Abu Dhabi – Pada 25 Februari 2024 di Abu Dhabi, terdapat 123 negara termasuk Indonesia[1] turut serta dalam deklarasi bersama para menteri sebagai tanda memulainya pembahasan tentang Investment Facilitation on Development (IFD) [WT/MIN(24)/17] dan akan melanjutkan tahap pembahasan di forum multilateral.
Negosiasi IFD ini sebenarnya dianggap sebagai ”illegal” oleh beberapa negara anggota WTO, karena tidak ada dalam mandat MC12 WTO 2022 di Jenewa, Swiss lalu. Jadi forum ini merupakan forum plurilateral yang mengambil jalur pintu belakang untuk mempercepat kesepakatan hanya bagi negara anggota WTO yang bergabung didalamnya. Walaupun sebenarnya mekanisme ini diatur dalam Pasal 24 GATT, yang memperkenankan anggota melakukan regional trade agreement dengan negara anggota lain. Tapi di sisi lain melemahkan sistem multilateral yang ada di WTO.
Terlepas dari semua itu, bahwa anggapan negara-negara berkembang-kurang berkembang ikut serta dalam proses negosiasi IFD ini hanya karena agar menarik investasi asing ke negaranya. Alasan lain agar bisa menciptakan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi di negaranya.
Banyak kajian akademik yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara liberalisasi peraturan dengan memberi karpet merah bagi investasi asing, dapat menarik investasi asing itu ke negaranya.
Negara berkembang seperti Indonesia sudah banyak membuka ruang kebijakan investasi asing melalui berbagai perjanjian perdagangan bebas dan BIT (Bilateral Investment Treaty). Namun hal itu justru membuat ruang kebijakan negara semakin menyempit karena mengutamakan perlindungan bagi investasi asing dan menegasikan kepentingan rakyat kecil dalam aspek pembangunan.
Korelasi IFD WTO dan Omnibus Law Cipta Kerja dalam Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, keterlibatannya di IFD WTO untuk akselerasi dengan kebijakan omnibus law cipta kerja yang sangat kontroversial. Kalau anggapannya bergabung dapat menarik investasi, menciptakan lapangan, dan transfer teknologi sesuai dengan Joint Ministerials Declaration (25/2) itu. Maka harus ditinjau ulang. Walaupun sudah meliberalisasi berbagai aspek kebijakan termasuk melalui omnibus law, namun tidak menunjukkan akselerasi investasi asing masuk ke Indonesia secara signifikan.
Justru ketika Indonesia masuk ke dalam IFD Agreement ini ada kewajiban bagi negara untuk menyampaikan pemberitahuan secara reguler kepada WTO soal mekanisme penerimaan investasi dalam negeri. Apabila tidak sesuai dengan mekanisme dan administrasi penerimaan yang sudah dilaporkan berpotensi adanya gugatan baru bagi Indonesia.
Keterlibatan ini hanya akan menambah problematika baru disamping telah diikatkan komitmen liberalisasi dalam berbagai perjanjian dagang dan investasi lain.
Live reporter from MC13 WTO, Abu Dhabi by Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) – Rahmat.maulana@igj.or.id
[1] Joint Ministerial Declaration on IFD: https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN24/17.pdf&Open=True.