Pengantar
Diskursus mengenai lingkungan hidup, sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru di tubuh World Trade Organization (WTO). Sejak didirikan pada tahun 1994 di Marakesh, Maroko, WTO telah membentuk Komite Perdagangan dan Lingkungan (Committee on Trade and Environment [CTE]). CTE merupakan komisi yang terbuka untuk seluruh negara anggota WTO, dengan beberapa organisasi internasional sebagai pengamat. Mandat CTE cukup luas dan dinilai telah berkontribusi untuk mengidentifikasi dan memahami hubungan antara perdagangan dan lingkungan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan.[1]
Secara spesifik, CTE memiliki tugas sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi hubungan antara langkah-langkah perdagangan dan langkah-langkah lingkungan untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan; kedua, membuat rekomendasi yang sesuai tentang apakah modifikasi dari ketentuan sistem perdagangan multilateral diperlukan, sesuai dengan sifat sistem yang terbuka, adil dan tidak diskriminatif.[2]
Pembahasan mengenai isu perdagangan dan lingkungan hidup kembali dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-4 atau 4th Ministerial Conference WTO (MC4) yang diselenggarakan di Doha, Qatar, pada tahun 2001. Pertemuan Doha, memusatkan pada sejumlah isu utama yang dinegosiasikan, yaitu:[3] pertama, multilateral environmental agreements (MEAs). Negoasiasi ini ingin menegaskan kembali pentingnya kebijakan perdagangan dan lingkungan, serta pentingnya untuk bekerja sama demi keuntungan keduanya. Poin ini fokus pada bagaimana aturan WTO berlaku untuk anggota WTO yang merupakan pihak dalam perjanjian lingkungan; kedua, menghilangkan hambatan perdagangan pada barang dan jasa lingkungan. Negoasiasi ini bertujuan dari untuk menciptakan situasi “win win win” untuk perdagangan, lingkungan dan pembangunan. Negosiasi ini berkaitan dengan pengurangan atau penghapusan hambatan tarif dan non-tarif untuk barang dan jasa lingkungan.
Isu Perdagangan dan Lingkungan menjelang MC12
Menjelang perhelatan akbar Konferensi Tingkat Menteri Perdagangan ke-12 atau 12th Ministerial Conference (MC12), sejumlah negara yang menjadi anggota WTO telah menggelar diskusi mengenai isu perdagangan dan lingkungan hidup pada pertengahan bulan September lalu. Di antara isu yang dibahas adalah mengenai Trade and Environmental Sustainability Structured Discussions (TESSD).
TESSD merupakan sebuah dokumen yang diluncurkan pada November tahun 2020 lalu oleh 53 negara anggota WTO, diantaranya Australia, Kanada, Uni Eropa, Islandia, Jepang, Korea Selatan, Liechtenstein, Selandia Baru, Norwegia, Taiwan, Swiss, dan Inggris.[4]
TESSD adalah dokumen yang disusun untuk mendorong dialog di dalam WTO mengenai sejumlah yang menghubungkan isu kebijakan perdagangan dan lingkungan, termasuk isu ekonomi sirkular, bencana alam, perubahan iklim, bahan bakar fosil, reformasi subsidi, limbah plastik, memerangi penangkapan ikan ilegal, memastikan perdagangan satwa liar yang legal dan berkelanjutan, konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati, ekonomi biru dan pertanian berkelanjutan, serta mengenai barang dan jasa lingkungan.[5] Tujuan utamanya adalah untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan tahun pada 2030 atau yang lebih dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Melalui TESSD, 53 negara anggota WTO ingin mendorong dialog secara intens berbagai pihak, termasuk entitas bisnis, organisasi masyarakat sipil, organisasi internasional, dan lembaga akademik, dan sejumlah stakeholders relevan lainnya. Pada titik ini, TESSD mengambarkan bahwa isu perdagangan dan lingkungan hidup di WTO dibahas dengan menggunakan pendekatan multi stakeholderisme.
