klinis fase 2 sedang diujikan kepada sekelompok orang, dan sejauh ini baru hanya ada 10 kandidat vaksin yang sudah berada uji klinis fase 3 dan sedang dalam uji dampak covid-19 skala internasional. Hasil akhirnya belum diumumkan. Jadi, belum ada vaksin yang sudah disetujui dan diberikan izin oleh WHO untuk dapat digunakan oleh umum[2].
Kedua, upaya TRIPS Waiver. Proposal ini diusulkan pada 2 oktober 2020 oleh India dan Afrika Selatan di WTO untuk memperbolehkan semua negara tidak memberikan atau tidak menegakan aturan HKI terkait dengan penanganan Covid-19 baik untuk obat, test kit, vaksin, atau teknologi lain selama pandemic berlangsung sampai imunitas global tercapai. Hal ini sangat penting dalam rangka memberikan ruang kebijakan yang cukup luas bagi seluruh negara, khususnya negara berkembang, untuk penelitian, lokal manufaktur, supply, dan lainnya dalam rangka penanganan Covid-19. Indonesia sendiri telah ikut menyetujui, tetapi dalam proses pembahasannya juga masih sangat kuat tarik-menarik antara negara yang mendukung dengan yang tidak mendukung. Walaupun Indonesia mendukung proposal TRIPS Waiver, Kementerian Luar Negeri sendiri masih akan melihat sejauh mana dinamika proposal TRIPS Waiver ini akan memberikan Waiver secara keseluruhan ataukah akan ada tawar-menawar lagi kedepannya. Menurut Kemlu, dalam hal ini posisi Indonesia lebih untuk mencari titik tengahnya, karena, jika proposal ini terlalu ekstreem juga akan sulit diterima secara politik.
Menanggapi hal ini Akademisi Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya, Ferdiansyah, menyampaikan bahwa seharusnya diplomasi yang dilakukan pemerintah terhadap vaksin menekankan pada diplomasi kemanusiaan. Model kerja sama South-south cooperation juga dapat didorong karena pada umumnya model kerja sama ini membangun solidaritas, ketimbang kompetisi yang dibawa oleh negara utara. Maka dari itu pilihan ideal untuk negara seperti Indonesia adalah jika proposal TRIPs Waiver bisa disepakati sehingga kita bisa punya kebijakan dengan memproduksi vaksin lokal. TRIPs Waiver dalam penanganan Covid-19 jika dapat di terima dan diimplementasikan ke negara anggotanya maka akan dapat mengatasi hambatan HAKI untuk memastikan distribusi yang adil, regulasi kebijakan, termasuk upaya untuk menurunkan harga.
Ketiga, upaya melalui Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator. Inisiatif ini adalah kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan produksi dan akses yang berkeadilan untuk Covid test kit, treatment, dan juga vaksin. Terdapat beberapa pihak yang terlibat, diantaranya WHO, Gavi, CEF, Unitaid, Bill & Melinda Gates Foundation, Wellcome, World Bank, The Global Fund, dan Find. Khusus untuk vaksin, dibahas dalam satu pilar yang bernama The Covid-19 Technology Access Poll (CTAP). CTAP sebagai satu wadah untuk berbagi secara sukarela membagikan pengetahuan, kekayaan intelektual, dan data terkait teknologi kesehatan COVID-19. Namun, inilah tantangan dari CTAP, dimana sifatnya hanya sukarela dimana masih banyak sekali perusahaan farmasi yang masih enggan untuk berbagi apalagi dengan pendekatan profit. Tantangan lainnya yang juga muncul dalam inisiatif ini adalah terkait dengan transparansi dan tata kelolanya yang masih dipertanyakan khususnya untuk menjadikan vaksin dan alat kesehatan lainnya sebagai barang publik.
Gambar 1
Diplomasi Vaksin: “Upaya Pengadaan Vaksin Indonesia”
Indonesia saat ini sangat aktif melakukan diplomasi dan negosiasi untuk mendapat akses vaksin. Erik Mangajaya, Direktorat Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan upaya pengadaan vaksin oleh Pemerintah Indonesia dilakukan melalui dua cara, yaitu kesepakatan bilateral, kerjasama CEPI dan GAVI, dan upaya pengembangan vaksin secara nasional atau dikenal dengan vaksin merah-putih. Diplomasi vaksin yang dilakukan oleh Pemerintah tentu dalam rangka untuk memastikan ketersediaan kebutuhan vaksin untuk masyarakat Indonesia.
