Jakarta, 13 Februari 2023 – Indonesia for Global Justice mengadakan capacity building dengan tema “Mengenal Isu Utang Publik” bertujuan sebagai pengenalan dan meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi utang lebih yang lebih dalam khususnya analisa selain tingkatan rasio utang terhadap PDB di Indonesia. Acara ini diikuti oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, jurnalis dan mahasiswa yang tertarik pada isu tersebut.
Selama ini pemerintah Indonesia dan media mengabarkan bagaimana kondisi utang di Indonesia yang dapat dikatakan aman. Namun terdapat beberapa poin penting yang patut dicatat dibalik kondisi tersebut yang dikupas oleh beberapa pemapar yang diundang.
Sebagai pembuka presentasi, Peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan menjelaskan bagaimana defisit anggaran menjadi alasan pemerintah untuk meningkatkan utang publik. Beliau juga mengatakan bahwa, “utang pun hanya menjadi salah satu strategi yang menjadi favorite pemerintah selain privatisasi maupun mencetak uang yang memiliki risiko politik dan moneter yang dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan berhutang”.
Selanjutnya penjelasan mengarah kepada utang publik yang menurut Beliau yang sangat jarang dikupas, dimana kondisi utang pemerintah khususnya pemerintah pusat lebih banyak dikabarkan dalam media. Beliau menjelaskan, “utang publik adalah posisi kewajiban keuangan sektor publik dalam bentuk instrumen utang pada satu periode tertentu, baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk (Bank Indonesia)”. Hal ini berarti utang publik terdiri dari tidak hanya pemerintah pusat, namun pemerintah daerah, korporasi finansial sektor publik (termasuk Bank Sentral, BUMN dan BUMD, lembaga keuangan non bank/ BUMN LKNB, dan korporasi non-finansial sektor publik) baik dimiliki oleh penduduk Indonesia (WNI) atau pun bukan penduduk Indonesia.
Wakil direktur INDEF Eko Listyanto pun di dalam diskusi menekankan kembali bahwa utang publik sebenarnya beririsan dengan utang luar negeri Indonesia. Dimana utang pemerintah pusat dan Bank Sentral yang terdiri dari pinjaman luar negeri dan penerbitan global bonds juga tercatat pada laporan utang publik. Walaupun hal tersebut dapat membingungkan publik dengan dua laporan yang diterbitkan Bank Indonesia yaitu SUSPI (laporan utang publik) dan SULNI (laporan utang luar negeri), catatan penting dalam laporan utang luar negeri/SULNI yang juga mencatat utang swasta dan tidak tercatat pada SUSPI menjadi perhatian khusus karena dibalik tingginya nilai utang swasta tersebut terdapat pengaruh kerentanan ekonomi negara atas arus modal mata uang asing yang penting untuk dilihat.
Eko Listyanto pun menjelaskan kondisi krisis keuangan 2008 menjadi contoh kasus utang swasta yang mempengaruhi ekonomi Indonesia. Beliau menjelaskan , “utang luar negeri swasta (saat ini yang memegang setengah dari laporan utang luar negeri Indonesia) dapat dillihat sebagai hal yang patut diberi perhatian karena dapat mempengaruhi kekuatan mata uang rupiah melalui arus keluar modal asing dalam pasar obligasi.”
Peneliti Seknas FITRA yang juga mendukung data paparan Eko Listyanto yaitu, “mengenai kondisi utang di Indonesia melihat bahwa tidak hanya rasio utang terhadap PDB yang dapat diperhatikan, namun a) tingkat defisit pemerintah yang terus meningkat (mempengaruhi kenaikan utang yang semakin tinggi), b) rasio utang terhadap penerimaan yang semakin melonjak tinggi, c) dampak utang terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinilai stagnan, d) belum adanya pengaruh utang terhadap pengurangan kemiskinan dan yang terakhir tren minimnya pendapatan pajak melalui perdagangan internasional pada total rasio penerimaan pajak.”
Selanjutnya, walaupun komposisi utang Indonesia dengan penerbitan surat utang dalam negeri dengan penggunaan mata uang rupiah yang tinggi telah mendominasi saat ini, peneliti Abdul Manap juga menekankan pada perbandingan yield (biaya imbal hasil) surat utang beberapa negara yang menunjukan yield surat utang Indonesia dinilai masih tinggi yang berarti kurang kompetitif jika dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya. Kurang kompetitif disini juga berarti surat utang yang memegang harga rendah dalam penjualan dikarenakan minimnya minat investor untuk membeli.
Selain data-data diatas, catatan kritis juga mengarah pada kelemahan laporan SUSPI dan SULNI khususnya di Indonesia dimana “catatan utang BUMN masih menggunakan mekanisme mirroring pada bank-bank di Indonesia dan belum secara rinci mengambil data pada laporan keuangan BUMN tersebut”, jelas Eko Listyanto. Hal ini berarti beberapa agenda seperti beban utang utang BUMN dalam skema pembangunan infrastruktur Public-Private Partnership atau skema pembiayaan skema utang lainnya yang belum tercatat atau dapat dikatakan sebagai “hidden debt” menarik perhatian semua pembicara dan dapat menjadi topik lainnya yang patut diwaspadai selain kondisi utang saat ini.
Di akhir acara, masyarakat sipil yang mengikuti diskusi tersebut juga memberikan catatan yang dikumpulkan mengenai alasan ketertarikan dan perhatian atas beberapa fakta yang dijabarkan pemapar dimana baik pemapar dan peserta pada akhirnya menarik kesimpulan bahwa kondisi utang Indonesia tetap harus diwaspadai.