Poin-poin utama pertemuan TESSD
Pertemuan yang diselenggarakan pada pertengahan September lalu itu, terdiri dari beberapa sesi. Sesi pertama membahas topik mengenai pasar pangan, pertanian yang adil dan berkelanjutan, termasuk di dalamnya isu ketahanan pangan, sistem pangan berkelanjutan, perubahan iklim, serta pemulihan keanekaragaman hayati.
Sesi kedua membahas tentang persinggungan antara iklim dan kebijakan perdagangan, termasuk implikasinya bagi negara-negara berkembang. Sesi ketiga mengkaji isu-isu yang terkait dengan perdagangan barang dan jasa lingkungan, dengan fokus pada peluang dan tantangan bagi negara berkembang.
Dalam pertemuan tersebut, Selandia Baru menyampaikan proposalnya untuk MC12 mengenai pentingnya reformasi subsidi bahan bakar fosil. Australia menyampaikan proposalnya untuk menghilangkan hambatan perdagangan internasional, khususnya dalam hal barang dan jasa lingkungan. Selanjutnya, hasil-hasil pembahasan TESSD ini akan dilaporkan pada forum MC12 yang akan diselenggarakan pada 30 November sampai dengan 3 Desember 2021 mendatang.
WTO akan Bahas harga karbon global
Salah satu isu terkait dengan perdagangan dan lingkungan hidup isu harga karbon (carbon pricing) yang diusulkan oleh Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala. Pembahasan mengenai isu ini tidak ditemukan di situs resmi WTO, tetapi ditemukan di dalam artikel yang ditulis oleh Ngozi Okonjo-Iweala di website Financial Times dengan judul Adopting a Global Carbon Price is Essential.[6]
Secara umum, Okonjo-Iweala berpandangan bahwa semua negara, termasuk negara berkembang dan kurang berkembang, harus memungut harga atas emisi karbon di negara mereka. Artinya, mereka harus mengenakan pajak pada produsen mereka sesuai dengan tingkat emisi karbon dari produksi mereka. Menurutnya, solusi paling mudah adalah harga karbon global yang selaras dengan Paris Agreement. Ini akan membantu mencapai tujuan iklim kolektif kita, dan membawa stabilitas dan keadilan untuk bisnis lintas batas.
Dia membenarkan gagasan mengenakan pajak kepada produsen di negara berkembang dan kurang berkembang atas emisi CO2 mereka karena banyak negara maju menggunakan penetapan harga karbon ini.
Artikel tersebut dinilai oleh banyak pihak sejalan dengan pidato pengangkatan Okonjo-Iweala sebagai Direktur Jenderal WTO pada 15 Februari 2021 yang lalu. Dalam kesempatan tersebut, ia menyatakan salah satu poin penting sebagai berikut:
“Kami (anggota) juga harus bekerja untuk memastikan bahwa WTO mendukung ekonomi hijau dan sirkular dengan baik dan membahas secara lebih luas hubungan antara perdagangan dan perubahan iklim. Perdagangan dan perlindungan lingkungan dapat saling memperkuat, keduanya berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Penting bagi Anggota untuk mengaktifkan kembali dan memperluas negosiasi mengenai barang dan jasa lingkungan. Ini akan membantu mempromosikan kepercayaan dan mendorong Anggota untuk mengeksplorasi cara lebih lanjut di mana perdagangan dapat berkontribusi positif terhadap iklim yang lebih baik.”[7]
Artikel Okonjo-Iweala di Financial Times tersebut dinilai oleh Third World Network (TWN) tampak terburu-buru untuk mendorong kepentingan negara-negara maju.[8]
Kritik terhadap isu lingkungan hidup dan perdagangan di WTO
Pembahasan mengenai isu lingkungan hidup di WTO tak lepas dari berbagai kritik tajam sebagai berikut:
