Denpasar, 21 Mei 2024. Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara bergabung dalam forum diskusi People’s Water Forum di Bali sebagai wadah menampung diskusi maupun advokasi berbagai persoalan hak atas air yang diselenggarakan bersamaan dengan perhelatan World Water Forum yang ke-10 di Bali.
Walaupun agenda sempat tertunda akibat adanya upaya represif dari organisasi masyarakat yang tidak berdasar, acara kembali dilakukan walaupun diskusi sesi paralel yang diagendakan IGJ bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Pasraman air tetap berjalan secara daring melalui media Zoom.
Diskusi tersebut mengusung tema “Di Balik Risiko Privatisasi: Keterkaitan antara Perampasan Hak Atas Air dengan Mekanisme Pembiayaan Pembangunan”. Tema mekanisme pembiayaan pembangunan pada proyek privatisasi ataupun Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) menjadi pemantik diskusi untuk masyarakat di tingkat tapak dapat menceritakan realita yang terjadi atas persoalan air akibat pembangunan baik sudah terjadi maupun sedang berjalan.
Masyarakat bercerita bagaimana proyek pembangunan baik pariwisata, properti, penyedia air minum, bendungan, pertambangan maupun di berbagai sektor lainnya masih menimbulkan perampasan hak atas air. Selain itu, konflik ketidakadilan atas air secara luas juga tidak dapat terlepas dari persoalan lainnya seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan, adat dan spiritual, sanitasi, kesehatan maupun pertanian.
Seperti yang saat ini marak terjadi di Bali. Indrawati, KPA Bali menyampaikan bahwa beberapa desa di Bali saat ini sedang mengalami krisis air, dimana hal ini mengharuskan masyarakat untuk membeli, kemungkinan besar kita akan beli air ke investor karena krisis sumber air. Belum lagi ditambah dengan masifnya pembangunan pariwisata di Bali yang mulai melihat potensi-potensi sumber air di Bali sebagai daerah pariwisata. “Pembangunan ini berdampak pada wilayah subak yang tanahnya sudah habis dan airnya krisis yang membuat tidak adanya kehidupan di masyarakat, tegas Agung Alit dari Organisasi Taman65.
Selain dampak langsung yang dirasakan masyarakat tidak hanya di Bali, masyarakat pulau-pulau kecil maupun di pesisir pantai juga semakin terancam. “Masyarakat pulau kecil rentan terhadap sumber air karena tampungan air tawar mereka itu terbatas dan cadangan air mereka sangat rendah, bahkan untuk membeli air minum harus mendatangkan dari pulau lain sebagai contoh yang terjadi di pulau pari, tegas Fikerman, KIARA. Ditambah lagi, isu mengenai air di pulau kecil jarang diperhatikan diakibatkan akses untuk advokasinya terbatas dan isunya pun dianggap tidak seksi oleh media, sehingga privatisasi air ini membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan air.
“Di sisi lain terdapat keterkaitan dimana mekanisme pembiayaan tersebut juga membuka celah risiko secara luas jika dilihat melalui kacamata peningkatan utang publik di nasional dan adanya kerugian finansial dalam bentuk bantuan anggaran publik atas proyek yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan, saat ini ruang APBN saat sudah sangat sempit dikarenakan beban utang pemerintah yang mengambil kurang lebih 20 persen hanya untuk biaya utang,” tegas Komang Audina, IGJ.
Diskusi yang bersamaan dengan penyelenggaraan the World Water Forum (WWF) ke-10 yang berlokasi di Nusa Dua Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024 mengusung tema “Water for Shared Prosperity” (Air untuk Kemakmuran Bersama) seharusnya tidak hanya terfokus pada bagaimana cara pendanaan dapat dilakukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur tata kelola air dapat dilakukan namun, bagaimana seharusnya tata kelola air yang baik dan sesuai kebutuhan masyarakatnya dapat menjamin kehidupan yang lebih berkelanjutan.
Narahubung :
Komang Audina Permana Putri
Koordinator Isu Utang dan Keuangan Berkelanjutan
Indonesia for Global Justice