ARTIKEL MONITORING
UPDATE IEU CEPA
Sejak di luncurkan sejak tahun 2016 perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) Indonesia dan kawasan Uni Eropa (I EU CEPA) telah menghasilkan 10 putaran negoisasi. Indonesia For Global Justice (IGJ) bersama Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi (KMSKE) melakukan dialog dengan negosiator dari Kementerian Perdagangan khususnya Direktorat Jenderal perundingan Sub direktorat Eropa yang terlaksana pada kamis, 19 agustus 2021 melalui platform digital. Beberapa organisasi masyarakat sipil yang hadir adalah: IGJ, Institute for Ecosoc Rights, KRKP, SPI, WALHI, FairWear, CNV, KruHA.
Merebaknya pandemic telah membuat proses perundingan berjalan cukup lambat, dimana sejak tahun 2020, perundingan ke-10 IEU CEPA baru bisa dilaksanakan pada Februari tahun 2021. Putaran ke-11 yang seharusnya dilakukan pada bulan Juli 2021 harus Kembali tertunda karena kasus Covid-19 sedang mengalami kenaikan di Indonesia akibat menyebarnya Varian Virus Delta. Namun, saat ini negosiator sedang mencari waktu yang akan di target paling lambat di kuarter ke 4 tahun 2021 sekitar bulan September atau Oktober 2021. Dan tampaknya, penyelesaian perundingan IEU CEPA masih jauh dari target, mengingat ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan secara realistis, khususnya terkait dengan isu-isu yang masih perlu didiskusikan. Apalagi kondisi pandemic banyak kendala untuk bisa melakukan perundingan yang intensive.
Perkembangan Umum
Kementerian Perdagangan yang di wakili oleh Lusyana Halmiati Kepala SeksiUni Eropa Direktorat Perundingan Bilateral menyampaikan beberapa perkembangan umum dari hasil perundingan dalam Putaran ke 10. Ada sekitar 19 isu runding dibicarakan kecuali Bab sanitary and Phytisanitary (SPS) dan Bab Economic Cooperation and Capacity building (ECCB) karena perundingan yang telah hampir selesai. Perkembangan bab lainnya masih berjalan, dan masih didiskusikan dengan seksama.
Untuk isu yang masih berjalan dan belum mengalami kemajuan seperti di chapter Intellectual Property Rights (IPR) banyak hal belum disepakati. Indonesia mencoba konsisten dengan posisi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Misalnya terkait dengan perlindungan varietas local, lalu perpanjangan paten agar tidak menggangu akses obat. Perundingan di Bab Investasi, khususnya isu Dispute Settlement yang berkaitan dengan Investment Court System (ICS), Indonesia masih ingin melihat ICS dipraktekan oleh Uni Eropa dan sejauh mana konsep ICS bisa di jalankan dalam aturan domestic Indonesia.
Untuk Bab Trade and Sustainable Development (TSD) mengalami dinamika perundingan terutama dalam isu Iklim, Perburuhan serta kepentingan Ekonomi lainnya. Dalam Bab TSD, indonesia menginginkan hambatan terhadap produk indonesia yang sudah memenuhi standar Sustainable. Dalam isu lain di bab Energy and Raw Materials lebih banyak berkaitan dengan isu prosedural. Tidak ada pembicaraan khusus terkait dengan raw materials tertentu. Prosedural untuk perizinan dan menjaga transparansi. Indonesia coba untuk menjaga agar tidak melenceng dari ketentuan domistik kita. Kemudian, untuk Bab E-commerce proposal yang EU usulkan masih dibicarakan hal secara umum, tetapi ada beberapa hal juga yang perlu diskusikan lebih lanjut. Misalnya seperti RUU Perlindungan data pribadi, transmisi cross border data flows.
Omnibus Law & EU Green New Deals: Dampaknya Pada Perundingan IEU CEPA
Dalam proses perkembangan negosiasi, ada kebijakan baru yang dikeluarkan oleh kedua negara, seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan oleh Indonesia pada tahun 2020, dan EU New Trade Policy yang keluar pada Februari 2021, dan kebijakan ini nampaknya memiliki dampak terhadap pembahasan IEU CEPA. Misalnya saja ada beberapa bab yang nantinya akan terdampak seperti bab investasi, bab renewable energy & raw materials, bab TSD, dsb.
