Kilas Balik Alotnya Negosiasi Pertanian di WTO
Negosiasi pertanian selalu alot pembahasannya dalam setiap Konferensi Tingkat Menteri WTO. Kita bisa lihat hasil dari beberapa KTM WTO terakhir yang tidak menghasilkan kemajuan signifikan. Misalnya dalam KTM 9 WTO 2013 di Bali, hasilnya anggota hanya menyetujui untuk menerapkan mekanisme sementara terhadap masalah public stockholding for food security dan akan dibahas kemudian pada KTM 11 WTO untuk memutuskan solusi permanen terhadap persoalan tersebut.
Dalam KTM 9 WTO, juga disepakati dengan apa yang disebut sebagai “Peace Clause”, yang maksudnya bahwa seluruh anggota WTO diminta untuk menahan diri dalam melakukan gugatan di dispute settlement body (DSB WTO), ketika ada salah satu negara berkembang melakukan pemberian subsidi untuk keperluan public stockholding melebihi dari batas Agregate Measurement Support (AMS). Jangka waktu menahan diri untuk tidak melakukan gugatan yakni 4 tahun hingga pelaksanaan KTM 11 WTO nanti.
Namun, dalam KTM 11 WTO 2017 di Buenos Aires, Argentina kala itu juga tidak menghasilkan kesepakatan apapun di bidang pertanian termasuk pembahasan mengenai solusi permanen terhadap public stockholding, dan subsidi domestik.2
Solusi permanen dalam hal ini maksudnya adalah solusi bagi negara berkembang- kurang berkembang untuk tetap memberikan subsidi domestik tanpa adanya syarat-syarat tertentu. Dan diberikan kewenangan mandiri dalam mengelola sumber-sumber pertanian dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan petani dan produktivitas pertanian lokal. Namun, isu solusi permanen ini sangat alot pembahasannya karena mendapatkan pertentangan dari negara maju di WTO.
Terdapat tiga isu utama dalam negosiasi pertanian yang selalu menjadi sorotan, yaitu terkait penurunan subsidi domestik sebagaimana disebut dalam Pasal 6 Agreement on Agriculture (AoA) dan tarif produk pertanian serta Public Stocholding for Food Security. Isu itu menjadi sorotan karena pertentangan yang sangat kuat antara negara maju dan negara berkembang-kurang berkembang. Bagi negara berkembang-kurang berkembang, isu pertanian sangat terkait dengan permasalahan sosial-ekonomi dan keberlanjutan (ex: food security, livelihood security dan rural development). Sementara bagi negara maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis-ekonomis yang lebih menekankan pada orientasi bisnis untuk ekspansi pertanian.
Sepanjang tahun 2021, working group WTO untuk isu pertanian tercatat telah melakukan rapat sebanyak 30 kali mulai dari tanggal 4 Februari – 21 September 2021 lalu.3 Namun, pembahasan dari rapat ke rapat belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Terlebih lagi perdebatan beberapa isu fundamental masih terus berlanjut, seperti pertama, mengenai Public Stockholding (PSH) for Food Security; kedua, Pasal 6 Agreement on Agriculture (AoA) soal dukungan domestik; ketiga, penghapusan subsidi ekspor. Uraiannya akan dijelaskan dibawah ini.
Pertama, Perdebatan mengenai PSH tidak bisa dilepaskan dari sisi historisnya, bahwa saat isu ini diusulkan oleh India sebenarnya untuk tujuan agar pemberian subsidi terhadap Public Stockholding dikecualikan dari penghitungan Aggregate Measurement Support (AMS). 4 Selama ini memang PSH dimasukkan dalam kategori green box, 5 namun besaran nilai subsidinya harus mengacu pada penghitungan AMS.
Adapun cara penghitungan AMS ini dikalkulasikan dengan menghitung selisih antara harga referensi eksternal 1986-1988 dengan harga intervensi yang ditetapkan pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 dan 7 AoA. Untuk lebih ringkas mengenai simulasi penghitungan AMS, penulis mencatatkannya dalam tabel 1 dibawah ini. Pengecualian subsidi PSH dari AMS adalah bertujuan untuk menaikkan derajat petani miskin dan meningkatkan ketahanan pangan nasional dari ancaman liberalisasi pertanian.
