Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2022: Jakarta, 27 September 2022
TEGAKKAN KONSTITUSIONALISME AGRARIA UNTUK KEDAULATAN DAN KESELAMATAN RAKYAT, HENTIKAN PERAMPASAN TANAH, JALANKAN REFORMA AGRARIA SEJATI!
Pada 24 September 2022, Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, masyarakat miskin di pedesaan-perkotaan dan rakyat Indonesia di berbagai tempat memperingati Hari Tani Nasional (HTN).
Hari ini (27/09), kami sekitar 6.000 petani dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Lampung serta elemen gerakan rakyat kembali turun ke jalan untuk mengingatkan kepada Penyelenggara Negara bahwa sejak Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disahkan, kekuasaan demi kekuasaan dari Orde Baru hingga Reformasi sekarang telah mengingkari konstitusionalitas rakyat atas sumber-sumber agraria (SSA).
Patut diingat, pembebasan dari segala bentuk penjajahan manusia atas manusia merupakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu, UUD 1945 menjamin hak-hak konstitusional rakyat Indonesia atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir kelompok. Cita-cita kemerdekaan Indonesia atas SSA tersebut diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, kemudian diterjemahkan lebih lanjut dalam UUPA oleh para pemikir bangsa.
Kelahiran UUPA mengakhiri hukum agraria kolonial yakni Agrarische Wet 1870. UUPA memerintahkan penyelenggara negara untuk merombak struktur agrarian warisan kolonial yang berisi ketimpangan dan kemiskinan rakyat.Terbitnya UUPA juga menujukkan ditutupnya kemegahan asing di Indonesia agar tidak lagi memonopoli tanah dan mengeruk kekayaan alam nasional. Sebab bangsa-bangsa Indonesia menghendaki penghapusan sisa-sisa praktik kolonialisme dan feodalisme ratusan tahun silam lamanya.
Sebagaimana dituangkan dalam UUPA, cita-cita kemerdekaan agraria tercermin pada prinsip: penghapusan klaim bahwa tanah rakyat dan masyarakat adat yang belum diakui sebagai tanah hak adalah milik negara (domein verklaring); prioritas tanah bagi petani, buruh tani dan penggarap (the tillers); larangan monopoli kepemilikan tanah oleh segelintir kelompok swasta; dan SSA dikelola dalam usaha bersama yang bersifat gotong-royong dalam wujud koperasi.
Sayangnya kita mengetahui bahwa cita-cita konstitusionalisme agraria tersebut telah dikhianati ketika Orde Baru berkuasa. Ternyata, watak kolonialisme agraria justru dihidupkan kembali sejak Orde Baru hingga di Reformasi saat ini.
Pasca reformasi, atas desakan gelombang petani dan gerakan masyarakat sipil lahirlah Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA), yang kembali menegaskan mandat UUPA. Para penyelenggara Negara diwajibkan menuntaskan berbagai persoalan agraria di Indonesia. Presiden dan DPR ditugaskan untuk melaksanakan Reforma Agraria secara penuh dan konsekuen, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan Konstitusi kita. Sesungguhnya MPR memiliki tanggung jawab konstitusional untuk meminta Pertanggungjawaban Presiden RI atas kinerja pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia, sebab reforma agraria bukan program biasa melainkan agenda politik bangsa.
Meski demikian, setelah usia kemerdekaan menginjak usia ke 77 tahun, dan UUPA telah menginjak usia 62 tahun sejak diundangkan. Namun, cita-cita kemerdekaan bangsa berbasis agraria tidak dijalankan sebagaimana mestinya, bahkan diselewengkan oleh kekuasaan. Pengingkaran tersebut telah menghasilkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria, kemiskinan struktural dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Saat ini, ketimpangan penguasaan agraria menunjukkan satu persen (1%) golongan pengusaha menguasai 68% tanah/asset tanah, di mana puluhan juta hektar tanah yang dikuasai segelintir elit tersebut berupa konsesi perkebunan sawit, tambang dan bisnis kehutanan kehutanan yang bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan. Sementara ada sekitar 16 juta rumah tangga petani berada dalam situasi gurem dan landless (tak bertanah).
