Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik mengatakan hak dan kedaulatan nelayan kecil dan tradisional harus dijaga dari ancaman korporasi besar.
“Pemeran utama yang harus dijaga hak dan kedaulatannya adalah nelayan kecil dan nelayan tradisional,” kata Maulana dalam konferensi pers di platform Zoom Meeting yang dipantau dari Jakarta, Kamis.
Saat ini Konferensi Kelautan Dunia PBB yang dihadiri oleh para peneliti dan pejabat senior dari 100 lebih negara sedang berlangsung di Lisbon, Portugal sejak 27 Juni 2022.
IGJ menilai pembahasan dalam pertemuan Konferensi Kelautan Dunia PBB tersebut semakin memperkuat kontrol korporasi pada penguasaan sumber daya laut global dan nasional.
Menurut dia, hal ini sejalan dengan kegagalan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam menghasilkan keputusan tentang penghapusan subsidi perikanan, khususnya yang diberikan oleh negara-negara industri maju pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-13 di Jenewa pada 13-17 Juni lalu.
Sementara itu, peneliti senior dari Transnational Institute Carsten Pedersen mengatakan ruang kemudi politik ekonomi kelautan global saat ini dikendalikan kuat oleh 100 perusahaan transnasional (TNCs) yang menyumbang 60 persen dari modal yang terakumulasi dalam ekonomi laut.
Sebanyak 86 persennya di antaranya berasal dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai serta industri perkapalan. “Kooptasi kuat perusahaan multinasional dalam pengambilan keputusan dalam sistem PBB memperparah praktek perampasan laut,” kata Carsten.
Carsten menuturkan bahwa perusahaan multinasional banyak berbicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru dan bahkan membentuk Blue Action Fund sebesar 1 miliar dolar AS, yang sebenarnya hanya akan menjadi Blue-Washing.
Menurut dia, kondisi itu semakin melegitimasi lepasnya tanggung jawab korporasi terhadap hak-hak masyarakat korban yang terlanggar dan kerusakan lingkungan serta kepunahan ekosistem laut.
Sumber : Antaranews.com