Pertama, TWN sejak lama melancarkan kritik mengenai soal ini. Bagi TWN, dengan dimasukkannya isu lingkungan dan isu iklim di WTO dengan menyebutnya ‘terkait dengan perdagangan’ berpotensi digunakan oleh entitas bisnis skala besar dan sangat kuat untuk mengurangi daya saing produk dan layanan di negara-negara berkembang, tetapi pada saat yang sama memperkuat sekaligus memperbesar ruang pasar produk dan layanan yang diproduk di oleh negara-negara maju. Dengan demikian, di balik dimasukkannya isu lingkungan di WTO, tak ada tujuan melindungi lingkungan atau masyarakat. TWN mendesak pembahasan mengenai isu lingkungan hidup dan perdagangan dibahas di Lembaga resmi PBB seperti United Nation for Environment Program (UNEP) atau The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).[9]
Kedua, TWN jugamenyebut, khusus terkait dengan dampak carbon pricing bagi negara-negara berkembang. Karena kurangnya akses ke teknologi hijau di besar negara berkembang mengakibatkan pajak lebih lanjut pada produsen akan meningkatkan biaya produksi dan membatasi kapasitas ekspor mereka. Hal ini dapat menyebabkan de-industrialisasi di negara berkembang dan akan menjadi kontra-produktif terhadap upaya transformasi struktural negara-negara berkembang dan kurang berkembang, kata orang-orang, yang meminta untuk tidak dikutip.[10]
Ketiga, sejalandengan poin pertama, laporan Our World in Data pada tahun 2017 menyebut bahwa negara-negara maju terbukti menjadi produsen emisi karbon terbesar di dunia. Diantara negara-negara itu termasuk yang menginisiasi TESSD di WTO. Uni Eropa, misalnya tercatat, telah memproduksi emisi karbon sebanyak 3,5 miliar ton atau setara dengan 9,8 persen dari total emisi global. Jepang, telah memproduksi emisi karbon sebanyak 1,2 miliar ton atau setara dengan 3,3 persen dari total emisi global. Australia, telah memproduksi emisi karbon sebanyak 414 juta atau setara dengan 1,1 persen dari total emisi global. Korea Selatan telah memproduksi emisi karbon sebanyak 616 juta ton atau setara dengan 1,7 persen dari total emisi global. Sementara itu, Kanada tercatat telah memproduksi emisi karbon sebanyak 583 juta ton atau setara dengan 1,6 persen dari total emisi global.[11] Dengan demikian, negara-negara pengusul TESSD di WTO adalah negara yang menjadi produsen emisi karbon global yang menjadi penyebab krisis iklim.
Keempat, sebagainegaramaju, Uni Eropa mendorong isu lingkungan hidup menjadi isu penting di WTO. Hal ini sejalan dengan kebijakan dagang terbarunya, yaitu EU Green Deal yang mengejar terwujudnya green economy. Melalui EU Green Deal, Uni Eropa mengarusutamakan isu perdagangan dan lingkungan bersama sejumlah negara anggota WTO. Melalui EU Green Deal, Uni Eropa akan mendorong sejumlah Langkah berikut, diantaranya:[12]
- Mengambil inisiatif dan tindakan yang mempromosikan iklim dan keberlanjutan sebagai pertimbangan di WTO;
- Mencari komitmen dari mitra G20 mengenai netralitas iklim, memperkuat kerjasama aspek lain dari kesepakatan hijau seperti keanekaragaman hayati, kebijakan pangan berkelanjutan, polusi dan ekonomi sirkular, dan mengusulkan untuk menghormati Kesepakatan Paris yang merupakan elemen penting dalam semua perjanjian di masa depan;
- Meningkatkan pelaksanaan dan penegakan pembangunan berkelanjutan yang efektif dalam bab perjanjian perdagangan melalui tinjauan awal pada tahun 2021. Hasil tinjauan akan dimasukkan ke dalam negosiasi yang sedang berlangsung saat ini dan pada masa yang akan datang;
Dengan demikian, pengarusutamaan isu lingkungan hidup serta isu iklim di WTO merupakan agenda utama negara-negara maju, khususnya Uni Eropa. Melalui EU Green Deal, Uni Eropa berambisi untuk menjadi pemimpin teknologi hijau pada yang akan datang. Hal ini tentu akan membentuk ketergantungan baru negara-negara berkembang kepada negara-negara maju, khususnya Uni Eropa dalam mewujudkan green economy.