Sebab, ancaman liberalisasi pertanian itu benar nyata semenjak berlakunya perjanjian pertanian WTO. Berdasarkan data World Bank antara tahun 2000 dan 2012, indeks harga pangan global meningkat 104,5 persen, bila dikalkulasikan rata- rata meningkat 6,5 persen per tahun nya.6 Walaupun sebenarnya kenaikan harga pangan itu ditentukan oleh ragam faktor. Bisa dari tingkat produksi dalam negeri yang tinggi, minimnya dukungan dalam negeri hingga faktor lemahnya negara dalam intervensi harga pangan domestik. Namun, faktor-faktor tersebut menunjukkan pentingnya menjaga konsistensi kebijakan negara dalam memberikan subsidi pertanian untuk tujuan kesejahteraan pertanian dan kualitas produksi dalam negeri.
Kedua, selanjutnya tidak kalah menarik pertentangan mengenai reformasi Pasal 6 AoA tentang dukungan domestik di sektor pertanian. Yang dimaksud dengan dukungan domestik disini adalah bentuk pemberian subsidi dalam negeri di sektor pertanian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian. Selain itu, pemberian subsidi ini untuk meningkatkan taraf kesejahteraan bagi petani. Reformasi Pasal 6 AoA ini sangat kuat diusulkan oleh negara G-33 yang di dalamnya ada negara berkembang-kurang berkembang untuk memperjuangkan agar tetap adanya pemberian subsidi domestik.
Masalahnya dalam konteks negosiasi ini di WTO, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa tidak sepakat adanya pemberian subsidi di dalam negeri karena dianggap sebagai distorsi perdagangan. Padahal, negara-negara maju selama ini memberikan subsidi yang sangat tinggi di sektor pertanian.
Dalam publikasi OECD7 menyebutkan bahwa rata-rata negara-negara maju memberikan subsidi di dalam negeri untuk sektor pertanian sebesar USD 536 miliar atau setara dengan 7,1 triliun per tahun. Maka jelas bahwa negara-negara majulah yang sebenarnya terlebih dahulu mendistorsi perdagangan di tingkat global dengan memberikan over subsidi di sektor pertanian. Ditambah lagi, kalkulasi pemberian subsidi ini tidak selalu di-update oleh negara maju kepada WTO. Seharusnya, negara maju melakukan review kebijakan mereka terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan pada negara berkembang-kurang berkembang yang memperjuangkan subsidi domestik.
Ketiga, Pada saat KTM 10 WTO 2015 di Nairobi, isu penghapusan subsidi ekspor pertanian telah disepakati.8 Pelarangan subsidi ekspor bagi produk-produk pertanian karena dianggap dapat mendistorsi perdagangan. Subsidi ekspor yang dilarang seperti pembayaran langung oleh pemerintah kepada eksportir, penjualan saham non-komersial dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar domestik, subsidi yang dibiayai produsen, tindakan pengurangan biaya produksi, subsidi transport internal ke pelabuhan.
Negara maju selalu mendesak negara berkembang untuk mengurangi subsidi baik subsidi ekspor maupun subsidi domestik. Namun, negara maju enggan untuk mengurangi subsidi pertanian, bahkan meningkat tiap tahunnya.
Begitu sulitnya mencapai kesepakatan, dikarenakan pertentangan dua kepentingan dari dua kubu itu yang saling mempertahankan argumentasi dalam negosiasi. Kepentingan negara maju di sektor pertanian sangat jelas, hendak melakukan ekspansi pasar dan menjalankan liberalisasi dengan cara mendorong pembukaan pasar melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan, baik dalam bentuk tarrif maupun non-tarrif. Karenanya, mereka mempertahankan dengan segala daya upaya agar liberalisasi yang tengah berlangsung di WTO terus berjalan atau bahkan meningkatkan lagi level liberalisasi nya.
