Jakarta, 9 Juni 2022-Kelompok nelayan dan masyarakat sipil meminta Pemerintah Indonesia menolak draft yang saat ini sedang dirundingkan di WTO di Jenewa pada tanggal 13 – 15 Juni 2022 tepatnya minggu depan, para Menteri perdagangan negara-negara anggota WTO akan hadir dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-12, setelah tertunda karena pandemi di tahun 2020, dan 2021.
Salah satu yang dibicarakan adalah draft perjanjian untuk menghilangkan subsidi perikanan. Draf kesepakatan yang kontraversial tersebut bertujuan untuk menghilangkan subsidi untuk sektor perikanan yang menjadi salah satu sandaran para nelayan kecil dalam mempertahankan kehidupan dan mata pencaharian.
Sekelompok organisasi masyarakat sipil dan kelompok nelayan telah melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia, dan beberapa Menteri Menteri terkait mengenai hal ini. Dalam suratnya, bisa dilihat di sini, menyampaikan beberapa keprihatinan atas perkembangan perundingan subsidi perikanan yang diyakini akan memberikan dampak besar pada kehidupan dan mata pencaharian para nelayan di seluruh Indonesia.
Dalam suratnya, disebutkan beberapa alasan yang menjadi penolakan draft perundingan tersebut: disebutkan bahwa pengecualian untuk pemotongan subsidi diberikan untuk “kegiatan perikanan dan penangkapan ikan yang berpenghasilan rendah dan miskin sumber daya”, yang sangat terbatas. Pengecualian nelayan dibatasi yang beroperasi dalam 12 Mil Laut (NTM) atau perairan teritorial, tetapi tidak berlaku jika mereka menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Nelayan kecil sering melintasi batas 12 NTM ini, bahkan terkadang tanpa diketahui. Perjanjian WTO seperti itu berarti mereka para nelayan kecil tidak bisa mendapatkan subsidi lagi.
Selain itu, di bawah pilar IUU dan penangkapan ikan berlebih, pengecualian dibatasi hingga 2 tahun dan bahkan dapat dikurangi selama negosiasi. Kami berpandangan ini benar-benar tidak adil dan tidak realistis mengingat nelayan kecil akan terus tetap rentan dan terpinggirkan bahkan setelah beberapa dekade. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan geografis seperti itu akan membuat para nelayan skala kecil dalam kesulitan besar dan oleh karena itu harus ditolak oleh pemerintah.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), mengatakan bahwa negara kita Indonesia harus memiliki fleksibilitas penuh untuk memberikan subsidi bagi nelayan dan kegiatan penangkapan ikan hingga ZEE dan zona kontinental untuk selama-lamanya. Bahkan Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengakui bahwa negara-negara memiliki hak penuh atas ZEE dan hingga 250 mil laut di zona kontinental.
Yang mengejutkan, kata Maulana, dalam draft perundingan subsidi perikanan, negara maju yang telah memberikan subsidi besar-besaran karena kemampuan keuangannya, diberi kesempatan secara legal untuk terus memberikan subsidi. Dalam draft, disebutkan persyaratan yang mudah untuk penangkapan ikan di perairan jauh dan mereka yang memiliki mekanisme pengelolaan dan pemantauan yang canggih. Negara-negara maju justru seharusnya bertanggung-jawab atas kerusakan perairan laut saat ini, tapi dalam draft ini, negara maju yang justru mendapatkan kesempatan lagi untuk terus menangkap ikan lebih banyak lagi di laut dan perairan jauh.
Tris Zamansyah – Ketua FSNN (Federasi Serikat Nelayan Nusantara), berpandangan bahwa WTO tidak boleh memaksakan aturannya pada hak kedaulatan negara kita. Pemerintah Indonesia harus menolak draf tersebut, karena ini akan melanggar hak nelayan untuk memproleh dukungan pemerintah hanya karena beroperasi lebih dari 12 mil. Bagaimana mungkin, nelayan kecil yang seringkali tidak menyadari telah beroperasi lebih dari 12 mil dihalangi haknya untuk mendapat dukungan pemerintah?
Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), menyebutkan definisi IUU yang dikemukanan oleh FAO sendiri bermasalah. Ada banyak nelayan kecil yang tidak bisa mengakses mekanisme formal pendaftaran dan formalisasi status mereka dan termasuk dalam kategori tidak dilaporkan dan tidak diatur, juga karena mekanisme pemerintah seperti itu lemah di banyak bidang. Itulah sebabnya kemampuan mereka (nelayan kecil) untuk memanfaatkan dukungan pemerintah tertentu sudah dikompromikan. Mencabut akses para nelayan kecil ke subsidi atas dasar kategorisasi yang salah seperti itu bahkan lebih tidak adil dan tidak dapat diterima.
Dani Setiawan, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa pada dasarnya Nelayan skala kecil di Indonesia beroperasi jauh lebih berkelanjutan daripada sektor perikanan negara-negara maju dan negara-negara nelayan yang beroperasi di perairan jauh. Namun, dengan draf perundingan subsidi perikanan, kami sangat khawatir bahwa Indonesia diharuskan menghapus semua subsidi yang selama ini bahkan jauh dari cukup, dan cakupannya pun masih terbatas.
Surat juga menyebutkan bahwa Perikanan merupakan sektor penting bagi mata pencaharian di Indonesia. Menurut data FAO tahun 2017, Indonesia memiliki 2,6 juta nelayan yang setara dengan 6,44% nelayan yang beroperasi secara global.
