Artikel Monitoring IGJ
Menuju WTO MC12th – September 2021
Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Perdagangan Dunia (KTT WTO) ke-12 akan kembali digelar pada 30 November-3 Desember 2021. Pertemuan KTT WTO Ke-12 ini akhirnya dilakukan di Sekretariat WTO di Jenewa, Swiss, setelah penundaan di tahun 2020 yang seharusnya dilakukan di Kazakhstan.
KTT WTO ke-12 kembali menyita perhatian para pemimpin negara di dunia yang ditantang untuk bisa menyelesaikan krisis multilateralisme di WTO. Pada saat AS dipimpin oleh Donald Trump pada tahun 2016, pemerintahannya telah memainkan peran yang sangat aktif dalam mengkritik China dan WTO karena diklaim telah melakukan pembiaran terhadap praktik perdagangan yang tidak adil. Kritik ini dilanjutkan oleh AS dengan membuat WTO menjadi Lembaga yang mandul dimana pada 10 Desember 2019, pemerintahan Trump memblokir penunjukan baru hakim Badan Banding WTO (Appleate Body), sehingga membuat lembaga banding WTO terhenti karena kurangnya hakim yang tersedia.
Namun, bukan hanya pemblokiran AS yang mengakibatkan penurunan efektivitas di organisasi perdagangan internasional ini, tetapi perdebatan politik yang cukup kuat dalam merespon proposal AS untuk Reformasi WTO. Pada akhirnya, proses negosiasi di WTO, khususnya yang berkaitan dengan Agenda Pembangunan Doha yang merupakan kepentingan negara berkembang menjadi Kembali terhambat. Oleh karena itu, pertemuan KTT WTO ke-12 menjadi momen yang sensitive dalam upaya menyelesaikan krisis lembaga perdagangan multilateral tersebut.
Reformasi WTO VS Agenda Pembangunan Doha
Proposal AS pada tahun 2019 menjadi perdebatan politik yang tak kunjung usai, dan telah berdampak terhadap berbagai negosiasi WTO yang sedang berjalan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan negara berkembang, dan berpotensi merusak system perdagangan multilateral yang telah berjalan selama ini.
Di masa Donald Trump, AS mengajukan proposal Reformasi WTO yang mengkritisi system WTO, yakni terkait dengan prosedur negosiasi perjanjian di WTO khususnya tentangself-declared status pembangunan anggota WTO[1].
Terkait dengan isu Self-Declared status sebagai negara berkembang, AS mempersoalkan tidak adanya kriteria yang cukup jelas di WTO untuk menentukan status pembangunan suatu negara, sehingga negara yang berstatus negara berkembang dapat menikmati berbagai fleksibilitas dalam ketentuan Special dan Differential Treatment (S&DT) dan ini dianggap tidak adil. AS mengklaim bahwa mekanisme “self-declared” sebagai negara berkembang di WTO telah membuat beberapa negara dengan status pembangunan yang cukup maju dan dapat diklasifikasikan kaya menikmati status negara berkembang beserta fleksibilitas S&DT yang sangat menguntungkan mereka. Negara-negara tersebut seperti Singapura, Hong Kong, Cina; Makau, Israel; negara Kuwait; Republik Korea; Uni Emirat Arab; Brunei Darussalam; dan Qatar[2].
Dalam berbagai perundingan, pembahasan mengenai ketentuan S&DT selalu menjadi perdebatan yang paling tajam khususnya Ketika masuk pada penentuan kriteria negara yang dapat menikmati fleksibiltas tersebut. Hal tersebut paling terasa pada perundingan perjanjian subsidi perikanan. Kertas Kebijakan South Centre 2019 menyebutkan bahwa jika Proposal AS mengenai klasifikasi negara yang tidak dapat ditetapkan sebagai negara berkembang dan menikmati S&DT disepakati, maka akan ada sebanyak 34 negara yang mewakili 53,4% populasi dunia dikecualikan dari ketentuan S&DT dari perjanjian yang saat ini sedang dinegosiasikan atau akan dinegosiasikan di masa yang akan datang. Pilihan kriteria tersebut berdasarkan: (1) keanggotaan atau aksesi pada OECD; (2) Keanggotaan G20; (3) Diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan tinggi oleh Bank Dunia; dan (4) negara dengan kontribusi 0,5% atau lebih pada perdagangan global[3]. Tentu, dengan kriteria ini Indonesia akan mendapatkan dampak yang lebih besar.