Dalam penjelasan Kemendag disebutkan bahwa pada Maret 2021 dilaksanakan Special Session yang secara khusus digunakan oleh kedua pihak untuk menjelaskan perkembangan baru kebijakan di dua negara. Lebih lanjut Kemendag menyatakan bahwa untuk bisa memasukan usulan-usulan baru dari kebijakan baru ke dalam perundingan IEU CEPA, ini masih sulit dikarenakan banyak regulasi turunan yang masih dalam proses finalisasi di kedua negara, baik dari Omnibus Law maupun dari EU Green New Deals dan EU New Trade Policy. Oleh karena itu, masih belum bisa dipastikan poin-poin mana saja yang kemudian akan dibahas secara spesifik dan menjadi komitmen dalam perundingan.
Hal ini juga terkait dengan kebijakan EU mengenai Carbon Border Adjustment Measures (CBAM). Banyak pertanyaan mengenai hal ini dari perwakilan CSO, khususnya mengenai bagaimana Indonesia akan merespon kebijakan EU soal CBAM. Respon Kemendag hanya mengatakan bahwa Pemerintah masih akan mempelajari mengenai aturan turunan yang akan diberlakukan oleh EU, mengingat prosesnya masih berjalan dan ada informasi bahwa akan ada beberapa perubahan terkait hal tersebut Ketika nanti masuk ke parlement eropa. Namun, Pemerintah mengklaim bahwa kehadiran kebijakan hijau ini tentunya pada akhirnya harus bisa memberikan manfaat nyata khususnya terkait dengan aspek pengakuan terhadap produk Indonesia yang sudah sustainable.
Bahkan, Ketika bicara soal Omnibus Law kaitannya dengan isu investasi, nampaknya akan sangat terbuka bagaimana komitmen akses pasar investasi dan sector jasa akan merujuk pada UU Cipta Kerja yang baru ini. Muslim Silaen dari IGJ mempertanyakan soal beberapa aspek liberalisasi investasi dan jasa serta sejauh mana ini akan sejalan dengan Omnibus Law. Negosiator menjelaskan bahwa dalam hal sector jasa akses pasarnya juga akan terkait dengan daftar prioritas investasi yang sudah diatur di dalam revisi UU Penanaman Modal di bawah Omnibus Law.
Bab IPR: Kedaulatan Benih Petani & No TRIPS Plus
Isu krusial dalam perundingan IEU CEPA juga berkaitan dengan aspek monopoli Hak Kekayaan Intelektual dalam bab IPR dan dampaknya terhadap kedaulatan benih petani Indonesia. Isu ini telah menjadi prioritas kelompok masyarakat sipil di Indonesia dan harus menjadi posisi runding yang tidak bisa ditawar.
Dalam draft teks bab IPR yang dipublikasi oleh Uni Eropa, salah satu aturan yang hendak dirundingkan adalah terkait dengan isu paten dan kaitannya dengan isu biodiversitas termasuk eksklusifitas data terkait dengan aspek biodiversitas. Menurut negosiator Indonesia, EU memang mengusulkan agar mitranya bergabung dengan UPOV, tetapi terkait isu ini memang masih ada perbedaan posisi dan belum bisa disepakati. Secara khusus isu IPR ini ada dibawah kewenangan Dirjen Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, dengan mendiskusikannya Bersama Kementerian Pertanian.
Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedautalan Pangan (KRKP) mengingatkan negosiator Indonesia agar IEU CEPA tidak mengatur satu pun mengenai kewajiban Indonesia menjadi anggota UPOV91 (International Union for the Protection of New Varieties of Plants). Hal ini karena, UPOV91 akan memberikan dampak besar terhadap kedaulatan benih petani, termasuk berpotensi menghilangkan keanekaragaman hayati local mengingat UPOV hanya menginginkan benih yang memiliki standar sama. Ini akan menghancurkan benih local dan peran petani local sebagai actor utama pemulia tanaman dan penjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Lebih lanjut Said mempertegas bahwa dalam memperkuat system perlindungan perbenihan hendaknya hanya dilakukan dengan memperkuat UU nasional dengan memberikan pengakuan yang kuat pada hak pemulia tanpa harus bergabung menjadi anggota UPOV. Apalagi, tidak perlu adanya keharusan agar merubah kembali UU sesuai dengan kesepakatan UPOV. Tentu ini bertentangan dengan Amanat Konstitusi Kita.