Parid Ridwanudin dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) / Friend of The Earth (FoE) Indonesia, tujuan dari perundingan pengurangan subsidi perikanan adalah mengurangi subsidi di negara maju. Karena negara-negara maju memberikan subsidi yang luar biasa besar sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Misalnya, Indonesia memberikan subsidi sekitar 92 USD per nelayan sedangkan AS memberikan subsidi sebesar 4956 USD, Jepang memberikan 8385 USD dan Kanada memberikan subsidi sebesar 31800 USD. per nelayan.
Parid melanjutkan, seharusnya, Negara-negara maju ini harus menanggung kewajiban lebih karena mereka sudah lama memberikan subsidi dan terbukti telah menyebabkan kerusakan di laut, tetapi negosiasi saat ini belum memperhitungkan hal ini.
Sementara itu, Esra Dwi Lestari dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengemukakan bahwa kami sangat khawatir nelayan Indonesia, terutama nelayan skala kecil, perempuan nelayan, akan rugi besar. Apalagi situasi sekarang ini harga bahan BBM tinggi dan mungkin akan meningkat, pengurangan dan penghentian subsidi akan menempatkan komunitas nelayan dalam situasi sangat rentan. Kami para perempuan nelayan juga tidak yakin bagaimana draf perjanjian ini akan memungkinkan fleksibilitas untuk menangani krisis semacam ini di masa depan.
Gunawan Penasehat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committe for Social Justice) menyebutkan bahwa kami juga prihatin, dalam catatan kaki draf perjanjian disebutkan larangan bagi negara yang memiliki pangsa pasar 10% atau lebih dari penangkapan laut global untuk menggunakan S&D (special and differential treatment). Karena pangsa Indonesia saat ini sudah sekitar 8,6%. Karena itu, Indonesia dapat kehilangan haknya untuk menggunakan S&D jika pangsanya meningkat sedikit saja. Bahkan itu bisa terjadi jika presentase tangkapan negara lain turun karena suatu alasan misalnya, maka hak kita hilang bahkan tanpa kita menangkap lebih banyak ikan.
Gunawan melanjutkan, aturan ini akan menempatkan nelayan Indonesia pada risiko kerugian. Ambang batas 10% ini tidak dapat diterima dan harus ditolak, serunya.
Afgan Fadilla dari Serikat Petani Indonesia, membandingkan dengan situasi perundingan di sektor pertanian. Menurutnya, dengan melihat isu subsidi pertanian, dimana negara-negara maju dengan korporasinya mendapatkan subsidi besar, berrhadapan dengan situasi pertanian dan petani negara-negara berkemabng. ini serupa, dimana hasilnya akan sangat tidak seimbang melawan nelayan skala kecil di negara-negara berkembang. Dan draf perundingan psubsidi perikanan justru akan terus mendukung negara-negara kaya dengan kapal penangkap ikan dengan teknologi modern yang bisa mengeruk sumberdaya perikanan perairan jauh lebih banyak dan massif.
Berkaitan dengan itu, Anwar Sastro Ma’ruf dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia perlu melihat bagaimana perjanjian pertanian di WTO yang terus memberikan subsidi besar-besaran, dan sampai sekarang terus berlangsung. Maka menurutnya, itulah yang sangat mungkin terjadi dalam subsidi perikanan. Dimana pelaku kerusakan sumberdaya laut dan perairan jauh adalah negara-negara maju dengan korporasi, dan kapal-kapal raksasanya. Dan sekarang ingin melemparkan tanggung-jawabnya ke nelayan kecil di negara seperrti Indonesia, negara berkemabng lainnya.
Rizky Estrada dari Perkumpulan INISIATIF mengatakan bahwa draft perjanjian penghapusan subsidi sektor perikanan yang bertujuan untuk mencapai target SDGs 14.6 semata adalah kurang tepat. Kedudukan subsidi untuk sektor perikanan perlu dilihat juga dengan target lain seperti SDGs poin 2 yang salah satunya memperbaiki dan mencegah pembatasan dan distorsi dalam pasar pertanian dunia, serta untuk menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan pertanian tangguh produksi dan produktifitas pangan. Menghilangkan subsidi sektor perikanan maupun sektor pertanian pada sistem perdangan dunia, artinya menghilangkan tanggungjawab pelaku perdagangan dunia yang mayoritas dipegang oleh perusahaan multinasional terhadap akses penghidupan nelayan dan petani yang selama ini hidup dibawah kesejahteraan, dan mengabaikan kedaulatan negara berkembang untuk memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus sendiri rakyatnya.
Rizky melanjutkan kami dari masyarakat sipil memandang hal yang terpenting yang seharusnya dipikirkan adalah terkait tata kelola subsidi tersebut agar lebih tepat manfaat dalam menjaga kelestarian lingkungan pendukung diperairan dan daratan, penegakan hukum yang tegas, dan meningkatkan kapasitas nelayan dan petani dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrim dan secara progresif memperbaiki kualitas sumberdaya kelautan, perairan, kualitas tanah dan lahan, serta akses seluas-luasnya bagi nelayan dan petani kecil untuk mengisi ruang hidupnya secara berkelalanjutan. Maka dari itu kami menyerukan kepada kelompok nelayan dan kelompok petani pangan mapun petani garam untuk lebih baik tidak ada perjanjian yang mengatur soal subsidi, daripada mengikatkan diri kepada perjanjian buruk yang hanya tunduk pada kepentingan perdagangan dan bisnis global yang tidak bertanggungjawab. No Deal is better than bad deal. Tutupnya.
Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ – +6281210025135
Dani Setiawan, Ketua Harian KNTI – +62 812-9671-744
Gunawan, Penasehat Senior IHCS – +62 813-8142-0793
Parid Ridwanuddin, Walhi – +62 812-3745-4623