Lebih lanjut, South Centre menegaskan bahwa proposal AS ini secara fundamental akan bertentangan dengan mandat agenda pembangunan Doha dan mandate lainnya dalam perjanjian WTO yang menegaskan S&DT penting untuk negara berkembang. Ketentuan S&DT masih menjadi ketentuan integral dari negosiasi yang sedang berlangsung dan menjadi tujuan utama perjuangan negara berkembang dan LDCs di WTO untuk menyeimbangkan Kembali system WTO agar lebih adil dalam menyikapi situasi khusus negara berkembang dan LDCs di bidang perdagangan.
Tidak sampai disitu, tuntutan untuk mereformasi WTO juga telah masuk pada desakan untuk merombak system pengambilan keputusan di WTO. Hal ini telah didesakan, khususnya oleh negara maju, selama dua decade terakhir yang mendesak agar WTO meninjau Kembali metode negosiasinya seperti pengambilan keputusan secara consensus dan prinsip “single-undertaking”[4]. Desakan ini muncul dari kritik negara maju atas kemandekan WTO dalam menyelesaikan berbagai negosiasi perdagangan di WTO, seperti yang terjadi di pertanian dan subsidi perikanan. Terlebih, mekanisme consensus dan single under-taking juga telah menghambat negara maju untuk dapat mendorong berbagai perjanjian isu baru untuk dapat dibahas dan disepakati sebagai perjanjian WTO.
Hal inilah yang mendasari negara maju untuk terus mendesakan isu-isu baru (e-commerce, investment facilitation, environment, dll) dibahas dalam mekanisme plurilateral di WTO atau dikenal dengan perjanjian plurilateral. Perjanjian ini hanya melibatkan negara-negara yang memiliki kepentingan sama (like-minded countries) dan hanya mengikat negara yang ikut menyepakatinya saja. Beberapa perjanjian plurilateral yang telah disepakati seperti Information & Technology Agreement (ITA), Environmental Goods & Services. Beberapa perjanjian plurilateral yang sedang dibahas seperti E-commerce, investment facilitation, dan services domestic regulation.
Jika perjanjian plurilateral menjadi satu mekanisme yang disepakati, tentu hal ini akan menggerogoti Agenda Pembangunan Doha yang sampai saat ini masih banyak perjanjian dibawah mandat Agenda Doha masih jauh dari kesepakatan. Bahkan di beberapa kali KTT WTO sebelumnya, hambatan untuk penyelesaian Agenda Doha terus terjadi. Dan tidak menutup kemungkinan hal itu akan Kembali terjadi dalam KTT WTO ke-12 nanti. Memang, nampaknya Kembali akan ada upaya dimana negara maju mendesak agar perjanjian plurilateral yang dibahas saat ini dapat disepakati dibawah payung Perjanjian WTO. Namun, tentu hal ini akan menjadi mekanisme yang illegal dimana perjanjian plurilateral ini tidak disepakati secara consensus oleh seluruh negara anggota WTO. Desakan untuk menyepakati perjanjian plurilateral di KTT WTO ke-12 dilakukan oleh negara-negara yang mendukung Joint Statement Initiative (JSI) pada tiga isu yaitu E-commerce, Investment Facilitation, dan domestic regulation.