Hal senada disampaikan oleh Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ, yang menekankan agar Pemerintah tidak tunduk pada desakan EU agar Indonesia bergabung dalam sebuah organisasi internasional tertentu, khususnya UPOV91. Jika pun Indonesia hendak menjadi anggota pada suatu organisasia internasional tertentu, maka kepentingan itu sudah seharusnya tidak diikatkan di dalam sebuah FTA khususnya IEU CEPA. Hal ini karena, keikutsertaan Indonesia dalam organisasi Internasional bukan didasari oleh janji yang diikatkan sebelumnya dalam sebuah FTA, tetapi harus didasari oleh kepentingan nasional kita.
Dalam hal menjamin adanya perlindungan hak petani, Afgan Fadila dari Serikat Petani Indonesia, mengingatkan bahwa Indonesia telah ikut mendukung dan menyepakati Deklarasi Hak Asasi Petani dan Masyarakat Pekerja di pedesaan. Untuk itu, sudah seharusnya dalam pembahasan IEU CEPA menjadikan Deklarasi Hak ASasi Petani sebagai rujukan utamanya, khususnya dalam menjamin dan memastikan perlindungan kepada kedaulatan petani. Apalagi, Indonesia sudah punya UU Perlindungan dan pemberdayaan petani, yang harusnya menjadi rujukan negosiator dalam menyusun posisi runding.
Catatan lain yang juga penting dalam pembahasan Bab IPR dalam IEU CEPA disampaikan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) Agung Prakoso mengenai bahaya soal aturan TRIPS Plus apabila disepakati dalam IEU CEPA. Ia menekankan agar aturan TRIPS Plus seperti perpanjangan masa paten dan eksklusivitas data diterapkan dan disepakati dalam IEU CEPA mengingat hal tersebut bertentangan dengan UU domestic Indonesia. Tentu ini akan mempersulit kita sendiri. Lebih jauh, Lutfiyah Hanim juga menegaskan agar kesepakatan TRIPS Plus yang mungkin pernah diatur dalam FTA lainnya untuk tidak di-copy-paste dalam IEU CEPA.
Isu Perdagangan & Berkelanjutan
Dalam hal diskusi lebih detail tentang perkembangan negosiasi Bab Trade and Sustainable Development (TSD), banyak hal yang disampaikan khususnya terkait dengan beberapa isu seperti isu hak buruh, isu sawit, dan lainnya.
Terkait isu perburuhan, Samuel Gultom dari CNV menjelaskan bahwa Indonesia sudah banyak ratifikasi konvensi ILO yang tentunya hal ini tidak akan sulit bagi Indonesia untuk ikut menyetujui bab TSD. Apalagi mengingat perubahan regulasi ketenagakerjaan Indonesia dibawah Omnibus Law juga semakin mempertanyakan komitmen pemerintah untuk benar-benar melindungi hak buruh, karena standar perlindungannya menjadi lebih rendah dari konvensi ILO itu sendiri.
Atas pandangan tersebut, Kemendag menjelaskan bahwa isu perburuhan tidak bisa dilihat dari satu isu saja, tetapi harus diletakan lebih general di satu bab TSD. Ada isu lain juga dalam Bab TSD seperti isu lingkungan dan keanekaragaman hayati. Negosiator mengklaim bahwa dalam pembahasan TSD, Indonesia benar-benar menginginkan adanya perdagangan dan produksi yang sustainable, dan bagaimana nantinya hasil kesepakatan itu akan memberikan keuntungan.