Melalui Keppres No. 18 tahun 2020 Pasal 9 dan 10 mengenai Tim Nasional Percepatan Penanganan COVID-19 dan Perppu No. 1 tahun 2020, Menteri Luar Negeri berperan dalam Tim Pengembangan Vaksin COVID-19. Selain itu Perpres No. 99 tahun 2020 juga telah menyebutkan kerja sama dengan lembaga atau badan internasional seperti The Coalition for Epodemic Preparedness Innovation (CEPI) dan The Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI). Dasar hukum inilah yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan diplomasi vaksin untuk percepatan dan kepastian pengadaan vaksin COVID-19 sesuai kebutuhan pemerintah.
Sejauh ini secara bilateral, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan beberapa kandidat vaksin COVID-19, diantaranya dengan Republik Rakyat Tiongkok melalui Sinovac, Inggris melalui Astra-Zeneca, Uni Emirat Arab melalui G24. Pada 3 Desember 2020, melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor HK.01.07/MENKES/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19, Pemerintah telah menetapkan enam jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia. Pertama, vaksin produksi PT Bio Farma (Persero). Kedua, vaksin produksi AstraZeneca. Ketiga, vaksin China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm). Keempat, Moderna. Kelima, Pfizer Inc. dan BioNTech. Keenam, Sinovac Biotech[3].
Dalam mengupayakan vaksin, Pemerintah Indonesia juga mendorong adanya kerjasama terkait dengan alih teknologi. Misalnya, kerjasama yang dibangun pemerintah dengan Sinovac juga mensyaratkan adanya transfer teknologi ke dalam industri nasional. Menurut Erik hal ini sangat penting apalagi ketika Covid-19 terjadi telah berdampak cukup besar terhadap sektor kesehatan nasional yang sangat ketergantungan dengan impor. Tidak hanya obat, tetapi juga alat-alat kesehatan lainnya. Untuk itulah situasi ini akan dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong peningkatan kemandirian industri kesehatan Indonesia. Misalnya, hal yang juga ditarget Pemerintah dalam kerjasama CEPI adalah menjajaki peluang kerja sama sebagai mitra pengembangan dan produksi vaksin CEPI di mana Bio Farma telah masuk dalam shortlist potential manufacturers for Covid-19 vaccine CEPI.
Gambar 2
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, juga mengungkapkan desakan Komisi 9 kepada Pemerintah untuk menjadikan Covid-19 sebagai momentum bagi Indonesia untuk bisa mengimplementasikan Inpres No.6 tahun 2016 tentang percepatan pengembangan industri farmasi dan alat-alat kesehatan. Memastikan kemandirian nasional dan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) bisa ditingkatkan. Untuk itu terkait dengan pengadaan vaksin Komisi 9 mengharapkan agar Indonesia bisa segera memproduksi Vaksin “Merah-Putih” yang walaupun mungkin baru selesai di tahun 2022.
Hal lain yang ditekankan oleh Netty terkait dengan pengadaan vaksin, ia menekankan pentingnya pemerintah melakukan komunikasi publik yang baik. Hal ini karena, banyak masyarakat yang terdistorsi dari informasi yang berdampak terhadap respon skeptic dari upaya yang sedang dilakukan oleh Pemerintah hari ini. Jangan sampai kemudian ini menjadi hambatan besar dalam penanganan covid-19.
Keterbukaan informasi kepada publik yang harus dilakukan oleh Pemerintah, yaitu: Pertama, tentang kepastian keamanan dari vaksin. Perlu ada penjelasan yang cukup detail dari pemerintah terkait dengan efektivitas dan keamanan vaksin. Pemerintah harus memastikan bahwa vaksin yang dibeli bisa dijamin tidak menimbulkan efek samping yang membahayakan, sehingga publik bersedia untuk divaksinasi. Berdasarkan informasi yang ada hingga hari ini, Pemerintah mengklaim uji klinis tahap ketiga dari Vaksin Sinovac dapat dikatakan aman, karena tidak terjadi hal-hal yang merugikan pada relawan yang menerima vaksinasi. Efek samping ditemukan namun dalam skala kecil dan tingkat ringan pada sebagian sukarelawan[4].
Kedua, soal kemampuan pengadaan vaksin. Untuk mencapai herd immunity, paling tidak pemerintah harus melakukan vaksinasi 70% dari total populasi, dan itu harus dilakukan sebanyak dua kali. Berdasarkan Perpres No. 99 Tahun 2020 Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, pemerintah telah menunjuk langsung BioFarma. Tentu kapasitas produksi BioFarma juga terbatas dan harus menggandeng perusahaan lain untuk memperbesar kapasitas produksinya. Terkait dengan ketersediaan vaksin, pada 6 Desember 2020 Pemerintah mengumumkan bahwa sebanyak 1,2 juta dosis Vaksin Sinovac sudah sampai di Jakarta, dan sebanyak 1,8 juta dosis lainnya akan dikirimkan menyusul pada Januari 2021[5].
