Jakarta – Pada kamis 8 September 2022, dalam rangkaian agenda Civil-20, Indonesia for Global Justice dan The Prakarsa membuat agenda serial webinar yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu utang negara. Isu tersebut telah menjadi isu penting di dalam salah satu agenda yang dibawa oleh Group of 20 (G20) Indonesia Presidency. Oleh karena itu, sebagai salah satu engagement group G20, Civil-20 mengadakan serial webinar yang diadakan secara daring dengan mengusung tema “Mengenal Lebih Dalam Krisis Utang Negara, Sejauh Mana G20 Bergerak?”.
Webinar dibagi menjadi dua sesi, yaitu yang pertama mengupas kondisi utang negara Indonesia lalu dilanjuti sesi kedua, yaitu membahas utang pada situasi global dan rekomendasi masyarakat sipil terhadap isu tersebut. Merangkum pembahasan webinar sesi pertama, penting untuk mengupas bagaimana kondisi utang negara Indonesia menurut para ekonom Indonesia (silahkan mengklik link ini untuk menonton).
Bagaimana kondisi utang negara Indonesia? Piter Abdullah, Ekonom CORE Indonesia menjelaskan bahwa penting untuk mengupas apa yang dimaksud dengan Utang Luar Negeri maupun Utang Domestik sebelum menilik lebih jauh mengenai utang negara Indonesia.
Menurut beliau, untuk mengupas utang negara Indonesia komposisi utang negara dapat dibagi menjadi empat yaitu utang domestik, utang luar negeri, pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri atau di dalam istilah bahasa inggris yaitu bonds dan loans (utang dan pinjaman).
Utang domestik merupakan utang pemerintah, dimana pemerintah Indonesia menerbitkan surat utang dalam bentuk mata uang domestik dan dijual di pasar keuangan domestik sehingga pembayaran bunga dan cicilan pokok menggunakan mata uang domestik. Sedangkan yang dimaksud utang luar negeri yaitu surat utang yang menggunakan mata uang asing dan dijual di pasar luar negeri, oleh karena itu cicilan pokok dan bunga dibayar dengan mata uang asing (valas). Selanjutnya, istilah pinjaman luar negeri (loans) dapat diartikan sebagai pinjaman negara secara bilateral, multilateral, pinjaman kepada Bank Komersial atau Bank Pembangunan Internasional, maupun Instituasi Keuangan Internasional lainnya. Selain itu pemerintah juga dapat melakukan pinjaman dalam negeri yaitu pinjaman pemerintah kepada BUMN atau lembaga keuangan dalam negeri lainnya.
Selanjutnya, Ekonom Piter Abdullah mengupas komposisi utang negara Indonesia melalui Laporan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), utang negara Indonesia sampai saat ini (per Agustus 2022) yaitu sebanyak sekitar Rp 7.123,62 triliun Rupiah atau sekitar 38 persen dari total PDB (Katadata News; 2022).
Dari total tersebut, beliau katakan dapat dikategorika yakni, sekitar 5033.9 triliun rupiah merupakan utang domestik (berbentuk Surat Utang Negara atau Surat Berharga Negara yang diterbitkan di dalam pasar domestik) dan kurang lebih 1300 triliun rupiah merupakan SBN Valas dan pinjaman luar negeri. Sedangkan pinjaman luar negeri tercatat sekitar 800 triliun rupiah, dan pinjaman dalam negeri sekitar 15 triliun rupiah.
Beliau pun menambahkan bahwa, “walaupun struktur tersebut dapat dikatakan bahwa beban akan jauh lebih besar terhadap utang domestik yaitu dengan mata uang Rupiah, namun harus diingat bahwa kepemilikan utang domestik yang berada pada pasar dalam negeri tersebut cukup banyak dikuasai oleh asing”.
Sehingga, menurut pengkatagorian diatas istilah Utang Luar Negeri (ULN) menjadi sangat rancu karena komposisi dalam kategori tersebut hanya mencangkup pinjaman luar negeri dan penerbitan SBN asing (valas) dan membuat nilai jauh lebih sedikit dari beberapa data maupun laporan resmi pemerintah terhadap ULN.
Padahal, menurut laporan SULNI (Kemenkeu dan Bank Indonesia), kategori Utang Luar Negeri dapat dijelaskan yaitu,
Posisi utang yang menimbulkan kewajiban membayar kembali pokok dan/atau bunga utang kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dan tidak termasuk kontijen.
Termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk (Statistik Utang Luar Negeri Indonesia; Bank Indonesia 2022).
Sehingga, menjadi kurang tepat jika pengkategorian utang domestik sebenarnya dapat mencangkup sebagaian utang luar negeri. Oleh karena itu, di dalam istilah selanjutnya akan lebih baik jika Utang Luar Negeri menggunakan pengertian resmi menurut laporan SULNI.
Ekonom INDEF, Eko Listiyanto juga menjelaskan bahwa utang negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai utang publik. Utang publik sendiri mencangkup seluruh kewajiban utang pemerintah Indonesia baik di dalam maupun utang luar negeri, sehingga menurut angka akan sedikit lebih besar dibandingkan dengan data utang luar negeri Indonesia. Istilah ini juga dapat dikatakan sebagai utang publik atau utang negara (sovereign debt).
Selanjutnya, Eko Listiyanto menjelaskan mengenai jenis ULN sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yang pertama yaitu utang publik atau yang disebut dengan utang pemerintah dan Bank Indonesia dan yang kedua yaitu utang swasta (private) diantaranya lembaga keuangan termasuk bank, lembaga keuangan non-bank, dan perusahaan bukan lembaga keuangan lainnya.
Beliau juga menambahkan bahwa, data statistik mengenai utang publik (sovereign debt) dapat diperoleh melalui kerjasama Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Bank Indonesia di dalam laporan Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) dan laporan utang luar negeri Indonesia melalui laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).
Kedua Ekonom Eko Listiyanto dan Piter Abdullah menyampaikan data serupa bahwa data utang negara yang mencapai sekitar Rp. 7.123,62 Triliun atau sekitar 38 persen dari total PDB. Dimana berdasarkan jenisnya, utang pemerintah pada Juli 2022 didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,5% dari seluruh komposisi utang akhir Juli 2022. Ini mencapai 11,5% utang yang berasal dari pinjaman (baik dalam negeri maupun luar negeri)
Dari komposisi diatas Ekonom Ekolistiyanto juga menambahkan bahwa sampai pada tahun 2022 data mencatat lebih dari setengah dari total utang tersebut merupakan utang swasta yang mencangkup lembaga keuangan, lembaga keuangan bukan bank, perusahaan bukan lembaga keuangan.
Dengan komposisi tersebut, bagaimana pengaruh tren harga pangan dan energi di tahun 2022? Kedua ekonom sepakat bahwa, pemerintah Indonesia masih harus memenuhi keperluan beban impor yang tinggi, sehingga secara tidak langsung terkait pada kebutuhan valas yang harus tetap terjaga. Terdapat dampak lainnya yaitu pelemahan nilai tukar rupiah menambah beban pembayaran utang luar negeri karena nilai tukar yang lemah.
Lalu, bagaimana dengan pengaruh tren kenaikan suku bunga acuan dan suku bunga global saat ini? Sebelumnya, Piter Abdullah menjelaskan bahwa hal ini terjadi guna meredam lonjakan inflasi bank-bank sentral dunia karena kenaikan suku bunga acuan, sehingga yield Surat Berharga termasuk yang Indonesia mengalami kenaikan, sehingga beban utang luar negeri pemerintah ikut meningkat.
Melihat data-data tersebut, ekonom Eko Listiyanto juga menekankan bahwa saat ini, merujuk pada Global Risk Report mengatakan permasalahan risiko utang negara Indonesia menjadi salah satu faktor yang harus diwaspadai. Menurut data Bank Indonesia dan Kemenkeu, total utang Indonesia dari 2008 sampai 2022 meningkat 2.8 kali, khususnya ULN Indonesia meningkat setelah dan selama pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia.
Melihat hal tersebut, ekonom Eko Listiyanto menggaris bawahi bahwa perbandingan mengenai utang negara Indonesia dengan Srilanka tidak dapat dilakukan secara utuh dimana terdapat perbedaan dalam kekuatan ekonomi, total penduduk dan lain hal. Namun perlu melihat data mengenai rasio utang jika dibandingkan dengan nilai ekspor Indonesia berada pada 200 persen, dimana Sri Lanka berada diatas 400 persen. Beliau juga menekankan bahwa, indikator rasio utang terhadap ekspor perlu diperhatikan karena menjadi petunjuk kemampuan pemanfaatan utang secara produktif.
Selanjutnya melihat posisi utang Indonesia di dalam cadangan devisa juga menjadi sangat penting, dimana hal tersebut akan menjadi faktor kekuatan nilai mata uang rupiah sendiri. Kekuatan devisa negara Indonesia, di bulan Juni 2022 yakni USD 136 miliar, dimana nilai ini hanya dapat membiaya 6,1 bulan impor dan hanya dapat membayar utang pemerintah negara Indonesia yang telah jatuh tempo. Hal ini berarti, secara nilai cadangan devisa tidak dapat menutupi seluruh utang negara, ditambah dengan kewajiban negara dengan pembayaran utang tersebut telah menjadi faktor menurunnya cadangan devisa Indonesia selain penggunaan pembiayaan lainnya.
Merujuk pada hal ini, Indonesia menjadi kelompok lingkaran lima negara (circle of five yaitu Chile, Argentina, Turkey, Mexico dan Indonesia) yang berada pada level high risk atau berisiko tinggi terkait nilai persentasi ULN terhadap cadangan devisa negara, dimana kelompok tersebut tidak dapat membiayai seluruh total ULN dalam bentuk mata uang dolar Amerika.
Argumen tersebut didukung oleh peneliti Faisal Basri yang juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya tidak semata-mata melihat rasio utang terhadap PDB Indonesia yang masih aman yaitu sekitar 38 persen dari total PDB, namun pemerintah seharusnya memperhitungkan beban utang terhadap anggaran dan ruang fiskal pemerintah.
Beliau juga memberikan contoh perbandingan, dimana rasio utang Jepang itu memang sangat tinggi yang sama halnya dengan Singapura, namun beban pembayaran bunga oleh negara tersebut masih sangat rendah. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yaitu beban bunga utang yang telah mencapai sekitar 14 persen. Hal ini dikarenakan pengaruh kenaikan suku bunga yang memiliki pengaruh besar untuk menaikan suku bunga di Indonesia dan juga meningkatkan beban pembayaran bunga.
Beliau juga menambahkan bahwa, pembayaran beban bunga utang Indonesia terhadap pengeluaran pemerintah pusat sampai dengan sampai 2023 diprediksi akan meningkat 230.8 persen, dimana nilai tersebut hampir sama besarnya dengan beban belanja pegawai. Oleh karena itu, sangat sulit untuk pemerintah Indonesia dapat mepmprioritaskan kebijakan fiskal pada kebutuhan produktif lainnya atau dengan kata lain tidak ada ruang fiskal lagi untuk keperluan sosial ekonomi lainnya.
Sehingga, menurut beliau argument yang tepat adalah memang utang masih sangat memberatkan, karena pemerintah harus tunduk pada catatan/record kedisiplinan untuk membayar utang demi menjaga credit rate Indonesia. Selanjutnya, beliau menambahkan bahwa jika melihat data primary balance APBN (penerimaan pemerintah dikurangi pengeluaran pemerintah belum termasuk bayar bunga), terkait dengan beban utang pemerintah masih minus, yang artinya untuk pembayaran bunga pemerintah Indonesia masih harus berutang. Terlepas dari beban utang yang semakin meningkat tersebut, kondisis Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia justru menurun semenjak tahun 2020 walaupun kondisi ini terbantu oleh surplusnya current account (selisih antara nilai ekspor dengan impor bagi sebuah negara) Indonesia.
Sebagai rangkuman dan juga saran dari ketiga ekonom Indonesia diatas terhadap pemerintah Indonesia, peneliti Indonesia for Global Justice menyimpulkan poin-poin berikut ini, yaitu:
- Pengendalian ULN Indonesia diperlukan agar senantiasa terjaga pada level aman
- Indikator rasio utang terhadap ekspor perlu diperhatikan karena menjadi petunjuk kemampuan pemanfaatan utang secara produktif
- Cadangan devisa perlu di tingkatkan sebagai penopang risiko ULN Indonesia (baik utang pemerintah maupun swasta)
- Diperlukannya stabilitas nilai tukar rupiah untuk menjaga risiko ULN Indonesia
- Diperlukan pengaturan kebijakan fiskal agar ULN mengarah kepada manfaat yang lebih produktif
- Peningkatan pendapatan negara juga penting untuk mendorong kekuatan sumber pembiayaan Indonesia.
Penulis :
Komang Audina Permana Putri
Program Officer Indonesia for Global Justice