Press Release – Indonesia For Global Justice
Merespon COP26, Glasgow
Jakarta, 1 November 2021. Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak Pemerintah Indonesia agar mendesak negara maju untuk tidak menjadikan perjanjian plurilateral sebagai basis pembahasan isu lingkungan dan perubahan iklim di WTO. Hal ini karena, agenda liberalisasi perdagangan hijau dan pajak karbon hendak dipaksakan oleh negara maju, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat, untuk disepakati diluar mekanisme multilateral di WTO.
Pertemuan COP26 di Glasgow, 31 Oktober–12 November 2021, akan dipakai oleh negara maju untuk mendesak proposal perdagangan hijau dalam WTO, yang tentu akan berdampak pada ketidak-adilan pembangunan bagi negara berkembang dan negara kurang berkembang.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menegaskan bahwa desakan negara maju untuk mengatur liberalisasi perdagangan hijau dan pajak karbon di WTO yang hanya akan Kembali menimbulkan diskriminasi dan hambatan pembangunan jika tidak dilakukan dengan mekanisme multilateral, yaitu dengan kesepakatan yang bersifat konsensus dan single under-taking. Pada akhirnya, keputusan yang diambil melalui jalur plurilateral hanya akan menggerogoti agenda pembangunan Doha di WTO yang bertujuan untuk mendorong pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh negara anggota WTO, khususnya negara berkembang dan kurang berkembang.
“untuk membahas isu lingkungan dalam mengatasi perubahan iklim di WTO tidak bisa dilepaskan dari komitmen untuk tetap mendukung agenda pembangunan Doha dalam skema multilateral. Hal ini akan memastikan terbukanya ruang kebijakan luas bagi negara berkembang dan kurang berkembang dalam mengatasi perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus mendesak bahwa isu lingkungan tetap mengedepankan mekanisme multilateral di WTO dalam melaksanakan agenda pembangunan Doha”, tegas Rachmi.
Beberapa agenda pembangunan Doha yang harus menjadi prioritas pembahasan isu lingkungan di WTO sebagai solusi tepat keadilan iklim seperti: Fleksibilitas TRIPS untuk teknologi hijau, penerapan aturan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) untuk negara berkembang dan kurang berkembang terutama yang berkaitan dengan penerapan subsidi dan non-tarrif measures lainnya, termasuk soal aturan “peace clause terkait dengan dispute settlement mechanism” yang dapat mengecualikan negara berkembang dan negara kurang berkembang terkait dengan trade-related environmental measures.
Lebih lanjut, Rachmi menjelaskan bahwa Penerapan aturan pajak karbon, khususnya terkait dengan tindakan unilateral mengenai Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang diajukan oleh Uni Eropa, bukanlah solusi yang adil, dimana aturan ini hanya akan menimbulkan diskriminasi dan proteksionisme negara maju yang selama ini tidak pernah mendukung proposal negara berkembang soal agenda perubahan iklim yang berkeadilan. Proposal CBAM inilah yang akan didesakan negara maju dalam perjanjian Plurilateral WTO soal lingkungan.
“Pilihan untuk menjadikan isu lingkungan dan perubahan iklim sebagai perjanjian plurilateral dalam WTO adalah illegal. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus dapat membawa agenda kerja perdagangan multilateral dalam pertemuan COP26 ini, dan memastikan dalam pertemuan WTO MC12th diakhir November, proposal perjanjian plurilateral terkait isu lingkungan harus ditolak”, jelas Rachmi.
Senada dengan itu, Peneliti isu trade and climate IGJ, Parid Ridwanuddin, menyebut bahwa WTO bukanlah tempat untuk membahas pengaturan harga karbon global. Pembahasan tersebut seharusnya dilakukan oleh lembaga resmi Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seperti United Nation for Environment Program (UNEP), The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Food and Agriculture Organization (FAO), atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dan lembaga lain yang relevan.
“Di WTO, isu lingkungan hidup atau isu iklim dibahas untuk menjustifikasi liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Dengan didorongnya pembahasan mengenai harga karbon global oleh Dirjen WTO, tak ada tujuan untuk melindungi planet bumi atau masyarakat dunia dari dampak buruk krisis iklim,” kata Parid.
Tak hanya itu, Parid menyebut dorongan Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, agar Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina untuk bekerja sama dengan cara menetapkan harga karbon global guna menyelesaikan krisis iklim adalah hal yang sangat salah dan berbahaya. Pasalnya, ketiga negara ini merupakan pencemar planet bumi terbesar. Parid mengutip data Our World in Data yang menyebut bahwa sejak tahun 1751 sampai dengan tahun 2017 Amerika Serikat telah memproduksi emisi karbon sebanyak 399 miliar ton atau setara dengan 25 persen dari total emisi global. Uni Eropa telah memproduksi emisi karbon sebanyak 353 miliar ton atau setara dengan 22 persen dari total emisi global. Sementara itu, China telah memproduksi emisi karbon sebanyak 200 miliar ton atau setara dengan 12,7 persen dari total emisi global.
“Masyarakat dunia tidak bisa berharap banyak pada negara-negara pencemar planet bumi untuk menyelesaikan krisis iklim. Dengan demikian, dorongan Dirjen WTO agar Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina untuk bekerja sama menetapkan harga karbon global sangat keliru,” tutupnya.
Informasi lebih lanjut :
Rachmi Hertanti,
Direktur Eksekutif IGJ – (0817-4985180)
Parid Ridwanudin,
Peneliti IGJ untuk isu Trade & Climate – (0812-3745-4623)
E-Mail
keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or.id