Siaran Pers Aksi Respon Negosiasi IPEF
Jakarta, 15 Maret 2023. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi melakukan aksi protes pada hari ini di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk menyatakan penolakan terhadap Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Hal ini karena di tengah krisis ekonomi global yang terjadi, Amerika Serikat (AS) mencoba menggunakan ini untuk membangun kembali industrialisasi nasionalnya dengan perjanjian perdagangan bebas yang sedikit terbuka (less open) dan mendorong harmonisasi kebijakan dengan standar AS. IPEF akan melangsungkan putaran kedua negosiasinya akan dilakukan di Bali pada 13 – 19 Maret 2023.
IPEF diinisiasi oleh Amerika Serikat pada September 2022 sebagai model baru perjanjian perdagangan bebas antar kawasan yang melibatkan 12 negara mitra lainnya.[1] IPEF mencakup empat pilar: (1) pilar perdagangan; (2) pilar rantai pasok; (3) pilar energi bersih, dekarbonisasi, dan infrastruktur; dan (4) pilar perpajakan dan anti-korupsi.[2] Pemerintah AS menargetkan penyelesaian perundingan tahun ini bertepatan juga dengan KTT APEC yang akan diselenggarakan di San Fransisco pada November 2023.[3]
Direktur Indonesia for Global Justice, Rahmat Maulana Sidik menegaskan bahwa proses perundingan IPEF dipimpin oleh AS, termasuk dalam penyusunan teks perjanjian, dengan cara tertutup. “Dengan singkatnya waktu dan tertutupnya draft teks perjanjian untuk publik, bisa dipastikan tidak adanya partisipasi bermakna yang dilakukan oleh negara-negara mitra untuk memberikan masukan mereka dalam proses perjanjian ini. Terlebih lagi untuk melakukan analisis dampak sosial, lingkungan, dan gender yang berpotensi akan muncul.” ujarnya. Dominasi AS atas proses IPEF juga mereka lakukan melalui penentuan tempat putaran negosiasi dan keterlibatan berbagai perusahaan multinasional asal AS dalam proses mendengar pendapat.
Kartini Samon dari GRAIN menyatakan bahwa Pemerintahan Biden bermanuver untuk menghindari perdebatan dan resistensi dari Kongres AS dengan tidak mencakup ketentuan akses pasar atau penurunan tariff serta menghindari adanya perubahan undang-undang dalam negeri. Pasca diluncurkannya IPEF, Pemerintah AS merilis laporan yang berisi daftar prioritas untuk penurunan hambatan non-tarif yang akan didorong melalui IPEF melalui harmonisasi sejumlah kebijakan dan regulasi yang dipandang sebagai hambatan teknis bagi perdagangan dengan Amerika Serikat. “Bagi Indonesia sendiri, upaya harmonisasi kebijakan melalui IPEF ini dapat menimbulkan permasalahan dan dampak meluas. Di sektor pertanian misalnya, upaya harmonisasi hambatan tekhnis perdagangan ini dapat mewajibkan Indonesia untuk melonggarkan aturan dalam negeri terkait komersialisasi dan import benih dan produk pangan rekayasa genetik. Hal ini tentu saja akan sangat menguntungkan AS yang menjadi tuan rumah bagi sejumlah produsen raksasa bagi produk rekayasa genetika. Disamping ketentuan terkait produk rekayasa genetika, aturan lain yang dipandang sebagai hambatan teknis yang akan didorong untuk harmonisasi adalah kewajiban sertifikasi dan label halal bagi import produk peternakan, terutama mengingat hanya 3 dari 14 negara anggota IPEF yang memiliki kewajiban ini; Brunei, Malaysia dan Indonesia. Harmonisasi kewajiban sertifikat halal akan secara langsung mempengaruhi para peternak dan rumah potong hewan termasuk juga konsumen di Indonesia.” tegas Kartini Samon.
Sementara itu, Arie Kurniawaty mewakili Solidaritas Perempuan menyatakan bahwa IPEF sebagai mega-regional perjanjian ekonomi pertama bagi AS dan melibatkan 40% GDP dunia akan menghasilkan aturan, proses dan komitmen baru yang hanya untuk mengamankan kepentingan perdagangan dan investasi AS untuk mengimbangi dominasi Cina, pengaruh politik dan militer di wilayah tersebut. “IPEF bukan, dan tidak akan pernah, hanya tentang perdagangan ekonomi. Melainkan mata rantai dominasi kuasa yang hegemonik bagi AS, ini seperti kelanjutan perang dingin yang senantiasa merugikan kedaulatan bangsa dan hak asasi perempuan dan rakyat Asia sebagai negara berkembang.” tegasnya.
IPEF menggunakan bahasa yang seolah-olah berpihak dan baik bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan, seperti energi bersih yang menjadi salah satu pilar. Padahal ketentuan ini hanya digunakan oleh AS untuk memperkuat pembangunan industri domestik AS terkait dengan produksi teknologi hijau untuk transisi energi. Rachmi Hertanti dari Transnational Institute menyatakan “AS ingin mengimbangi Cina untuk menjadi pemain utama dalam produksi teknologi hijau untuk transisi energi. Sangat kecil kemungkinannya IPEF akan membawa investasi AS masuk ke Indonesia untuk mendukung agenda hilirisasi industri Indonesia. Dan ini menutup kemungkinan Indonesia untuk mendapat keuntungan dari kerjasama ini. Hasilnya, IPEF hanya akan berkontradiksi dengan kepentingan nasional Indonesia.
Marthin Hadiwinata dari Ekomarin menutup dengan pernyataan bahwa sektor perikanan dalam pilar perdagangan yang dibahas dalam IPEF akan mengatur tentang larangan tindakan subsidi dalam sektor tersebut. Dasar berpikir ini dikarenakan subsidi dianggap hanya akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan tanpa terkendali. Sehingga ketentuan aturan domestik Indonesia yang masih memberikan subsidi akan diintervensi. “Mayoritas pelaku perikanan di Indonesia adalah skala kecil dan menengah. Penghapusan subsidi dalam sektor perikanan sangat jelas akan menghambat pelaku kegiatan perikanan di Indonesia. Hal ini akan menjadi kendala negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk mempertahankan aturan dalam negeri, dimana hal ini juga telah dilakukan dalam negosiasi reformasi WTO” tegasnya.
Informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
Arie Kurniawaty, Solidaritas Perempuan, +6281280564651
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice, +6281210025135
[1] Australia, Fiji, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan negara-negara ASEAN (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam).
[2]https://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-releases/2022/05/23/fact-sheet-in-asia-president-biden-and-a-dozen-indo-pacific-partners-launch-the-indo-pacific-economic-framework-for-prosperity/
[3] https://sf.gov/news/san-francisco-named-host-city-2023-asia-pacific-economic-cooperation-leaders-summit