Kepada Yth.
Bapak Ir. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Bapak Muhammad Lutfi
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Bapak Budi Gunadi Sadikin
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Ibu Retno L. Marsudi
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Bapak Dandy Satria Iswara
Duta Besar Indonesia untuk WTO di Jenewa
Dengan Hormat,
Kami menulis kepada Bapak/Ibu sekalian sehubungan dengan WT/MIN(22)/W/15 yang berisi Draf atau Rancangan Keputusan Menteri tentang Perjanjian TRIPs. Draf keputusan ini sangat berbeda dan jauh dari proposal TRIPS Waiver asli yang diusulkan oleh Afrika Selatan dan India pada Oktober 2020, dan versi revisi pada Mei 2021 (IP/C/W669/Rev.1). Indonesia adalah co-sponsor dari proposal ini.
Proposal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa perlu adanya diversifikasi produksi dan pasokan alat kesehatan. Meskipun itu penting untuk memfasilitasi dan mempertahankan pemulihan sosial-ekonomi dan menghilangkan perkembangan infeksi parah atau kematian. Namun setelah lebih dari 2 tahun COVID-19 terdapat kesenjangan besar dalam akses ke vaksin, diagnostik, dan terapi.
Kami mengakui dan menghargai peran yang dimainkan pemerintah Indonesia dalam negosiasi berbasis teks sejauh ini, dalam upaya memperbaiki teks yang sedang dinegosiasikan. Kami mencatat beberapa perbaikan dalam Rancangan Keputusan Menteri dari teks yang diajukan oleh Dirjen WTO dalam IP/C/W/688. Namun masih ada beberapa kekurangan utama dalam Rancangan Keputusan Menteri yang harus diperbaiki serta teks dalam kurung yang perlu diselesaikan.
Dalam surat ini, kami menyoroti beberapa poin penting:
- Setiap istilah yang secara langsung atau tidak langsung memaksakan “necessity test – (uji kebutuhan)” harus dihapus dari draf teks. Istilah-istilah seperti “to the extent necessary (sejauh diperlukan)” dan “necessary (diperlukan)”, dapat ditemukan di paragraf 1 dan catatan kaki 2 dari draf teks keputusan. Penggunaan istilah-istilah ini dalam konteks lisensi wajib berdasarkan Pasal 31 dalam TRIPS adalah TRIPS-plus dan menjadi preseden bermasalah yang akan menghambat penggunaan lisensi wajib di Indonesia di masa depan.
- Pilihan untuk kriteria kelayakan yang terdapat dalam catatan kaki 1 tidak dapat diterima. Kriteria 10% bersifat sewenang-wenang dan menjadi preseden berbahaya bagi area negosiasi lain di WTO. Opsi yang mendorong negara-negara berkembang dengan kapasitas untuk tidak menggunakan keputusan (TRIPS waiver) tersebut adalah tidak logis. Tujuan dari Keputusan ini adalah untuk memproduksi dan memasok vaksin, tetapi draf keputusan malah mendorong negara-negara berkembang dengan kapasitas tersebut untuk memilih tidak menggunakan. Bahasa seperti itu hanya akan meningkatkan tekanan pada Indonesia yang memiliki kapasitas produksi untuk tidak menggunakan fleksibilitas TRIPS seperti lisensi wajib.
Kami mendorong Anda untuk mengusulkan teks alternatif yang memungkinkan semua Anggota WTO untuk menggunakan Keputusan waiver, dengan memberikan pilihan kepada setiap anggota WTO untuk menggunakan atau tidak menggunakan tidak menggunakan Keputusan tersebut.
- Definisi “subyek paten” haruslah non-exhaustive sehingga mencakup semua alat yang diperlukan untuk pembuatan vaksin.
- Setiap pemberitahuan (notifikasi) yang disyaratkan dalam paragraf 5 harus dibatasi, dibuat atas pertimbangan Anggota menggunakan Keputusan dan hanya setelah suplai dilakukan.
- Paragraf 6 draf Keputusan Menteri tentang jangka waktu memuat teks tanda kurung yang dapat mengakhiri penggunaan lisensi wajib pada saat Keputusan (waiver) berakhir. Ini adalah TRIPS-plus. Indonesia telah memberikan lisensi wajib selama masa paten dan lisensi wajib tersebut tidak boleh berakhir karena masa keputusan waiver berakhir. Draf teks Keputusan hanya berisi pengesampingan Pasal 31(f) dan pengesampingan ini yang mungkin dibatasi waktu.
- Durasi pengabaian TRIPS atau waiver juga harus antara 5 dan 10 tahun. Durasi apa pun yang kurang dari 5 tahun tidak dapat diterima.
- Indonesia harus menyerukan ruang lingkup draf Keputusan Menteri untuk diperluas ke terapeutik. Ini berarti mengubah seluruh teks untuk memasukkan terapi. Paragraf 8 menunda keputusan terapi hingga 6 bulan yang menurut kami tidak dapat diterima.
Jika draf Keputusan Menteri ini akan diadopsi, perubahan tersebut di atas sangat penting.
Namun kami menekankan bahwa draf Keputusan Menteri tersebut sangat kurang dari apa yang dibutuhkan untuk produksi dan pasokan alat-alat yang dibutuhkan selama keadaan darurat kesehatan masyarakat seperti COVID-19, karena itu Indonesia juga harus mempertimbangkan untuk menolak draf Keputusan Menteri tersebut dan sebagai gantinya menyerukan penyelesaian yang komprehensif. pengabaian sebagaimana awalnya diusulkan dalam IP/C/W/669/Rev.1.
Demikian pandangan kami. Kami berharap Bapak/Ibu bisa mempertimbangkan pandangan kami sebagai upaya untuk menyelamatkan banyak pasien dan membantu memulihkan ekonomi. Terima kasih atas perhatiannya.
Turut bertanda tangan dalam surat ini:
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Indonesia Aids Coalition (IAC)
- Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Kontak:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +6281210025135
Gunawan, Penasehat Senior IHCS, +62 813-8142-0793
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, +62 811-9939-399