Sama halnya di wilayah perkotaan, cadangan aset tanah dan penguasaan tanah oleh pemodal melahirkan ketimpangan agraria dan kemiskinan struktural yang akut. Masyarakat miskin perkotaan hanya dapat hidup di ruang-ruang sisa dan tidak layak huni seperti tepi sungai, kolong jembatan dll., atau menjadi korban penggusuran. Tumpang-tindih dan akumulasi asset kekayaan para pemodal bersama elit politik berdiri di atas perampasan tanah-tanah rakyat dan penghancuran lingkungan.
Sebagai akibatnya, konflik agraria semakin menggurita di seluruh pelosok negeri. Dalam kurun waktu 17 tahun terakhir, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria struktural mencapai
4.009 konflik seluas 11,4 juta hektar, dan berdampak pada 2,4 juta orang (KPA, 2022). Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperlihatkan bahwa Wilayah Adat seluas 3,1 juta hektar dirampas oleh Pemerintah dan Perusahaan melalui bermacam perizinan, baik izin HTI, HA, Tambang dan Perkebunan (AMAN, 2021)
Padahal, penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural ini merupakan salah satu tahapan penting Reforma Agraria. Akibat dari pendekatan penyelesaian konflik agraria yang represif melibatkan apparat di lapangan, maka kekerasan agraria kerap terjadi. Sedikitnya 2.964 petani, masyarakat adat dan aktivis agraria dikriminalisasi karena mempertahankan konstitusionalitasnya atas tanah. Tingginya konflik agraria dan kekerasan yang mengikutinya menandakan bahwa kementerian/lembaga (Presidem Bersama kabinetnya) ibarat mesin mogok dalam menuntaskan masalah konflik agraria dan wilayah adat hingga ke akarnya.
Korupsi agraria juga semakin menjamur di Indonesia. Pemerintah membiarkan adanya tumpang tindih perkebunan, klaim kawasan hutan dan bisnis tambang dalam satu lokasi, termasuk indikasi kuat terjadinya korupsi agraria di bisnis perkebunan dan tukar-guling kawasan hutan. Menurut data Kementerian Pertanian, luas perkebunan sawit mencapai 16,38 juta hektar (Kementan, 2022). Anehnya, luas HGU perkebunan di Indonesia yang diakui pemerintah hanya 10,1 juta hektar (BPN, 2021). Dengan begitu ada 6,28 juta hektar sawit terindikasi kuat beroperasi secara illegal (tanpa HGU). Padahal sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Perkebunan yang mewajibkan perusahaan perkebunan sawit harus mengantongi HGU. Perusahaan perkebunan yang beroperasi hanya dengan ijin lokasi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Sementara itu, di kehutanan, terdapat 3,37 juta hektar sawit ilegal dalam kawasan hutan (LHK, 2022). Dari kedua contoh di atas, pertalian antara bisnis sawit di sektor perkebunan dan kehutanan saja mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi agraria triliunan rupiah dari 9,65 juta hektar tanah-tanah ilegal para pengusaha selama ini.
Ada pula gap data yang sangat jauh antara yang diakui pemerintah dengan fakta lapangan. Sebab, data Sawit Watch menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit sesungguhnya sudah mencapai 22,3 juta hektar (SW, 2020). Bisa dibayangkan gurita lebih besar korupsi dan kolusi agrarian dalam bisnis sawit.
Tidaklah mengherankan selama pemerintahan Joko Widodo, konflik agraria akibat bisnis perkebunan utamanya sawit selalu menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia. Data KPA 2015-2021 menunjukkan ada 924 kejadian konflik agraria akibat bisnis perkebun, menempatkannya di urutan pertama sebagai sektor penyumbang konflik tertinggi. Sebab bisnisnya berjalan dengan cara-cara merampas tanah masyarakat, sarat cara-cara koruptif dan kolutif dalam pemberian izin dan HGUnya.
Bentuk inkonstitusional terbaru adalah lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dan 20 lebih PP turunannya terkait agraria-SDA. Pembangunan infrastruktur, kawasan ekonomi khusus atau kawasan wisata baru, kawasan food estate, kawasan industri perikanan, dan kawasan pertambangan adalah bentuk-bentuk reorganisasi tersebut, yang semakin memosisikan Indonesia dalam posisi sebagai penyedia bahan-baku, tenaga kerja murah, pemakai sumber energi kotor, dan pasar bagi industri manufaktur global.
Akhirnya, Indonesia bukan hanya menjadi pasar global bagi barang manufaktur industri, namun juga pasar bagi hasil pertanian negara lain.