Kelima, sebagaimanadijelaskan oleh Vicente Paolo Yu dalam bukunya Green Deals and Implication for the Global South, bahwa green deal atau kesepakatan hijau, atau pemulihan hijau, atau ekonomi hijau, merupakan pendekatan digunakan oleh negara-negara maju sebagai persyaratan baru bagi negara-negara berkembang untuk memberikan bantuan pembangunan resmi (official development aid), pemberian pinjaman pembangunan, pemberian utang, penjadwalan ulang, atau keringanan utang.[13] Pada titik inilah, isu lingkungan hidup dan juga isu iklim akan menjadi alat dominasi sekaligus hegemoni baru negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang.
Keenam, dalamkajian Indonesia for Global Justice (IGJ), perundingan isu lingkungan hidup dan perdagangan, terutama mengenai layanan barang dan jasa lingkungan (environmental and goods services) akan memiliki dampak buruk bagi masyarakat Indonesia, sebagaimana berikut:[14]
- Mendorong peningkatan komodifikasi dan privatisasi sumber daya alam. Jasa lingkungan yang selama ini diberikan secara gratis bagi kelanjutan hidup manusia seperti keanekaragaman hayati, udara bersih, air dan lainnya akan diberi label harga. Hal ini akan mendorong peningkatan konflik sumber daya.
- Indonesia memiliki hutan dan kekayaan sumber daya alam hayati yang besar akan menjadi daerah investasi bisnis lingkungan yang subur dan semakin meminggirkan masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar kawasan hutan.
- Target pemerintah Indonesia untuk memasukan kelapa sawit ke dalam kategori barang dan jasa lingkungan jika disetujui akan mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit yang justru menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan pangan selama ini
Dapat ditambahkan juga, selain memiliki kekayaan sumber daya hayati di kawasan hutan, Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya hayati di kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang sangat besar. Kawasan ini tidak terlepas dari target menjadi daerah investasi bisnis lingkungan. Dampaknya, masyarakat pesisir akan terusir dari ruang hidupnya. Dengan demikian, negosiasi layanan barang dan jasa lingkungan di WTO hanya akan menguntungkan negara-negara maju atau negara-negara industri sekaligus merugikan negara berkembang, seperti Indonesia. (*)
Parid Ridwanuddin
(Peneliti Trade and Climate, Indonesia for Global Justice)
[1] Selengkapnya silakan akses: https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/wrk_committee_e.htm
[2] Selengkapnya silakan akses: https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/cte00_e.htm
[3] Selengkapnya silakan akses: https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/envir_negotiations_e.htm
[4] Selengkapnya silakan akses: https://www.wto.org/english/news_e/news20_e/envir_17nov20_e.htm
[5] Selengkapnya silakan akses: https://www.wto.org/english/news_e/news20_e/envir_17nov20_e.htm
[6] Selanjutnya silakan akses: https://www.ft.com/content/b0bcc93c-c6d6-475e-bf32-0d10f71ef393
[7] Selanjutnya silakan akses: https://www.wto.org/english/news_e/news21_e/dgno_15feb21_e.htm
[8] Selanjutnya silakan akses: https://twn.my/title2/wto.info/2021/ti211019.htm
[9] Selanjutnya silakan akses: https://www.twn.my/title/env-ch.htm
[10] Selanjutnya silakan akses: https://twn.my/title2/wto.info/2021/ti211019.htm
[12] Selanjutnya, dapat diakses pada tautan berikut: https://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2021/february/tradoc_159438.pdf
[13] Selanjutnya silakan akses: https://twn.my/title/end/end20.htm, khususnya hlm 38, bab mengenai Green Conditinalities
[14] Selanjutnya silakan akses buku IGJ dan Gerak Lawan, WTO dan FTA: seri Buku Panduan memahami WTO dan Perjanjian Perdagangan Bebas untuk Masyarakat, hal. 18 di tautan berikut: https://igj.or.id/booklet-panduan-wto-dan-fta/