Sementara, kepentingan negara berkembang-kurang berkembang untuk mempertahankan sumber daya alam dari ancaman liberalisasi yang akan menghilangkan ruang kebijakan negara dalam mengelola pertanian secara berdaulat dan mandiri. Karenanya, perjuangan mereka dalam negosiasi untuk mempertahankan subsidi domestik di sektor pertanian harus tetap menjadi hak yang tidak boleh dikurangi.
Oleh karena itu, bagi negara berkembang-kurang berkembang membawa mandat Agenda Doha (Doha Development Agenda)9 menjadi sangat penting. Sebab bertujuan untuk melakukan reformulasi tata perdagangan multilateral yang berdimensi pembangunan. Tata perdagangan yang dimaksud memberikan kesempatan bagi negara berkembang-kurang berkembang untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan.
Tabel 1. Simulasi penghitungan AMS10
Sampel: Beras
Penjelasan singkat tabel 1:
Penulis mencuplik simulasi penghitungan ini dari Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia dengan judul Notifikasi Produk Pertanian di WTO. Pada intinya, kalkulasi AMS itu dihitung selisih antara harga intervensi pemerintah dengan harga referensi eksternal, kemudian dikalikan dengan total produksi. Adapun besaran angka simulasi dalam tabel ini diambil berdasarkan ketentuan Inpres No. 8 tahun 2000 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah dan Beras dalam kerangka mempertahankan harga dasar pembelian pemerintah. Pemberian subsidi untuk PSH dengan perhitungan AMS ini, membuat Pemerintah mengeluarkan cost besar karena kalkulasi mengacu harga referensi eksternal itu. Tidak hanya itu, Pemerintah juga punya kewajiban secara berkala untuk menginformasikan subsidi yang dikeluarkan untuk PSH.
Perbedaan Kepentingan Dalam Draft Teks Pertanian di Isu
Public Stockholding dan Subsidi Domestik
Dalam draft text ministerial decision untuk isu pertanian yang diluncurkan pada Juli 2021 oleh Ketua Negosiasi Perdagangan Pertanian, Duta Besar Gloria Abraham Peralta, Costa Rica,11 ia menjelaskan masih banyak masalah yang menjadi perdebatan dalam draft text tersebut. Bahkan sejak 6 tahun terakhir tidak ada kemajuan signifikan dalam membahas draft text isu pertanian. Hal ini disebabkan adanya pertentangan yang kuat antara negara maju dengan negara berkembang- kurang berkembang.
A. Proposal G33 dan G90
Dalam konteks isu Public Stockholding, Proposal G3312 dan Proposal G-90 (African Group)13 yang pada intinya mengusulkan agar ketentuan Public Stockholding dikeluarkan dari penghitungan Agregate Measurement Support dan tetap konsisten masuk dalam kotak hijau (green box). Dalam artian subsidi untuk tujuan public stockholding for food security harus diperbolehkan tanpa syarat apapun.
Proposal G-33 bahkan meminta agar melakukan amandemen (lihat tabel 2) terhadap Perjanjian AoA dengan menambahkan satu annex yakni Annex 6 dalam AoA. Pada intinya meminta agar negara berkembang-kurang berkembang diberikan kewenangan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin perkotaan dalam hal tujuan mencukupi kebutuhan pangan.
Selain itu, Pemerintah juga diperbolehkan untuk menetapkan harga pangan dengan tujuan menjaga stabilitas harga dan kecukupan pangan domestik.
Lebih lanjut, Proposal G-33 meminta untuk mengamandemen Pasal 6 Ayat 1 AoA yang memasukkan ketentuan special and differential treatment dalam pemberian domestic support. Dalam artian negara berkembang-kurang berkembang memandang pentingnya pemberian subsidi domestik di sektor pertanian untuk terus dipertahankan. Karena ini menyangkut kualitas produksi dan masa depan petani juga pertanian mereka. Oleh karena itu, mereka tidak sepakat dengan penghapusan subsidi domestik, dan bagi negara berkembang-kurang berkembang harus diterapkan ketentuan special and differential treatment.