Upaya mengeksploitasi dan memonopoli tanah oleh elit bisnis dan politik semakin mudah dan brutal akibat disahkannya UUCK. Melalui alasan investasi, kepentingan umum dan penyerapan tenaga kerja, kini berserakan lembaga yang dibentuk Pemerintah. Sebut saja Bank Tanah, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Lembaga Pengelola Investasi dll. Selain lembaga-lembaga ini, Pemerintah juga menerbitkan kebijakan yang memanjakan pengusaha seperti PSN, Food Estate, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), Forest Amnesty/Pengampunan Deforestasi dan Perhutanan Sosial.
Model ekonomi-politik agraria yang liberal dan kapitalistik ini dijalankan demi mereorganisasi ruang- ruang untuk akumulasi kapital baru. Khususnya Bank Tanah dan Lembaga Pengelola Investasi, kini lembaga inkonstitusional telah berjalan, ratusan ribu hektar tanah rakyat diklaim sepihak untuk diberikan pada tuan-tuan tanah baru investasi dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Bank Tanah adalah operator bisnis para pengusaha kakap yang membutuhkan tanah, juga tidak lebih buruk dari kolonial karena menghidupkan domein verklaring dan praktik tanah partikelir di era modern ini.
Perampasan tanah akibat PSN tahun 2021 mencapai 40 konflik seluas 11.466,923 ha atau 49,8% dari total luasan kebutuhan tanah untuk PSN. Tingginya konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur PSN bertalian erat dengan target percepatan eksekusi proyek yang ditopang kuat oleh berbagai regulasi penjaminnya. Perampaasana tanah atas ama PSN sama sekali tidak memiliki filosofi kepentingan umum yang seharusnya yakni: (1) Memenuhi kebutuhan rakyat; (2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Bersifat pelayanan publik; dan (4) Tidak bertujuan mencari laba. Jika tidak memenuhi unsur di atas, tidak layak jika kepentingan bisnis para elit politik, pejabat pemerintahan dan pengusaha dilabeli sebagai kepentingan umum/PSN.
Kawasan Pangan Berbasis Korporasi (Food Estate) seluas 3,99 juta hektar yang berbasis korporasi adalah pengingkaran Reforma Agraria yang berbasiskan petani. Bahkan, dalam Food Estate tidak ada satu pun rantai produksi dalam Food Estate yang dikontrol oleh petani. Sebab tanah, bibit, pupuk, harga dan pasar seluruhnya dikuasai perusahaan. Petani yang dijadikan buruh tani akibat tanahnya dirampas Food Estate, dipaksa menanam komoditas ekspor tanpa menikmati keuntungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Food Estate adalah sistem tanam paksa baru.
Hilangnya kedaulatan pangan dan sistem pertanian alami. Perampasan tanah kini bahkan telah menghasilkan krisis pangan. Ironisnya, persoalan krisis pangan ini dijawab oleh Pemerintah dengan membuka seluas-luasnya importasi pangan. Jika diakumulasikan untuk komoditas kentang, kedelai, gula, jagung, garam dan beras saja totalnya mencapai 4,4 juta ton (BPS, 2022). Tidaklah mengherankan dengan menganut sistem ketahanan pangan liberal yang berkiblat pada WTO telah menyebabkan sistem pangan kita kian tergantung pangan impor. Inilah ironisme wajah negara agraris yang sumber-sumber agrarianya begitu luas dan kaya, tetapi sangat rentan mengalami krisis pangan, sebab tidak mampu berdaulat secara pangan. Usaha pangan yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan petani justru menjadi sumber kemakmuran korporasi pangan. Transfer teknologi pertanian dan pengolahan pangan termutakhir bukan jatuh ke tangan-tangan petani dan serikat taninya, melainkan dikuasasi perusahaan-perusahaan agribisnis, pangan, pupuk dan benih.
Di bidang kehutanan, tak hanya gagal melaksanakan Reforma Agraria dalam target 9 (sembilan) juta hektar, Menteri LHK makin memperburuk konflik agraria dengan menetapkan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) seluas 1,1 juta hektar. Keputusan ini tidak lebih dari alat pembenaran kacau dan korupnya pengaturan hutan di Pulau Jawa selama ini. Wilayah-wilayah yang tidak pernah dikukuhkan secara partisipatif sejak masa penjajahan hingga Orde Baru, oleh Menteri LHK ditetapkan sebagai hutan negara yang dapat diberikan kepada pengusaha tambang, hutan dan perkebunan.