Lebih lanjut, Peneliti Institute for Ecosoc Rights, Prasetyohadi, ikut menanyakan apa target Pemerintah Indonesia dalam perundingan selanjutnya mengenai sawit dan kaitannya dengan isu perdagangan berkelanjutan. Dalam hal ini, negosiator Indonesia menjelaskan bahwa target Indonesia dalam perundingan yaitu menghilangkan hambatan akses pasar sawit, mengingat sawit adalah komoditas utama ekspor dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk small holders nya. Memang di Eropa banyak sentiment negative terhadap produk sawit, dan soal ini masih jadi diskusi mendalam bagi kedua pihak dan berupaya untuk mencari jalan keluarnya.
Dari aspek lingkungan, pembahasannya di dalam bab TSD masih stagnan. Merujuk pada perkembangan di Uni Eropa, Rachmi Hertanti dari IGJ mengingatkan bahwa ada rekomendasi dari Parlemen Uni Eropa yang menyatakan Bab TSD dalam EU CEPA harus bersifat mengikat dan memiliki sanksi tegas, khususnya yang berkaitan dengan komitmen EU dalam UNFCCC. Apalagi, di sisi Indonesia, juga menginginkan adanya sanksi yang mengikat jika ketentuan dalam bab TSD ini dilanggar, khususnya Ketika adanya praktek hambatan perdagangan bagi produk perdagangan yang telah diakui sustainable.
Sejalan dengan itu, Yuyun Harmono dari WALHI, juga mempertanyakan posisi Indonesia dalam perundingan Bab TSD, khususnya melihat kaitan antara isu iklim dalam Bab TSD dengan kebijakan EU mengenai Carbon Boarder Adjustment Measures (CBAM). Senada dengan Yuyun, Peneliti IGJ, Parid Ridwanudin, juga menyampaikan bahwa komitmen Indonesia mengenai agenda perdagangan yang berkelanjutan masih sangat rendah. Hal ini dilihat dari berbagai perubahan regulasi dalam Omnibus Law yang masih memfasilitasi dan melegitimasi energi fosil dalam pembangunan ekonominya.
Merespon tanggapan diatas, Negosiator Indonesia menyatakan bahwa posisi soal TSD dan CBAM masih harus dilihat lagi oleh pemerintah. Mereka ingin bab ini bentuknya tidak hanya normative, tetapi ingin ada manfaat riilnya di kedua negara, termasuk pengakuan produk perdagangan Indonesia yang sudah sustainable. Pemerintah mengklaim bahwa mereka punya komitmen tinggi terhadap agenda perdagangan dan berkelanjutan, dan ini masih akan terus dikaji lebih dalam. Jika dorongannya adalah ‘binding’, maka akan dilihat lagi apa-apa saja yang akan kembali diatur di dalamnya. Untuk CBAM, EU baru akan mengeluarkan aturan turunannya dan Indonesia masih mempelajari, termasuk usulan EU lainnya.
Isu Perdagangan Digital
Dalam isu perdagangan digital, IEU CEPA mengatur lebih rigid jika dibandingkan dengan RCEP. Terkait isu ini, Peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom, menyoroti dua point besar, yaitu: pertama, soal cross border data flow. Isu ini akan berdampak pada hal, yaitu melarang local presence dan local server dan berdampak pada sulitnya penerapan hukum Ketika terjadi pelanggaran yang bersifat pidana. Kedua, soal Source Code. Kita sering kali melihat isu ini sebatas soal aplikasi. Tapi source code ini dilindungi dalam IPR, dan perlindungan terhadap source code telah dapat diantisipasi apabila terkait dengan pajak, atau algoritma yang sifatnya diskriminatif baik pekerja ataupun umkm, atau terkait dengan praktek monopoli.
Menanggapi hal tersebut, negosiator Indonesia menjelaskan bahwa di dalam negoisasi untuk judul saja belum sepakat apakah Digital Trade atau E-Commerce. Draft teks yang dipublikasikan oleh EU masih terbuka untuk didiskusikan, jadi belum ada satupun aspek yang disepakati. Untuk posisi runding, pemerintah mengklain akan berusaha agar sesuai dengan ketentuan domestic yang masih berkembang khususnya soal RUU Perlindungan data dan data localization. Untuk isu ini sendiri, kita melihat lagi persetujuan kita lainnya di perjanjian lain.
*****
Penyusun Ringkasan Laporan:
Muslim Silaen & Rachmi Hertanti
Email: igj@igj.or.id / keadilan.global@gmail.com