B. Proposal Negara Maju14
Dalam Proposal Negara Maju seperti Amerika Serikat dan Canada menghendaki ketentuan public stockholding tetap masuk dalam penghitungan AMS. Dengan alasan agar pemberian subsidi untuk PSH tetap dapat dilaporkan ke WTO. Dalam hemat penulis, bahwa dorongan ini dilakukan negara maju kepada negara berkembang-kurang berkembang untuk mengetahui besaran subsidi yang diberikan untuk PSH agar tidak mendistorsi perdagangan.
Proposal selanjutnya yakni negara maju tidak sepakat memberikan kewenangan pada Pemerintah negara berkembang-kurang berkembang untuk menetapkan harga pangan mereka sendiri. Ketetapan harga pangan untuk PSH harus mengacu pada harga pasar / harga yang berjalan saat ini.
Tidak berhenti disitu, Proposal Cairns Group Nomor JOB/AG/177/Rev.1 yang sudah didukung oleh 20 co-sponsor mengusulkan hal yang sama kepada WTO agar mengurangi atau membatasi pemberian subsidi domestik demi tercapainya tujuan perdagangan berkelanjutan 2030.15 Proposal ini tidak ada bedanya dengan Proposal Negara Maju, walaupun anggota Cairns Group sebagian diisi oleh negara berkembang. Kita bisa melihat bahwa intervensi yang kuat terus dilakukan oleh negara-negara maju selama proses negosiasi untuk menghambat negara berkembang-kurang berkembang mendapatkan hak yang layak dan berdaulat di sektor pertanian mereka sendiri.
Berdasarkan publikasi Third World Network (TWN) yang berjudul Doha Agriculture chair says her draft text is not ideal solution disebutkan bahwa draft text yang ada dominan mengadopsi proposal dari Cairns Group. Dan mengabaikan proposal dari G-33 dan G-90 (African Group), sehingga dapat dikatakan itu merupakan Cairns Group Text.16 Tampaknya Chair juga telah banyak dipengaruhi oleh intervensi proposal dari Cairns Group, tidak seperti para pendahulunya yang mengedepankan masukan dari berbagai unsur dalam proses negosiasi.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, salah satu proposal Cairns Group dalam negosiasi ini adalah untuk mengurangi atau membatasi subsidi domestik. Kemudian, mengurangi subsidi ekspor dan mendukung perluasan akses pasar ke
negara-negara anggota WTO untuk liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Untuk mewujudkan proposal mereka itu, ternyata Cairns Group yang dipimpin oleh Australia ini telah mendesak anggota nya untuk mendukung secara penuh draft text pertanian yang sudah ada sebagai modalitas pembahasan dalam KTM 12 WTO. Tidak berhenti disitu, Cairns Group juga meminta dukungan kepada negara-negara G-10 untuk mendukung draft text tersebut.17
Perlu diketahui bahwa draft teks ministerial untuk isu pertanian mencakup pada 7 topik utama dan 1 isu lintas sektoral, yaitu: 1). dukungan dalam negeri, 2). akses pasar, 3). pembatasan ekspor, 4). persaingan ekspor, 5). kapas, 6). stok publik untuk tujuan keamanan pangan, dan 7). mekanisme perlindungan khusus; dan satu isu lintas sektoral tentang transparansi.
Dikarenakan pertentangan cukup kuat antara dua kepentingan besar (baca: negara maju dan negara berkembang-kurang berkembang) menjadi persoalan serius yang harus segera menemukan solusi terbaik. Disatu sisi, Chair menyampaikan bahwa negosiasi pertanian seharusnya segera mencapai kesepakatan (concluded). Karena ditengah pandemi covid19 penting untuk menetapkan jalan membantu kelompok rentan dan masyarakat kelaparan dari akibat krisis pandemic covid19. Disisi lain, Chair tidak mempertimbangkan Proposal G-33 dan G-90, maka tidak heran mendapat resistensi dari negara berkembang-kurang berkembang. Bila dilihat prosesnya, ini akan menjadi pertentangan kepentingan yang sulit mencapai kesepakatan.
Temuan Kritis Proses Negosiasi Pertanian WTO
Tampak jelas bahwa negara-negara maju memiliki kepentingan yang dominan dalam rangka menguasai pangsa pasar pertanian global. Hal itu terlihat jelas dalam negosiasi yang tengah berlangsung. Penolakan yang dilakukan oleh negara-negara maju terhadap posisi negara berkembang-kurang berkembang tidak berdasar pada aspek keberlanjutan sosial dan perdagangan pertanian yang adil serta berpihak pada petani. Melainkan, mereka menginginkan adanya arus bisnis dan liberalisasi pertanian yang lebih luas untuk lebih mudah menekan negara berkembang-kurang berkembang.
Karenanya, dalam konteks ini penulis hendak menyampaikan 3 poin catatan kritis, sebagai berikut :
- Soliditas Negara Berkembang Tak Boleh Ditawar
Intervensi yang kuat oleh negara maju dan berbagai instrumen-nya, sudah seharusnya membuat negara berkembang-kurang berkembang harus terus menerus melakukan lobby dan memperkuat soliditas dalam memperjuangkan hak-hak pertanian untuk membuat kebijakan pertanian domestiknya berdaulat. Dalam konteks ini, terkadang menjadi dilematis bila melihat posisi Indonesia yang termasuk dalam 19 Negara Anggota Cairns Group. Satu sisi, Indonesia ditekan untuk mendukung draft text yang akan menghilangkan kebijakan pemberian subsidi domestik.
Di sisi lain, Indonesia tergabung juga dalam negara-negara G-33 dan G-20 yang memperjuangkan kebijakan pemberian subsidi domestik melalui instrument WTO. Karenanya, posisi seperti Indonesia yang berdiri diatas dua kaki bisa menimbulkan keragu-raguan dalam memperjuangkan hak-hak pertanian di WTO. Walaupun Mission Indonesia di Jenewa selalu menyerukan dalam beberapa pertemuannya tentang pentingnya negosiasi pertanian di WTO dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan.18 Maksud saya, bila Indonesia memiliki misi yang kuat dalam mewujudkan kedaulatan pangan, seharusnya penting menjaga soliditas dan terus melakukan lobby dengan negara lain untuk bersama-sama mewujudkan itu. Sehingga, tidak ada overlapping standing position yang mengakibatkan posisinya menjadi misleading. - Chair Tidak Boleh Diskriminatif
Chair Perundingan Perdagangan Pertanian, Duta Besar Gloria Abraham Peralta, Costa Rica harus mengadopsi proposal yang diajukan oleh negara berkembang-kurang berkembang, kemudian memasukkan itu dalam draft text sebagai modalitas awal untuk dinegosiasikan pada KTM 12 WTO. Chair tidak boleh melakukan tindakan diskriminatif dengan hanya mengadopsi masukan dari negara maju dan kelompok-kelompok yang menekan kepentingan negara berkembang-kurang berkembang dalam negosiasi pertanian ini. - Ketentuan Special and Differential Treatment (SDT) Harus Tetap Eksis Bagi Negara Berkembang-Kurang Berkembang
Perlakuan Special and Differential Treatment (SDT) diatur dalam skema perdagangan internasional. Dimana aturan ini diperuntukkan bagi negara berkembang-kurang berkembang untuk mendapatkan perlakuan pengecualian dari pengenaan tindakan-tindakan pengurangan tarrif/subsidi domestik. Sebagai negara berkembang-kurang berkembang, tindakan SDT ini penting tetap eksis, untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional mereka lebih baik. Dalam konteks pertanian, negara berkembang-kurang berkembang harus diberikan hak SDT untuk tetap mendukung pertanian mereka sendiri.
****
Penulis
Rahmat Maulana Sidik1
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Lampiran Tabel 2
Istilah-Istilah Dalam Isu Pertanian
Referensi
- Penulis merupakan Koordinator Riset dan Advokasi isu Pertanian-Pangan di Indonesia for Global Justice (IGJ). Untuk mengetahui IGJ lebih lanjut dapat mengakses website berikut: https://igj.or.id/.
- Selengkapnya lihat di dokumen berikut: https://www.fao.org/3/I8600EN/i8600en.pdf
- Agenda rapat membahas isu fundamental dalam bidang pertanian terus berlanjut. Namun, belum menunjukkan adanya kesepakatan yang adil yang bisa dihasilkan. Selengkapnya mengenai catatan hasil rapat dan perkembangan negosiasinya dapat dilihat pada link: https://www.wto.org/english/tratop_e/agric_e/negoti_e.htm.
- Solusi permanen dalam negosiasi pertanian sulit mencapai kesepakatan dan terus menerus mengalami penundaan. Hal ini dikarenakan kepentingan yang begitu besar untuk meliberalisasi sektor pertanian yang memiliki potensi besar bagi perekonomian. Selengkapnya dapat dibaca melalui publikasi South Centre di link berikut: https://www.southcentre.int/wp- content/uploads/2015/03/AN_AG15_Subsidies-and-Food-Security-in-WTO_EN.pdf.
- Rika Febriani, Rachmi Hertanti, Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Indonesia (Jakarta: Indonesia for Global Justice, 2014), Hal. 11.
- Selengkapnya tentang publikasi World Bank dapat diakses di link berikut: https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/23969/9781464806834.pdf
- Laporan OECD ini mengungkapkan negara-negara yang memberikan subsidi berlebih itu sangat mendistorsi perdagangan dan menghambat inovasi. Selengkapnya tentang laporan OECD dapat diakses di link berikut: https://www.oecd.org/agriculture/news/government-policies-providing- more-than-usd-500-billion-to-farmers-every-year-distort-markets-stifle-innovation-and-harm-the- environment.htm.
- Selengkapnya dapat di lihat link berikut: https://www.wto.org/english/tratop_e/agric_e/agric_e.htm
- Selengkapnya tentang beberapa isu yang disepakati untuk dibahas berdasarkan mandate Doha Development Agenda (DDA) dapat dilihat pada link berikut: https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/mindecl_e.htm.
- M. Husein Sawit, Kiki Partini, Agus Dwi Indiarto, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. 5, Notifikasi Produk Pertanian di WTO dan De Minimis untuk Beras, (LPEM, 2003), Hal. 278.
- Selengkapnya tentang pemaparan draft teks pertanian yang menjadi modalitas teks untuk dibahas pada KTM 12 WTO di Jenewa, disampaikan oleh Duta Besar Gloria Abraham Peralta, Costa Rica dapat dilihat di link berikut ini: https://www.wto.org/english/news_e/news21_e/agng_29jul21_e.htm.
- Selengkapnya lihat dokumen WTO Nomor WT/MIN(15)/W/22 atau JOB/AG/54.
- Selengkapnya lihat Dokumen WTO Nomor TN/AG/GEN/15.
- Selengkapnya lihat dokumen WTO Nomor JOB/AG/210.
- Cairns Group adalah koalisi 19 negara pengekspor pertanian yang menyumbang lebih dari 25 persen ekspor pertanian dunia. Sejak Cairns Group didirikan di Australia pada 25-27 Agustus 1986, para anggotanya terus mendorong liberalisasi perdagangan global dalam ekspor pertanian. Dalam konteks negosiasi pertanian di WTO, kini mereka melakukan intervensi kuat untuk mendorong liberalisasi pertanian. Selengkapnya proposal mereka terhadap isu pertanian di WTO dapat diakses di link berikut: https://www.cairnsgroup.org/news/news/el-salvador-co-sponsors-framework- negotiations-domestic-support.
- Selengkapnya dapat membaca publikasi TWN berjudul Doha Agriculture chair says her draft text is not ideal solution dipublish pada 6 September 2021.
- Ibid.
- Indonesia dan G-33 serukan pentingnya kedaulatan pangan dan ketahanan pangan di WTO. Selengkapnya dapat diakses melalui link berikut: https://mission- indonesia.org/2017/05/31/indonesia-dan-g33-serukan-pentingnya-kedaulatan-dan-keamanan- pangan-di-wto/.