Kebijakan KHDPK yang hanya memberikan tawaran perhutanan sosial ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah bagi 25.863 desa (LHK, 2019) yang puluhan tahun diklaim terus-menerus sebagai kawasan hutan. Puluhan ribu desa tersebut telah dimiskinkan tanpa akses pembangunan yang layak dari pemerintah, karena secara sepihak dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Kebijakan ini juga mengingkari
problem ketimpangan dan konflik agraria struktural rakyat, petani dan masyarakat adat dengan PERHUTANI/INHUTANI dan Perusahaan HTI.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan 33,4 juta hektar dari ragam perizinan hutan (WALHI, 2022) selalu diabaikan Pemerintah. Bencana alam selama ini bahkan bukan akibat anomali cuaca semata, melainkan buah kelalaian Pemerintah membiarkan perusahaan menghancurkan hutan dan pesisir. Pemerintah hanya melihat angka pemasukan ke negara, namun buta atas kerugian yang lebih besar dari sekedar uang akibat rusaknya hutan di Indonesia.
Belum selesai dengan kerusakan lingkungan akibat pembiaran perusakan hutan oleh perusahaan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan Forest Amnesty atau Pengampunan Pengrusakan Hutan. Kebijakan yang dijalankan Menteri LHK tidak lebih dari fasilitas bagi pengusaha yang sudah merambah hutan, merampas tanah dan merusak lingkungan hidup dengan alasan keterlanjuran. Sedikitnya 89 perusahaan telah diampuni oleh LHK, bagaimana mungkin keterlanjuran dan korupsi agraria yang dilakukan Pemerintah dan Perusahaan akan diampuni? Praktik forest amnesty akan semakin meminggirkan masyarakat adat dan petani yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Masyarakat adat dan petani sengaja dihadapkan dengan konsesi-konsesi yang “terlanjur” ada di atas tanah produksi rakyat dan wilayah adat.
Krisis agraria di atas akan semakin buruk ketika Pemerintah kembali mendorong RUU Pertanahan dalam Prolegnas tahun 2023. Penolakan Gerakan Reforma Agraria pada tahun 2019 lalu bukan tanpa alasan, sebab RUU Pertanahan ini diorientasikan untuk mendorong liberalisasi pertanahan, yang akan memperparah ketimpangan, konflik agraria struktural, kerusakan ekologis, alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian dan pasar tanah liberal.
Sedangkan RUU Sistem Penyelesaian Konflik Agraria yang juga akan didorong orientasinya bersifat legal-formal dalam melihat konflik agraria struktural. Apa relevansi dan urgensinya, RUU Pertanahan jika Sebagian besar substansi RUU sudah sukses diangkut ke dalam UUCK? Tersisa Bab Reforma Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria dan Wilayah Adat serta Pendaftaran Tanah. RUU Reforma Agraria untuk menghadapi UUCK menjadi keharusan untuk memulihkan situasi darurat agraria sekaligus mengembalikan cita-cita konstitusionalisme agraria.
Selanjutnya, di tengah keterpurukan petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan tradisional dan masyarakat miskin akibat reforma agrarian tak dijalankan, dengan alasan beban APBN yang semakin tinggi pemerintah memutuskan mencabut sebagian subsidi BBM bagi rakyat. Kebijakan semacam ini berdampak luas pada biaya produksi, distribusi dan konsumsi petani, nelayan, buruh, petambak dan masyarakat miskin baik di desa dan di kota. Padahal di waktu yang bersamaan Pemerintah telah memberikan subsidi/insentif sebesar Rp110,03 triliun kepada pengusaha sawit/biodiesel (BPDPKS, 2015-2021). Dengan kata lain pula, pungutan pajak ekspor sawit selama ini sama sekali tidak masuk ke kas negara, melainkan diberikan kembali kepada tuan-tuan tanah pemilik konsesi perkebunan.
Artinya pencabutan subsidi BBM untuk rakyat menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mencari solusi baru yang “lebih kreatif” termasuk realokasi pembiayaan yang sebenarnya tidak perlu/belum prioritas. Pemerintah justru memilih memutus hak rakyat untuk hidup layak di tengah gelontoran dukungan dana bagi investor kakap terus mengalir. Misalnya, ketidakberanian menghentikan proyek-proyek megah infrastruktur (PSN, KEK, dsb.) yang telah menguras dana negara dan menyebabkan hutang lebih besar. Padahal proyek-proyek itu juga telah/akan merampas tanah rakyat serta menggusur kampung.