Ketiga, perlunya transparansi dalam aspek pembiayaan. Soal harga telah menjadi masalah yang cukup sensitive, misalnya kemarin pengalaman dari penetapan harga Rapid test dan PCR. Termasuk keterbukaan informasi mengenai kemampuan anggaran negara untuk menyediakan vaksin untuk seluruh masyarakat secara gratis. Keputusan terbaru dari Presiden Jokowi pada 16 Desember 2020 menyatakan bahwa Pemerintah akan menggratiskan vaksin untuk seluruh masyarakat[6].
Namun, transparansi mengenai harga yang didapat dari perusahaan farmasi juga perlu dibuka, karena ini akan berdampak terhadap beban anggaran keuangan negara. Misalnya, dalam pembahasan Panja Tata Kelola Obat di Komisi 9 juga mencatat besarnya nilai yang harus dibayarkan oleh Pemerintah terkait pembelian bahan baku ke Sinovac yang angkanya bisa mencapai belasan triliyun rupiah. Prosesnya harus transparan, anggaran yang digunakan juga akuntabel. Pemerintah harus bisa menjelaskan berapa jumlah pembelian, berapa harganya, kemudian ketika diproduksi secara massal nanti berapa harganya per satuan vaksin.
Vaksinasi, Siapa Lebih Dahulu?
Untuk mencapai “herd immunity” dan menurunkan angka kematian Covid-19, vaksinasi menjadi langkah yang amat penting. Majelis Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dr.Sumarjati Arjoso, menyampaikan bahwa Vaksinasi merupakan cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan mencegah penularan penyakit. Namun, pemberian vaksinasi harus dilaksanakan secara hati-hati karena harus memastikan keamanannya (safety) dan efektifitasnya/bermanfaat.
Kementerian Kesehatan telah membuat Grand Design pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Paling tidak vaksinasi dilakukan terhadap 80% dari total populasi. Bahkan, pemerintah telah menetapkan kelompok prioritas dari kegiatan vaksinasi (Lihat Gambar 3). Terkait dengankriteria prioritas penerima vaksin, harus dijelaskan secara terbuka oleh pemerintah, termasuk soal prioritas wilayah penerima vaksinnya. Ini menjadi masalah besar juga, karena layanan kesehatan di Indonesia sangat berbeda-beda kesiapannya.
Lebih lanjut Sumarjati menjelaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas sendiri estimasi kebutuhan anggaran pengadaan vaksin Covid-19 yang mencapai Rp.46 triliun hingga Rp.62 triliun, hal itu belum termasuk anggaran untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan imunisasi. Dukungan logistic dan distribusi juga menjadi persoalan sendiri. Oleh karena itu, Negara harus bisa mengkomunikasikan kepada semua orang mengenai jaminan tidak akan adanya diskriminasi terhadap akses terhadap vaksin baik soal harga, distribusi, maupun keterjangkauan.
Gambar 3
****
Kontak IGJ
Email: keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or.id
Website: www.igj.or.id
[1] Diskusi ini menghadirkan Lutfiyah Hanim dari Third World Network, Erik Mangajaya dari Direktorat Perjanjian Hukum dan Ekonomi Kementerian Luar Negeri, Dr. Sumayati Arjoso dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Netty Prasetyani, Anggota Komisi IX DPR RI, dan Ferdiansyah, Akademisi Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya.
[2] https://www.gavi.org/tag/covid19
[3] Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “Terawan Tetapkan 6 Jenis Vaksin Covid-19 yang Akan Digunakan di RI” , https://katadata.co.id/febrinaiskana/berita/5fcbb6ba0f184/terawan-tetapkan-6-jenis-vaksin-covid-19-yang-akan-digunakan-di-ri
[4] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mengenal Vaksin Sinovac yang Telah Tiba di Indonesia”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/08/110300765/mengenal-vaksin-sinovac-yang-telah-tiba-di-indonesia?page=all
[5] https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/07/170600565/vaksin-corona-sinovac-tiba-di-indonesia-ini-perbandingan-harganya-dengan?page=all
[6] https://nasional.kompas.com/read/2020/12/16/14150871/jokowi-akan-jadi-orang-pertama-yang-disuntik-vaksin-covid-19
Presentasi narasumber: