• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Ekonomi Atas Krisis Pandemi Covid19 di Indonesia

Juli 26, 2021
in Kampanye
Home Media Kampanye
1k
SHARES
2.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pernyataan Sikap Koalisi MKE

Jakarta, 23 Juli 2021 – Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Ekonomi (MKE) dengan ini menyampaikan keprihatinan dan desakan kepada Pemerintah Indonesia dan DPR RI terkait dengan memburuknya situasi Pandemi Covid19 di Indonesia.

Gelombang   kedua   pandemi   COVID-19   di  Indonesia  akibat  varian  virus  delta  covid19  telah meningkatkan  angka  penyebaran  Covid19. Berdasarkan  data  Portal  Satgas  Covid-19 Pemerintah, tercatat kasus terkonfirmasi positif per hari mencapai 47.889 (13 Juli 2021) hingga menambah total jumlah konfirmasi positif menjadi 2.615.529 orang.  

Situasi ini telah berdampak pada kelebihan kapasitas pelayanan rumah sakit, khususnya yang berada di zona merah. Selain itu, kepanikan ini telah mendorong  terjadinya kelangkaan obat dan oksigen yang dibutuhkan oleh pasien covid19. Bahkan termasuk aksi borong produk makanan sehat seperti susu, multivitamin, dan produk herbal yang dipercaya dapat meningkatkan imun tubuh dan mempercepat pemulihan covid19. Dampaknya, sulit sekali pasien yang terkonfirmasi covid19 untuk mengakses obat dan oksigen, bahkan harga obat pun menjadi sangat mahal.  

Pemburukan  ini  tidak  bisa  dilepaskan dari ketidaksiapan negara dalam  merespon situasi darurat terkait  pandemi   covid19, yang diperdalam dengan  buruknya  sistem kesehatan  yang  ada   di Indonesia. Dari hal  ini, ada  dua catatan kritis kami terkait dengan situasi tersebut diatas yang menjadi dasar dari tuntutan kami kepada Pemerintah dan DPR RI.

Pertama, Penanganan yang tidak berfokus pada keselamatan hidup masyarakat

Koalisi menilai bahwa selama lebih dari setahun penanganan pandemi COVID-19, Pemerintah tetap mengedepankan pemulihan ekonomi yang berorientasi pada investasi yang eksploitatif ketimbang fokus pada keselamatan masyarakat. Hal ini dikarenakan, upaya menghentikan laju penyebaran virus tidak diimbangi dengan kebijakan tepat dan cenderung diskriminasi, dengan poin-poin berikut:

❖  Kebijakan pembatasan yang dilakukan dari Pembatasan Sosial Berskala  Besar (PSBB) ke Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Perubahan  ini  tidak diimbangi dengan perubahan kebijakan yang lebih progresif. Padahal Undang-undang No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan telah tersedia untuk mengatasi kondisi wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat selama karantina berlangsung. Namun Pemerintah seakan mengabaikan ketentuan ini dan seolah ingin  menghindar dari kewajibannya untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam keadaan bencana.

❖  Kebijakan  pembatasan sosial ini tentunya  memiliki dampak tersendiri bagi perempuan yang banyak menggantungkan hidupnya sebagai pekerja harian lepas   seperti buruh cuci, pengupas kerang hijau, penjual makanan keliling dan lainnya. Pembatasan sosial ini mengakibatkan penghasilan harian perempuan mengalami penurunan yang signifikan tanpa adanya subsidi dari pemerintah  untuk  kebutuhan  hariannya.  Perempuan yang memiliki peran gender sebagai pengelola keuangan keluarga tentunya mengalami beban berlapis manakala terjadi penurunan penghasilan keluarga hingga tidak mencukupi kebutuhan bagi keluarga. Sementara program bantuan  sosial dari pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran dan komposisinya pun tidak sesuai kebutuhan yang ideal.  Seperti tidak memperhatikan gizi dan nutrisi yang dibutuhkan dalam situasi  genting  untuk meningkatkan imun tubuh. Serta tidak memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan seperti kebutuhan reproduksi perempuan

❖  Pada gelombang  kali ini sektor perburuhan mengalami  dampak yang cukup serius. Dalam kebijakan  PPKM,  segala kegiatan usaha harus berhenti, kecuali  bagi  usaha yang sifatnya kritikal atau esensial. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak sektor usaha, termasuk sektor manufaktur, masih menjalankan  proses produksinya  walaupun  bukan  termasuk klasifikasi  usaha esensial  atau kritikal.  Perusahaan-perusahaan  ini telah menyalahgunakan kebijakan izin industri dengan mendaftarkan pabriknya sebagai sektor kritika. Hal ini banyak sekali terjadi di kawasan-kawasan industri seperti Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Karawang. Apalagi, dalam menjalankan produksinya di masa PPKM ini, banyak industri yang masih rendah dalam menjalankan protokol kesehatan, termasuk upaya untuk menerapkan tracing bagi pekerja yang masuk bekerja. Sehingga, kasus penyebaran covid19 paling tinggi terjadi di kawasan industri seperti Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (Cikarang). Terkait kasus terkonfirmasi positif dari klaster industri kerap kali dirahasiakan oleh pengusaha. Persoalan tracing juga tidak bisa dilepaskan dari abainya pengusaha untuk menanggung  biaya.  Bahkan, masih sedikit perusahaan di kawasan industri  yang memfasilitasi pekerjanya untuk melakukan vaksinasi. Terkait hal ini, tidak ada sanksi tegas yang diberikan oleh Pemerintah kepada pengusaha di masa pandemi ini. 

❖  Bahkan, bagi perempuan yang bekerja di garda depan sebagai  satgas  covid19  pada  level rumah tangga (desa dan RW), khususnya di luar Jabodetabek, masih belum mendapat perlindungan maksimal  dari Pemerintah.  Secara khusus, pada  konteks penanganan pandemic perempuan  masih dilekatkan pada sektor-sektor perawatan seperti memastikan ketersediaan pangan pasien yang isolasi mandiri di rumah, mengantarkan untuk tes, dan lain sebagainya.  Sementara  perempuan  juga  harus pulang ke rumahnya dan  mengurus keluarganya. Tentu situasi ini membuat perempuan berada posisi yang lebih rentan sehingga seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan kebutuhan dan pengalamannya.

❖  Kebijakan mengenai pembatasan sosial  juga  berdampak pada perempuan buruh migran. penanganan kasus perempuan buruh migran menjadi lebih terhambat   karena  banyak petugas yang harus bekerja dari rumah tanpa adanya sistem yang memastikan keberlanjutan penanganan kasus buruh migran. Selain itu pemerintah juga tidak memiliki kebijakan khusus untuk memastikan keberlanjutan  hidup  perempuan buruh migran setelah  kepulangannya secara merata selama pandemi ini. Di tengah krisis iklim yang juga belum teratasi, terdapat perempuan buruh migran kehilangan sumber penghidupannya seperti usaha rumahan karena bencana iklim. Lalu berlanjut pada krisis pandemic yang mana pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan perempuan buruh migran.

❖  Pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah juga tidak  diikuti  dengan  kebijakan  yang memastikan tidak bertambahnya beban berlapis perempuan. Pada situasi ini semua aktivitas diharuskan dilakukan di rumah. Di tengah pembagian kerja dalam rumah tangga yang masih timpang membuat beban kerja perempuan semakin bertambah. Selain mengurusi pekerjaan domestic, perempuan  juga harus mendampingi  anak-anaknya selama sekolah dari rumah. Keterbatasan akses maupun pengetahuan terhadap teknologi juga membuat perempuan semakin kesulitan berhadapan dengan  Covid 19 tanpa adanya sistem yang mempertimbangkan situasi perempuan dan mengakomodir kebutuhannya.

Dalam hal ini, Koalisi MKE mendesak Pemerintah untuk melakukan langkah berikut :

1.  Pemerintah menjamin Perlindungan Kesehatan dan Ekonomi terhadap buruh baik sektor formal  maupun  informal  khususnya  terhadap  perempuan,  dengan  memastikan  hal-hal berikut :

a.   Tidak  ada  PHK  massal,  pengurangan  upah,  dan  hilangnya  hak  normatif  terhadap buruh
b.   Perusahaan memfasilitasi vaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan  sebagai bagian K3 dalam kegiatan usahanya.
c.   Memfasilitasi  kebutuhan  harian, tempat, dan penanganan selama  proses  isolasi mandiri bagi buruh yang terinfeksi Covid-19.
d.   Pemetaan  perkembangan klaster industri  dan perlindungan  terhadap  kesehatan dan keselamatan hidup buruh di perusahaan yang telah memiliki kasus infeksi Covid-19.
e.   Mengeluarkan peraturan pemerintah tentang perlindungan buruh di masa pandemi.

2.  Pemerintah harus memastikan keselamatan para tenaga kesehatan atau satuan tugas penanganan  Covid  19  khususnya  perempuan  berdasarkan  pengalaman  dan  kebutuhan spesifiknya.

3.  Fokus   pada   penanganan   pandemic  Covid   19  dan  menghentikan  pembahasan  dan pengesahan  kebijakan,  termasuk  ratifikasi  dan negosiasi  perjanjian internasional.  Hal ini untuk memastikan kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan tetap dijalankan, dan tidak dikesampingkan dalam situasi pembatasan distansi fisik dan sosial.

4. Mengambil terobosan kebijakan yang cepat dan efektif untuk membantu kelompok paling rentan dalam menghadapi situasi krisis akibat pandemi COVID-19, khususnya perempuan, lansia,  anak-anak,  perempuan  hamil  dan menyusui,  serta  perempuan  pekerja  informal, dan perempuan buruh migran di luar negeri. Termasuk memastikan penanganan COVID-19 tidak melanggengkan ketidakadilan gender yang sudah terjadi ataupun menghasilkan bentuk ketidakadilan lainnya.

Kedua, Penanganan berbasis bisnis

Permasalahan utama krisis kesehatan pandemi COVID-19 juga masih berpusat pada masalah ketimpangan akses Vaksin dan obat-obatan. Krisis nasional saat ini menunjukkan permasalahan pemenuhan  kebutuhan  terkait  penanganan pandemi masih menjadi persoalan di nasional,  salah satunya terkait kebutuhan obat.  Hal ini mengingat Pengadaan obat  dan  vaksin  covid19  masih menerapkan skema business as usual dengan tetap mengedepankan keuntungan korporasi.

Sebagian besar obat mengalami kenaikan harga dan kelangkaan seiring dengan meningkatnya kebutuhan.  Kementerian Kesehatan sempat mengeluarkan  rilis terkait daftar dan harga obat yang digunakan  untuk  penanganan  COVID-19,  diantaranya  Favipiravir,  Remdesivir,  Oseltamivir, Ivermectin,  dan yang terbaru Tocilizumab  dan Sarilumab.  Sebagian obat tersebut masih dilindungi oleh paten seperti Favipiravir, Remdesivir, Tocilizumab dan Sarilumab. Kekurangan obat ini semakin mengancam keselamatan masyarakat di tengah wabah.

Dengan paten, tentu keterbatasan produksi dan distribusi menjadi ancaman bagi terpenuhinya kebutuhan obat dan vaksin. Ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual terkait paten maupun terhadap  persoalan  know-how atas obat dan vaksin telah menjadikan  kebutuhan  obat dan vaksin selama  pandemi  sebagai  komoditas   bisnis  hingga  akhirnya  menghilangkan  akses  masyarakat terhadap kesehatan yang murah dan berkeadilan.  

Untuk itu, pemerintah harus segera menghentikan praktik monopoli yang bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah, yaitu:

❖  Mendorong WTO untuk segera menyepakati Proposal TRIPS Waiver terkait dengan Covid19. Proposal ini akan membuka akses bagi  vaksin,  obat,  dan kebutuhan lainnya terkait penanganan pandemi COVID-19. Koalisi menilai bahwa krisis tidak perlu terjadi apabila sejak awal negara-negara  kaya menghentikan praktik monopoli  vaksin dan nasionalisme  vaksin. Sehingga  negara-negara  berkembang  dapat  mengakses  vaksin lebih  cepat agar imunitas global tercapai. Walaupun kondisi ini masih belum terlambat karena Proposal TRIPS Waiver sudah  memasuki  tahap negosiasi  berbasis teks  dan  berkembang  cukup  signifikan. Pemerintah Indonesia harus semakin serius dalam  diplomasi TRIPS Waiver dan juga mendesak negara-negara sahabat yang masih menolak agar berbalik mendukung proposal.

❖  Mendorong pelaksanaan paten oleh pemerintah (Patent for Government Use) terhadap sejumlah obat-obatan paten yang diperlukan  dalam kondisi darurat saat ini, seperti Remdesivir, Tocilizumab, dan  Sarilumab. Langkah ini akan membuat obat  covid19  bisa diproduksi secara massal sehingga meningkatkan ketersediaan obat dan menurunkan harga obat.  

Pemerintah  memang  sempat  berencana  untuk   mengajukan  pelaksanaan  paten  oleh pemerintah  untuk obat Favipiravir  pada januari lalu.1 Namun hingga kini rencana tersebut belum juga terealisasi. Koalisi mengingatkan bahwa Pemerintah harus bebas dari segala intervensi terutama oleh perusahaan farmasi selama masa penanganan pandemi COVID-19. Jangan sampai penanganan kepentingan profit perusahaan ditempatkan di atas kepentingan keselamatan masyarakat.

Terkait pemenuhan kebutuhan akses pada obat, Koalisi mendesak Pemerintah agar :

1.   Pemerintah segera  melakukan  Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (patent for government use) terhadap sejumlah obat-obatan yang dibutuhkan terkait pandemi. Serta mengabaikan segala  bentuk intervensi yang  menghambat pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama vaksin, obat-obatan dan keperluan medis lainnya di saat pandemi.

2.   Menyiapkan regulasi nasional serta industri nasional terkait dengan pelaksanaan TRIPS Waiver.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi :
Indonesia for Global Justice (IGJ), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Solidaritas Perempuan,
Indonesia AIDS Coalition (IAC), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA),  Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)

Informasi lebih lanjut, dapat hubungi:
HermanAbdulRohman(KesatuanPerjuanganRakyat)-082213426109
PutriFahimatulHasni(SolidaritasPerempuan)- 085785934496
Rachmi Hertanti (Indonesia for Global Justice) – 08174985180

1 https://dgip.go.id/artikel/detail-artikel/pemerintah-siapkan-obat-covid-19-murah?kategori=Berita%20Resmi%20Desain%20Industri

Tags: Bisnis & HAMcovid19
Previous Post

MENTRANSFORMASI SISTEM PANGAN BERORIENTASI KEDAULATAN PANGAN MELALUI GERAKAN RAKYAT

Next Post

KETERANGAN AHLI DAN HASIL INZAGE SEMAKIN MENGUATKAN OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA CACAT FORMIL

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia