Surat Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
Merespon Perundingan Indonesia-Uni Eropa CEPA di Bali 6-10 Februari 2023
Jakarta, 8 Februari 2023
Kepada Yth.
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia Ketua dan Wakil Ketua DPR RI
Cq.
Menteri Perdagangan RI
Menteri Kemenko Perekonomian RI
Menteri Luar Negeri RI
Kami, yang bertandatangan dibawah ini, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi atau Koalisi MKE, dengan ini menyampaikan desakan terkait dengan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dengan Uni Eropa atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). Perundingan I-EU CEPA direncanakan oleh Pemerintah untuk segera diselesaikan di akhir tahun 2023 sehingga pada 6-10 Februari 2023 dilaksanakan putaran perundingan ke-13 di Bali, Indonesia.
Untuk itu, Koalisi MKE mendesak Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk tidak melanjutkan perundingan dan penyelesaian I-EU CEPA sebelum adanya jaminan terhadap hak demokrasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan atas kebijakan yang berdampak luas terhadap kehidupan seluruh rakyat Indonesia dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia, Hak atas Keadilan Sosial, dan Hak atas Lingkungan Berkelanjutan atas akibat yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan IEU CEPA di Indonesia. Hilangnya jaminan hak-hak tersebut di atas telah menjadikan I-EU CEPA sebagai perjanjian yang ikut berkontribusi besar terhadap krisis demokrasi, krisis iklim, dan krisis keadilan sosial di Indonesia.
1. Krisis Demokrasi dan Pengabaian Konstitusi di Indonesia
Persoalan krisis demokrasi dalam I-EU CEPA tidak hanya pada persoalan transparansi isi teks perundingan dan partisipasi publik di dalam proses perundingan, tetapi I-EU CEPA akan melegalkan pelaksanaan kebijakan tentang Cipta Kerja oleh Pemerintah Indonesia. Padahal Mahkamah Konstitusi Indonesia telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan meminta Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki UU tersebut dalam waktu dua tahun sejak putusan dikeluarkan. Namun, tidak ada upaya dari Pemerintah Indonesia dan DPR RI untuk menjalankan putusan MK sebagai amanat dari Konstitusi.Hal ini dilakukan dengan menggunakan UU Cipta Kerja sebagai dasar pengikatan komitmen liberalisasi oleh Pemerintah Indonesia di dalam perjanjian tersebut. Bahkan, Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan untuk mengeluarkan Perppu agar UU Cipta Kerja dapat segera diimplementasikan. Ini adalah bentuk pengabaian Pemerintah Indonesia terhadap Konstitusi Indonesia.
Untuk itu, perundingan dan penyelesaian I-EU CEPA yang menggunakan substansi dalam Kebijakan Cipta Kerja dan telah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi harus segera dihentikan. Dalam hal ini Pemerintah Uni Eropa telah ikut berkontribusi terhadap pendalaman krisis demokrasi di Indonesia dan melegalkan pengabaian Konstitusi oleh Pemerintah Indonesia. Untuk itu, Uni Eropa harus ikut bertanggung jawab terhadap hilangnya demokrasi dan penyempitan civic space di Indonesia.
Persoalan mendasar dari kebijakan Cipta Kerja adalah pembahasan dan pengesahan Omnibus Law dilakukan dengan cara yang tidak demokratis dan inkonstitusional. Kegentingan memaksa menjadi dalil melegalkan kebijakan Cipta Kerja juga menyerukan pengaturan yang lebih luas dalam memberikan kemudahan bagi investor untuk dapat mengakses sumber daya alam, tenaga kerja, dan pasar dalam skala yang lebih besar tanpa ada keseimbangan untuk memenuhi perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan komitmen terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Kebijakan Cipta Kerja mengakibatkan dampak negatif terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan. Sebagai contoh, buruh tidak mendapatkan kepastian status kerja dan upah layak, petani terancam kehilangan tanah dan akses kepada benih, dampak industri ekstraktif tanpa uji dampak lingkungan. Semangat memperluas investasi untuk penciptaan lapangan kerja telah mengesampingkan kedaulatan ekonomi rakyat.
Proses perundingan I-EU CEPA juga digelar tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik secara aktif terutama kelompok masyarakat sipil untuk memberikan pandangan terhadap isi perjanjian tersebut. Bahkan masyarakat sipil tidak menerima informasi terkait jadwal putaran perundingan hingga perundingan tersebut berlangsung. Hal ini tentu mencederai proses demokrasi terlebih perundingan I-EU CEPA akan berdampak langsung pada masyarakat luas.
2. Krisis Iklim dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan
Perundingan I-EU CEPA menjadi strategi bagi Uni Eropa untuk mendesakkan agenda Green New Deal-nya. Banyak kepentingan yang didesakan untuk mewujudkan transisi ekonomi hijau dalam Kerjasama yang dibangun. Akan tetapi, transisi ekonomi hijau yang berbasis pada isu energi dan digitalisasi hanya akan Kembali mendorong perluasan ekonomi ekstraktif di Indonesia, khususnya untuk memenuhi kebutuhan atas berbagai bahan baku mineral yang dibutuhkan dalam transisi ekonomi hijau.
Transisi energi hijau telah meningkatkan permintaan terhadap bahan mineral penting di dunia. Perjanjian perdagangan bebas Kembali menjadi alat yang dipakai untuk menjamin rantai pasok mineral penting tanpa adanya hambatan dalam perdagangan, khususnya pelarangan ekspor mineral. Terkait hal ini, Uni Eropa sedang mempercepat kebijakan tentang EU Critical Raw Materials Act dalam rangka diversifikasi Kerjasama perdagangan dalam menjamin pasokan bahan mineral penting. Untuk itu, di dalam I-EU CEPA, Uni Eropa akan memastikan bab Energi dan Raw Materials mengatur tentang disiplin umum dan komitmen terkait perdagangan barang, jasa, dan investasi yang akan berlaku untuk bahan mentah dan energi, termasuk non-diskriminasi, penghapusan bea masuk dan ekspor dan pembatasan lain yang berkaitan dengan impor atau ekspor.
Sebelumnya, Indonesia telah kalah di WTO atas gugatan Uni Eropa terkait dengan kebijakan larangan ekspor mentah nikel dan kewajiban pengolahan dalam negeri. Kepentingan EU dalam mendapatkan akses mineral Indonesia melalui Bab Energi dan Raw Materials dalam I-EU CEPA hanya akan memperdalam eksploitasi sumber-sumber ekstraktif Indonesia dan memperparah kerusakan lingkungan serta menambah potensi pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat terdampak di sekitar area industri. Agenda hilirisasi industri untuk transisi energi hijau di Indonesia merupakan solusi palsu yang diusung Pemerintah. Oleh karena itu, kerjasama perdagangan dan investasi dalam I-EU CEPA akan semakin memperdalam krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini menjadi persoalan serius dalam mewujudkan agenda transisi yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia.
Selain itu, pengaturan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) di dalam bab Investasi I-EU CEPA hanya akan kembali membuka potensi Indonesia kembali digugat oleh korporasi multinasional di lembaga arbitrase Internasional seperti ICSID. Apalagi, kompetisi perebutan bahan mineral penting di dunia akan membuka peluang peningkatan gugatan ISDS oleh investor asing. Sebelumnya, Indonesia telah digugat oleh 9 investor asing, mayoritas adalah perusahaan tambang asing, dan gugatan ini telah berdampak terhadap kerugian anggaran keuangan negara, serta menghambat Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kebijakan di Indonesia, khususnya di sektor ekstraktif.
Bab Trade and Sustainable Development (TSD) yang digadang menjadikan I-EU CEPA sebagai “green FTA” juga tidak menunjukkan keseriusan komitmen kedua belah pihak dalam perlindungan lingkungan dan perlindungan HAM. Misalkan ketiadaan pengaturan tentang penegakan hukum dan mekanisme penyelesaian konflik. Padahal TSD mengatur antara lain komoditas unggulan Indonesia seperti kelapa sawit. Kelapa sawit saat ini banyak dikaitkan dengan permasalahan yang belum terpecahkan, khususnya terkait konflik di Indonesia. Dalam sebuah laporan (Pocaji, 2020), menunjukkan konflik di sektor kelapa sawit relatif jarang terselesaikan. Bahkan ketika konflik itu terselesaikan, hal tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama yakni rata-rata sembilan tahun. Selain itu, contohnya situasi kerja buruh perkebunan sawit khususnya buruh migran di Malaysia yang bekerja tanpa dokumen dalam kondisi kerja buruk dan pelanggaran hak yang dialami secara berkepanjangan. Kemudian mereka ditangkap dan ditahan di pusat tahanan imigrasi deportan akibat status imigrasi tidak berdokumen dengan kondisi dan perlakukan dalam tahanan yang tidak memenuhi prinsip HAM.1 Hal seperti ini tidak pernah menjadi perhatian dalam perundingan FTA meskipun komoditasnya menjadi salah satu komoditas utama ekspor Indonesia.
Artinya I-EU CEPA secara tidak langsung sulit mendorong perubahan kebijakan tata kelola lingkungan utamanya tata kelola perkebunan sawit apabila tidak ada komitmen kuat dari kedua belah pihak. Disamping itu secara politik, Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang Produk Bebas Deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada tahun 2022 akhir. Undang-undang ini mencegah komoditas seperti kelapa sawit, kayu, kopi, dan kakao untuk masuk ke pasar Uni Eropa apabila terbukti menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan. Aturan ini kemudian memaksa seluruh negara produsen untuk menaati segala prinsip dan kriteria yang diatur di dalamnya. Banyak pihak terutama Pemerintah Indonesia sendiri menganggap langkah tersebut bentuk hambatan dagang apalagi undang-undang dilaksanakan sepihak (unilateral). Maka meneruskan I-EU CEPA tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti bagaimana mekanisme pengaturan perlindungan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia serta pertimbangan situasi kebijakan Uni Eropa akan menggerus posisi Indonesia sendiri.
3. Krisis Keadilan Gender dan Sosial
Perundingan I-EU CEPA tidak hanya mengatur soal ekspor–impor saja, melainkan mengatur seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat, khususnya perempuan, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat. Perjanjian ini hanya akan memfasilitasi monopoli dan kontrol ekonomi korporasi atas seluruh ruang hidup rakyat.
Melalui bab Perlindungan Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights/IPR), Uni Eropa terus mendesak Indonesia untuk menjadi anggota Konvensi UPOV 91. Hal ini berpotensi memperparah krisis keragaman hayati di Indonesia. Bagi petani, ketentuan UPOV 1991 di dalam perundingan I-EU CEPA juga berpotensi mengancam keberlangsungan petani kecil dimana UPOV 1991 akan membatasi hak petani atas benih, baik hak untuk menyimpan, penggunaan, pertukaran, dan penjualan benih bahan penyebar yang disimpan dalam pertanian maupun hak petani dalam berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan terkait benih. Dominasi korporasi atas hak kekayaan intelektual benih akan membunuh praktik-praktik pertanian subsisten dan tradisional yang dilakukan oleh perempuan petani.
Dalam konteks dorongan Uni Eropa terhadap Indonesia tidak hanya melalui proposal yang diusulkan dalam perundingan I-EU CEPA. Tetapi juga dalam beberapa forum seperti East Asia Plant Variety Protection (EAPVP) yang mendesak negara-negara berkembang salah satunya Indonesia untuk bergabung menjadi anggota UPOV 1991. Konvensi UPOV 1991 ini berdampak serius bagi keberlanjutan hak-hak petani kecil khususnya petani pemulia kecil dan benih.
Lebih lanjut, ketentuan bab kekayaan intelektual juga memiliki implikasi besar terhadap akses masyarakat terhadap obat murah dan terjangkau. Melalui perjanjian ini, Uni Eropa mendesak penerapan perlindungan kekayaan intelektual yang lebih ketat melebihi perlindungan standar Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights atau dikenal sebagai TRIPS Plus. Ketentuan ini akan mengancam akses masyarakat pada obat- obatan karena semakin hilangnya kesempatan untuk memproduksi obat-obatan generik. Padahal obat-obatan merupakan sektor krusial yang sangat dibutuhkan. Berangkat dari berbagai krisis kesehatan seperti Pandemi COVID-19 dan HIV, perusahaan farmasi memanfaatkan TRIPS untuk memonopoli seluruh kebutuhan meliputi obat, vaksin, dan kebutuhan lainnya secara masif melalui harga yang tinggi dan pembatasan produksi. Perusahaan farmasi juga memanfaatkan ketentuan ini untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan kepentingan kesehatan masyarakat. Penerapan TRIPS Plus akan semakin memperburuk situasi akses obat di Indonesia.
Bab perdagangan digital dalam I-EU CEPA berpotensi membuka dampak lebih luas terhadap kehidupan masyarakat akibat kuatnya control big techs atas data yang diperoleh dari berbagai aktivitas digital di masyarakat. Perusahaan digital raksasa menginginkan agar data bisa bergerak secara bebas dan menghendaki hilangnya segala hambatan pergerakan data lintas batas negara seperti dalam pengaturan cross-border data free flow dalam perjanjian perdagangan bebas. Monopoli data oleh perusahaan digital raksasa hanya akan membuat negara berkembang kembali ketergantungan dan berada dibawah kontrol mereka. Perlindungan Data Pribadi saja belum cukup dalam melindungi ancaman pengambilan data secara besar-besaran di Indonesia. Untuk itu, perlu ada pengaturan mengenai tata kelola data (Data Governance) yang melindungi kepentingan negara berkembang dan berkeadilan. Dan, I-EU CEPA bukanlah instrumen yang tepat untuk mengatur hal ini.
Untuk itu, I-EU CEPA harus menghapus atau setidak-tidaknya mengoreksi secara prinsip dan detail ketentuan yang menguntungkan perusahaan raksasa digital seperti Cross Border Data Flow (pengiriman data lintas negara), Larangan lokalisasi data, Larangan pemrosesan data secara local, Non-pengungkapan source code perangkat lunak dan algoritma, Penghapusan bea masuk atas produk digital dan/atau transmisi elektronik, Otorisasi pada penjualan digital, Non-diskriminasi terhadap produk digital, Perlindungan konsumen online.
Akses pasar dan perdagangan bebas yang salah satunya didorong melalui IEU CEPA hanya akan merugikan kelompok yang termarjinalkan apabila dilakukan tanpa mengacu pada realitas yang terjadi di akar rumput dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa upaya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan melalui pemenuhan HAM.
Secara umum, tidak ada mekanisme pemantauan atau analisis dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan akibat perjanjian perdagangan atau kerja sama ekonomi serupa I-EU CEPA meskipun chapter trade and sustainability sudah dicakup dan dinegosiasikan. Dengan begitu, chapter trade and sustainability berpotensi menjadi alat greenwashing korporasi dan investor untuk mengedepankan proyek-proyek iklim yang merampas ruang hidup dan justru memperparah lingkungan dan komunitas yang hidup di sekitarnya. Perempuan, masyarakat adat dan pedesaan, buruh, petani, dan nelayan akan terdampak langsung akibat arus investasi dan monopoli korporasi di mana sumber kehidupan mereka akan hilang. Hal ini diperparah dengan pelemahan kebijakan dalam negeri yang semakin tergerus akibat dorongan dari luar dan sikap permisif pemerintah.
Desakan Koalisi
Terkait dengan semua hal tersebut diatas, Kami, koalisi masyarakat sipil untuk keadilan ekonomi (Koalisi MKE) mendesak agar:
- Hentikan perundingan dan penyelesaian I-EU CEPA yang melegitimasi kebijakan Cipta Kerja (UU/Perppu Cipta Kerja) yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
- Batalkan Perpu No 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja.
- Laksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.Membuka semua informasi teks dan perundingan I-EU CEPA, serta ruang penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat sipil dalam proses negosiasi yang dilakukan.
- Hentikan perundingan I-EU CEPA yang berpotensi merampas ruang dan sumber kehidupan perempuan, nelayan, petani, buruh, dan masyarakat adat.
Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi:
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Indonesia AIDS Coalition (IAC)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)
- Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
- Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
- Kaoem Telapak
- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
- Sahita Institute (HINTS)
- Solidaritas Perempuan (SP)
- FIAN Indonesia
- Koalisi Buruh Sawit (KBS)