Desakan Untuk Merespon TRIPS Council Meeting pada 11 Maret 2021, di WTO Jenewa.
Jakarta, 10 Maret 2021. Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara serius memperjuangkan Proposal TRIPS Waiver di WTO, termasuk agar Pemerintah Indonesia menuntut Negara-negara kaya untuk tidak memblok TRIPS Waiver dan ikut menyepakatinya atas nama kemanusiaan. Desakan ini bertujuan untuk menghapuskan ketimpangan akses vaksin untuk negara-negara miskin dan berkembang di dunia, akibat praktek monopoli kekayaan intelektual oleh perusahaan farmasi besar, serta praktek Nasionalisme Vaksin oleh negara kaya.
Proposal TRIPS Waiver adalah proposal yang diajukan oleh India dan Afrika Selatan pada Oktober 2020 di WTO untuk memperbolehkan semua negara untuk tidak melaksanakan TRIPS Agreement yang mengatur perlindungan paten, hak cipta dan hak terkait, desain industry, protection of undisclosed information, yang terkait langsung dengan obat, tes diagnostic, vaksin dan teknologi lain berkenaan COVID-19 selama pandemic berlangsung. Namun, negara-negara kaya seperti, Australia, Brasil, Kanada, Uni Eropa, Jepang, Norwegia, Swiss, Inggris, dan AS, masih menahan dukungannya terhadap proposal tersebut mengingat mereka secara tradisional adalah pendukung kepentingan perusahaan farmasi melalui sistem monopoli HaKI.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa hampir seluruh Produk kesehatan dalam penanganan Covid-19 seperti tes kit, diagnostik, masker, obat-obatan, vaksin, dan ventilator dilindungi dalam hak paten, rahasia dagang, dan desain industri yang diatur dalam TRIPS Agreement. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan penanganan covid19 lebih mengarah pada pendekatan business as usual ketimbang isu kemanusiaan.
“Proposal TRIPS Waiver adalah solusi yang tepat untuk bisa membuka akses secara adil dan terbuka bagi seluruh masyarakat di dunia terhadap vaksin serta seluruh kebutuhan medis untuk penanganan covid-19. TRIPS Waiver akan menghentikan praktek nasionalisme Vaksin negara kaya dan perusahaan farmasi yang berdampak terhadap Ketimpangan Akses Vaksin, khususnya di negara miskin dan berkembang. Pembatasan distribusi vaksin dilakukan Uni Eropa harus dihentikan ”, tegas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan, TRIPS Waiver akan membuka ruang produksi vaksin lebih massif lagi. Hal ini karena saat ini, permintaan vaksin COVID-19 jauh lebih tinggi daripada pasokannya. Keterbatasan pasokan ini diakibatkan oleh kontrol produksi dan distribusi yang dilakukan oleh perusahaan farmasi besar melalui monopoli kekayaan intelektual.
“Untuk dapat mengirimkan miliaran vaksin ke dunia, tentu kapasitas produksinya harus besar dan diperluas. Tentu, berbagi kekayaan intelektual menjadi kuncinya, sehingga membuka kesempatan bagi negara atau produsen lain untuk memproduksi vaksinnya. Tentu ini juga akan membuka peluang Indonesia untuk bisa menjadi produsen vaksin global yang mumpuni jika TRIPS Waiver disepakati”.
Usulan DG WTO Kontra-produktif
Ditengah pembahasan TRIPS Waiver yang masih belum menemukan titik terang, Dirjen WTO yang baru, Ngozi Okonjo-Iweala, malah menyerukan tawaran yang sangat kontra produktif. Pada saat pidato pelantikannya Okonjo-Iweala menyampaikan ide mengenai “Jalan ketiga” untuk meningkatkan akses “melalui memfasilitasi transfer teknologi dalam kerangka aturan multilateral” dan oleh perusahaan farmasi yang melakukan kesepakatan lisensi untuk memungkinkan produsen lain memproduksi vaksin dan produk lainnya.
Terkait dengan “Jalan Ketiga” ini Rachmi menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah menghapuskan monopoli kekayaan intelektual, dan bukan solusi kompromis yang masih membuka ruang perusahaan farmasi melakukan kontrol terhadap produksi dan distribusi vaksin atas nama profit.
“selama ini Perusahaan farmasi tidak mau berbagi pengetahuannya, termasuk kontrol terhadapi lisensinya. Sekalipun dengan Access to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator yang diinisiasi WHO. Opsi Lisensi sukarela yang ditawarkan oleh DG WTO sangat kontra produktif dan tetap memberikan hak eksklusif kepada perusahaan farmasi”, tegas Rachmi.
Praktek lisensi oleh perusahaan farmasi ini telah membatasi kapasitas produksi manufaktur dengan hanya memilih secara eksklusif produsen mana saja dan dinegara mana saja yang bisa memproduksi vaksin. Bahkan dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisasi Dokter Lintas Batas disebutkan praktek eksklusif itu seperti yang dilakukan oleh AstraZenneca yang membatasi pemberian lisensinya hanya pada Serum Institute of India (SII). Lebih lanjut, SII dilarang memasok negara-negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara berpenghasilan tinggi, pasar yang paling menguntungkan bagi AstraZeneca. Bahkan, meskipun telah menerima setidaknya US $ 70,5 juta dana publik untuk mengembangkan Remdesivir (salah satu kandidat obat untuk pengobatan COVID-19), perusahaan farmasi Gilead telah menandatangani kesepakatan bilateral rahasia dengan beberapa perusahaan generik pilihannya yang mengecualikan hampir setengah dari populasi dunia dari wilayah lisensinya.
“Tentu, hal ini akan kembali menghambat produksi vaksin dengan skala besar dalam rangka memenuhi pasokan vaksin diseluruh dunia. Oleh karena itu, dalam pertemuan TRIPS Council Meeting pada 11 Maret 2021 besok, Proposal TRIPS Waiver harus tetap menjadi opsi tunggal yang tidak bisa digantikan dengan proposal yang sangat kompromis dengan kepentingan bisnis”, tutup Rachmi.
Sebagai informasi, IGJ juga telah mengirimkan surat desakan kepada Beberapa Kedutaan Besar Negara Anggota Uni Eropa untuk tidak melakukan pemblokiran terhadap persetujuan TRIPS Waiver. Surat Dapat dilihat terlampir.*****
Narahubung:
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ: 0817-4985180
Agung Prakoso, Advokasi IP Monopoly, IGJ: 0857-88730007
Untuk Informasi Lengkap Mengenai isu Vaksin & TRIPS Waiver bisa mengakses Kertas Briefing IGJ pada link berikut: https://igj.or.id/hentikan-monopoli-haki-terhadap-covid19-laksanakan-trips-waiver/