Agenda Prioritas KTT WTO Ke-12 Belum Disepakati
Menjelang KTT WTO Ke-12, perdebatan mengenai isu yang akan dibawa dalam pembahasan KTT tersebut masih jauh dari kesepakatan. Dirjen WTO yang baru, Ngozi Okonjo Iweala, mengusulkan agar isu prioritas yang akan dibahas dalam KTT WTO Ke-12 nanti lebih bisa menyelesaikan persoalan krisis multilateralisme di WTO seperti[5]: (1) perlunya mempercepat pekerjaan di JSI (Joint Statement Initiative) untuk mencapai hasil yang mungkin pada perdagangan elektronik (e-commerce), fasilitasi investasi (Investment Facilitation), disiplin untuk mikro, kecil, dan menengah perusahaan (UMKM), dan peraturan dalam negeri di bidang perdagangan jasa (Services domestic Regulations); (2) penarikan sukarela dari pemanfaatan perlakuan khusus dan berbeda oleh negara-negara berkembang utama, dalam memperkuat fungsi negosiasi WTO; (3) peningkatan transparansi dan persyaratan pemberitahuan antara lain; dan (4) memulai negosiasi perdagangan dan lingkungan. Beberapa negara maju, seperti Uni Eropa, mendukung usulan dari Dirjen WTO tersebut.
Namun, sebaliknya, negara-negara berkembang sebagian besar menyampaikan isu reformasi “pembangunan dan inklusif” yang harus dibahas nantinya mencakup[6]: (1) memperkuat ketentuan perlakuan khusus dan berbeda (Special & Differential Treatment), yang merupakan kewajiban perjanjian; (2) keputusan mendesak atas usulan pengabaian TRIPS dalam memerangi pandemi COVID-19; (3) tanggung jawab yang sama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities) dalam disiplin pelarangan subsidi perikanan yang berbahaya; (4) memulihkan Badan Banding (the Appellate Body) untuk memastikan bahwa sistem penyelesaian sengketa dua tahap tetap berfungsi; dan (5) perlunya mengkaji dan menilai kembali moratorium bea masuk atas transmisi elektronik, karena dampak negatifnya terhadap pendapatan dan perkembangan digital di negara berkembang, antara lain sesuai program kerja e-commerce 1998.
Dalam beberapa negosiasi perjanjian nampaknya juga masih cukup jauh dari kata sepakat, khususnya terkait dengan negosiasi larangan subsidi perikanan, TRIPS Waiver untuk merespon Covid19, dan perjanjian pertanian. Agenda pembangunan Doha masih dipertaruhkan ditengah desakan kuat reformasi WTO oleh negara maju.
Penutup
Penyelesaian krisis multilateralisme di WTO memang tidak mudah. Namun, posisi negara berkembang sangat penting untuk tetap pada agenda pembangunan yang berpihak pada kepentingan negara berkembang dan LDCs. Jangan sampai kepentingan pembangunan ini Kembali dibajak oleh negara industry maju yang terus mendorong praktek liberalisasi dan monopoli perdagangan global. Untuk itu, posisi strategis Indonesia dalam perundingan KTT WTO Ke-12 akan sangat penting untuk diawasi, dan sejauh mana pemerintah betul-betul menjaga ruang kebijakan negara untuk tetap melindungi kepentingan rakyat Indonesia.
*****
Penyusun:
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ
[1] Aileen Kwa and Peter Lunenborg, “Why the US Proposals on Development will Affect all Developing Countries and Undermine WTO”, South Centre Policy Brief No.58, March 2019.
[2] WTO Circulated Document WT/GC/W/757/Rev.1, 14 February 2019, requested by the United States, “An Undifferentiated Wto: Self-Declared Development Status Risks Institutional Irrelevance”
[3] South Centre Policy Brief No.58, March 2019.
[4] Chatham House, “Reforming the World Trade Organization Prospects for transatlantic cooperation and the global trade system”, pg.24.
[5] Members sharply divided on WTO reform, fisheries subsidies & JSIs, Published in SUNS #9295 dated 1 March 2021, https://www.twn.my/title2/wto.info/2021/ti210301.htm
[6] Ibid.