Demikian, kita telah menyaksikan bahwa gurita kapitalisme telah melahirkan monopoli sumber sumber agraria, kekayaan, teknologi dan pengetahuan terhadap kehidupan rakyat dan alam, sekaligus telah mencerabut kemandirian dan kedaulatan bangsa untuk menentukan model pembangunan dan nasibnya sendiri. Situasi ini menempatkan petani, buruh, nelayan, masyarakat adat hidup dalam situasi yang lebih buruk. Di dalamnya, kaum perempuan dan anak pun semakin menderita karena ketidakadilan yang semakin berlapis.
Di tengah penghianatan demi penghianatan berbasis agraria terhadap Konstitusi, kami menilai bahwa pemerintah tidak kunjung memiliki agenda utama untuk mengatasi ketimpangan sumber-sumber agraria dan memulihkan hak-hak rakyat secara penuh akibat perampasan tanah yang terjadi. Sebab klaim
pemerintah menjalankan agenda reforma agraria masih bertumpu pada sertifikasi tanah. Sementara operasi koreksi atas ketimpangan tanah dan penyelesaian konflik agraria tidak dilakukan karena bukan menu utama dari praktik yang ada.
Secara kelembagaan tidak ada kepemimpinan dari Presiden sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan untuk memimpin pelasanaan reforma agraria secara langsung. Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dipimpin Menko Perekonomian dan Menteri ATR/BPN selama ini kami nilai gagal mencapai tujuan-tujuan pelaksanaan reforma agraria sesuai Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Sampai sekarang, GTRA tidak kunjung mengeluarkan SK-SK hasil penyelesaian konflik maupun penetapan redistribusi TORA untuk rakyat. Indikator kinerja GTRA secara nasional didasarkan hanya pada seberapa banyak pembentukan GTRA telah terjadi di provinsi dan kabupaten, berapa kali rapat koordinasi, dan jumlah bidang sertipikat. Dalam ragam kasus, pola kerja GTRA dan K/L yang mengabaikan/memotong peran strategis Gerakan Reforma Agraria justru membuka pintu masuknya para penumpang gelap reforma agraria (: elit politik, pejabat lokal, tuan tanah, calo hingga mafia tanah).
Kantor Staf Presiden (KSP) yang diberikan mandat politik oleh Presiden RI pada tahun 2019 dan 2020 untuk mengatasi kebuntuan terobosan penyelesaian dan koordinasi antar K/L dengan gerakan rakyat justru banyak bertindak kontraproduktif di lapangan.
Di bawah jurisdiksi Kementerian LHK tidak kalah buruknya. Kami menilai KLHK telah gagal menjalankan reforma agraria dalam target 4,1 juta hektar. Dalam kurun 8 (delapan) tahun terakhir kemunduran lah yang banyak terjadi. Menteri LHK dan jajarannya anti-dialog terhadap Gerakan RA. Petani dan masyarakat adat masih banyak yang dipaksa dan diarahkan untuk menerima Perhutanan Sosial (PS) dan dipaksa mengakui klaim kawasan hutan negara.
Cara kerja Kementerian ATR, KLHK, KSP dan GTRA lagi-lagi menerapkan sistem tebang pilih kasus dengan menghindari konflik agraria yang dianggap berat. Menteri BUMN seperti tak tersentuh untuk ikut bertanggungjawab, padahal ribuan konflik agraria kronis dengan PTPN terjadi dimana-mana. Akibatnya kasus-kasus konflik agraria rakyat dengan PTPN, Perhutani, klaim hutan lindung dan konservasi minim bahkan nihil penyelesaian.
Pengabaian terhadap Reforma Agraria telah membawa dampak pada kegagalan negara Indonesia keluar dari krisis ekonomi, politik, pangan, air, lingkungan hidup dan konflik agraria. Seharusnya kehidupan manusia beserta bumi, tanah, air dan kekayaan alam lainnya berada dalam tatanan agraria yang adil dan beradab.
Berdasarkan situasi darurat agrarian yang berlangsung, pada peringatan Hari Tani Nasional 2022 ini, segenap elemen Gerakan Reforma Agraria yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mendesak MPR RI dan Penyelenggara Negara lain:
- Mengembalikan konstitusionalisme agraria dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan merombak orientasi kebijakan agraria yang liberal dan kapitalistik menjadi politik agraria kerakyatan sehingga keadilan dan kedaulatan Kembali berpusat pada rakyat;
- MPR RI sesuai mandat TAP MPR IX/2001 sesegera mungkin membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria (DPRA) yang bertanggungjawab memastikan:
- Pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan Reforma Agraria termasuk penyelesaian konflik agraria, dan laporan pemerintah atas usaha-usaha merestrukturisasi ketimpangan penguasaan tanah yang memiskinkan rakyat, termasuk audit penerbitan konsesi dan ijin;
- Lembaga Negara, Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif mengkonsolidasikan pelaksanaan reforma agraria secara nasional dan sistematis;
- Mempersiapkan dan mendorong RUU Reforma Agraria yang sejalan dengan cita-cita kontitusionalisme agraria;
- DPR dan Presiden RI mencabut UU Cipta Kerja yang liberal dan kapitalistik beserta produk-produk hukum turunannya sekaligus membatalkan Bank Tanah dan badan baru lainnya;
- Presiden meluruskan pelaksanaan Reforma Agraria agar sejalan UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001 dengan: Merevisi Perpres Reforma Agraria sesuai tuntutan Gerakan Reforma Agraria; Membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) yang langsung dipimpin Presiden dengan pelibatan organisasi rakyat yang kredibel dalam perjuangan reforma agraria. Tiga pekerjaan utama badan adalah penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah dan pengembangan ekonomi di lokasi pelaksanaan reforma agraria (land reform yang disempurnakan);
- Presiden segera mengeksekusi usulan-usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari organisasi rakyat untuk menuntaskan masalah agraria struktural eks HGU PTPN/swasta, HGU/HGB terlantar/bermasalah, Perhutani/Inhutani, HTI, desa transmigrasi dan PSN;
- Menghentikan model pembangunan dan perjanjian internasional yang liberal yang berjalan dengan cara-cara menggusur hak-hak rakyat, melakukan kejahatan lingkungan hidup, dan model pertanian pangan yang mengamputasi posisi petani, nelayan, petambak, peternak dan masyarakat adat sebagai produsen pangan utama;
- Memerintahkan Kapolri menghentikan penangkapan, intimidasi, dan kekerasan terhadap petani, masyarakat adat, buruh, nelayan dan aktivis yang membela hak atas tanah, sekaligus menghormati kebebasan petani untuk berserikat yang telah dijamin Konstitusi dan Undang-Undang;
- Presiden membatalkan pencabutan subsidi BBM bagi petani kecil, buruh, nelayan tradisional, nelayan kecil, mahasiswa, rakyat miskin dan seluruh komunitas rentan baik di desa dan kota;
- Menyerukan kepada organisasi rakyat dan seluruh elemen gerakan sosial untuk memperkuat dan memperluas praktek-praktek reforma agraria atas inisiatif rakyat sebagai benteng pertahanan dari ancaman perampasan tanah dan penggusuran rakyat.
Demikian kami sampaikan Pernyataan Sikap HTN 2022. Selamat Hari Tani untuk seluruh kaum tani di Indonesia! Jayalah petani, masyarakat adat, nelayan, buruh, perempuan dan pemuda sekalian.
Reforma Agraria Sejati Yang Rakyat Mau!
Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Juru Bicara:
- Dewi Kartika-KPA (081394475484)
- Agustiana-SPP (0812 9886 2949)
- Abdul Rojak-STI (0878 2850 4429)
- Nining Elitos-KASBI (0813 1733 1801)
- Wahyu Perdana-WALHI (0821 1239 5919)
- Benny Agung-KPR (0896 0381 9952)
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Serikat Petani Pasundan (SPP)
- Serikat Tani Indramayu (STI)
- Serikat Petani Majalengka (SPM)
- Pergerakan Petani Banten (P2B)
- Forum Masyarakat Register (FORMASTER) Lampung
- Serikat Tani Mandiri (SeTaM) Cilacap
- Forum Paguyuban Petani Batang (FPPB)
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
- Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
- LOKATARU Foundation
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- BINA DESA
- LBH SPP Garut
- LBH SPP Ciamis
- Solidaritas Perempuan (SP)
- Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
- Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
- Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
- Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk-Indonesia)
- Sajogyo Institute (SAINS)
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
- Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Serikat Tani Independen (SEKTI)
- Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
- Serikat Tani Tebo (STT) Jambi
- Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
- Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
- Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS)
- Serikat Tani Bengkulu (STaB)
- Forum Petani Merdeka (FPM)
- Serikat Tani Batanghari (STB) Jambi
- Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK)
- Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara)
- Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS)
- Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
- Serikat Rakyat Kediri Berdaulat (SRKB)
- Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
- Rukun Tani Indonesia (RTI)
- Serikat Tani Kerja Gerak Bersama (STKGB)
- Serikat Petani Minahasa (SPM)
- Serikat Petani Minahasa Tenggara (SPMT)
- Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS)
- Serikat Tani Likudengen
- Serikat Perjuangan Tani Nelayan Tolitoli (SPTNT)
- Forum Petani Cengkeh Toli-toli (FPCT)
- Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
- Serikat Tani Sigi (STS)
- Serikat Tani Mekongga Timur
- Serikat Tani Mekongga
- Serikat Petani Tambak (SPT) Gorontalo
- Serikat Tani Buleleng (STB)
- Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB)
- Serikat Rakyat Binjai-Langkat
- Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI)
- Serikat Petani Badega (SPB)
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Paguyuban Petani Cianjur (PPC)
- Serikat Petani Sriwijaya Kab. Muba
- Serikat Petani Sriwijaya Kab. Ogan Komering Ilir
- Serikat Petani Sriwijaya Kab. Banyuasin
- CU Gerakan Pawartaku, Blitar
- Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR)
- Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci)
- Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
- Seikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
- Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN AMPERA)
- Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK)
- Lidah Tani
- Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA)
- PP Serikat Tani Merdeka (PP SeTaM)
- Paguyuban Bumi Madhani Merbabu (PBMM)
- PP Serang Jaya
- Jaringan Kerja Tani (Jaka Tani)
- Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
- Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR) Indonesia
- Tim Penyelamat Pembangunan Tanah Adat Luat Huristak (TPPT-LH)
- Serikat Nelayan Merdeka (SNM)
- Forum Masyarakat Labuhanbatu (Formal)
- Persatuan Petani Jambi (PPJ)
- Serikat Nelayan Bengkulu (SNeB)
- Gerakan Rakyat Indonesia (GRI)
- Perkumpulan Petani Kelapa Sawit
- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Keling Kumang (APKSKK)
- Perkumpulan Nelayan Saijaan
- Persatuan Rakyat Salenrang
- Sawit Watch (SW)
- FIAN Indonesia
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Perkumpulan HUMA
- Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
- Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan)
- Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID)
- Federasi Pelajar Indonesia (FIJAR)
- Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO)
- Perempuan Mahardhika
- Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
- Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KPRI)
- FSBMM (Federasi Serikat Buruh Makanan & Minuman)
- FSPM (Federasi Serikat Pekerja Mandiri)
- FKI (Federasi Pekerja Industri)
- SPAI (Serikat Pekerja Angkutan Indonesia)
- Perkumpulan Tanah Air (PeTA)
- Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa)
- Perkumpulan Wahana Lingkungan Lestari Celebes Area (Wallacea)
- SUNSPIRIT, For Justice and Peace
- Wahana Tani Mandiri (WTM)
- Yayasan Bitra Indonesia
- Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT)
- Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH NUSRA)
- LBH Sulteng-Palu
- LBH Progresif Tolitoli (LBHP)
- Kantor Bantuan Hukum Bengkulu
- YLBH Cianjur
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)
- LBH Bina Karya Utama
- Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH)-NTB
- Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Timor
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Makassar
- LPH YAPHI
- Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)
- Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
- SITAS Desa
- Walhi Sumatera Selatan
- Yayasan Trukajaya Salatiga
- Perkumpulan Lestari Mandiri (LESMAN)
- Perhimpunan Hanjuang Mahardika Nusantara (PHMN)
- Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR)
- Perkumpulan JURnaL Celebes
- Institut Dayakologi
- Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar
- Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso
- Yayasan Mani Kaya Kauci
- Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI)
- Perkumpulan Koslata
- Yayasan Lembaga Ekonomi Mandiri Sukses Bersama
- Yayasan Bina Mandiri (Yabima) Indonesia