Dari Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) WHO: Kebuntuan Pandemic Instrument dan Amandemen International Health Regulation
Oleh: Agung Prakoso, Program Coordinator on Health & Intellectual Property Issues, Indonesia for Global Justice
Pertemuan Majelis Kesehatan Dunia atau World Health Assembly (WHA) ke-77 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berlangsung pada 27 Mei hingga 1 Juni di Jenewa, Swiss telah selesai. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan terkait dengan WHO convention, agreement, or other international instrument on PPPR (WHO CA+ on PPPR) atau yang lebih dikenal sebagai Instrumen Pandemi/Perjanjian Pandemi atau Pandemic Instrument/Pandemic Treaty dan juga Peraturan Kesehatan Internasional atau International Health Regulation (IHR).
Amandemen IHR 2005
IHR adalah instrumen hukum internasional yang mengikat di 196 negara yang mengatur hak dan kewajiban bagi negara termasuk kewajiban untuk melaporkan kejadian yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat . Sejarah awalnya bisa dirunut ke belakang pada tahun 1951, WHO pertama kali merilis regulasi untuk pencegahan penyakit menular yaitu International Sanitary regulation. ISR adalah respon dari epidemi yang mematikan yang pernah melanda di dunia, seperti kolera, demam kuning, cacar yang menyebar melintasi batas negara. ISR kemudian direvisi dan menjadi IHR pada tahun 1969. IHR diperbarui kembali setelah merebaknya SARS Severe acute respiratory syndrome pada 2002, sekarang dikenal dengan sebutan “IHR 2005.”
Pada Pandemi COVID-19, terdapat banyak sekali persoalan selama masa darurat pandemi, banyak pihak menilai IHR tidak berjalan dengan baik terutama pada persoalan pelaporan dan juga persoalan akses pada produk kesehatan. Maka dari itu pada November 2022 melalui WHA ke-76, amandemen terhadap IHR diusulkan dan mulai dibahas. Amandemen IHR disahkan pada Juni 2024 melalui WHA ke-77.
Terdapat beberapa keputusan penting di dalam amandemen IHR, yakni sebagai berikut:
1) Penetapan Definisi “Darurat Pandemi”
IHR 2005 hanya menetapkan dan mengatur keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat yang menjadi Perhatian Internasional atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) tanpa mengakomodir keadaan yang disebut sebagai “darurat pandemi.” Sehingga sebetulnya keadaan darurat pandemi tidak diatur dan dikenal dalam istilah regulasi internasional. Di dalam amandemen “darurat pandemi” didefinisikan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional yang disebabkan oleh penyakit menular dan mempunyai risiko tinggi penyebaran geografis yang luas ke dan dalam beberapa negara dan seterusnya.
Sebagian besar ketentuan mengenai pengambilan tindakan untuk mencegah, mempersiapkan, dan merespon PHEIC direvisi dengan menambahkan penyebutan “darurat pandemi” secara eksplisit. Penambahan “darurat pandemi” ini juga memungkinkan Direktur Jenderal WHO untuk menentukan status darurat pandemi atas suatu peristiwa kesehatan masyarakat. Pendefinisian dan penyebutan darurat pandemi secara eksplisit ini memungkinkan IHR dapat diterapkan pada keadaan darurat pandemi termasuk juga dapat menjadi landasan dalam proses penyusunan Pandemic Treaty.
2) Akses pada produk kesehatan
Di dalam amandemen IHR, terdapat beberapa pasal yang dapat mendorong kesetaraan akses atau ekuitas. Pertama, definisi produk kesehatan mencakup teknologi kesehatan, sehingga definisi dari produk kesehatan yang dibutuhkan untuk PHEIC termasuk keadaan darurat pandemi meliputi, obat, vaksin, diagnostik, peralatan medis, alat pelindung diri, dan termasuk juga teknologi kesehatan lainnya. Definisi dari produk kesehatan terutama berkaitan dengan teknologi kesehatan lainnya ini memungkinkan dukungan akses ke produk-produk kesehatan dengan jangkauan yang lebih luas dari sekadar vaksin, obat, dan diagnostik.
Kedua, WHO diberikan mandat yang lebih kuat dalam mendorong akses pada produk kesehatan. Mandat tersebut antara lain
● Mengoordinasikan kegiatan respon internasional termasuk mendukung negara-negara pihak dalam PHEIC dan keadaan darurat pandemi.
● Memfasilitasi akses serta berbagai upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap akses tersebut.
● Memanfaatkan mekanisme dan jaringan yang terkoordinasi untuk alokasi dan distribusi, baik yang dikoordinasikan oleh WHO maupun pihak lain.
● Memberikan dukungan kepada negara-negara pihak, atas permintaan mereka, dalam meningkatkan dan mendiversifikasi produk-produk kesehatan yang relevan secara geografis.
● Mendorong penelitian dan pengembangan serta memperkuat produksi lokal terkait produk-produk kesehatan yang berkualitas, aman, dan efektif.
Selain itu, Negara-negara pihak juga berkewajiban, sesuai dengan hukum yang berlaku dan sumber daya yang tersedia untuk mendukung WHO.
Beberapa poin penting yang dapat dicatat terkait mandat WHO adalah adanya potensi untuk memaksimalkan mekanisme di WHO itu sendiri untuk mendorong akses pada kesehatan. Sebelumnya dalam merespon Pandemi COVID-19 berbagai mekanisme dibentuk namun tidak dapat maksimal karena minimnya peran WHO dan dukungan negara-negara pihak.
Meskipun begitu, terdapat catatan kritis dimana amandemen IHR tidak merekognisi kekayaan intelektual sebagai hambatan pada persoalan akses pada produk kesehatan. Artinya beberapa upaya lain terkait untuk mengatasi hambatan kekayaan intelektual tetap harus dilakukan, baik melalui fleksibilitas TRIPS maupun usulan-usulan lainnya seperti TRIPS Waiver di WTO.
3) Akses pada Dukungan Pembiayaan
Negara-negara pihak dan WHO diberi mandat untuk berkerja sama dan membantu memperkuat pembiayaan berkelanjutan guna mendukung implementasi IHR. Negara-negara pihak juga bersepakat untuk mengembangkan, memperkuat, dan mempertahankan kapasitas inti melalui pembentukan Coordinating Financial Mechanism (CFM) yang berfungsi mendorong penyediaan pendanaan tepat waktu, predictable, dan berkelanjutan, memaksimalkan ketersediaan pendanaan, dan juga memobilisasi sumber daya keuangan baru. Mekanisme ini akan berada di bawah wewenang dan bimbingan, serta bertanggung jawab kepada WHA. Namun kerangka acuan operasoonal dan tata kelola mekanisme ini masih belum diputuskan
4) Tata Kelola
Amandemen IHR mengamanatkan untuk membentuk komite untuk implementasi IHR atau the States Parties Committee for the Implementation of the IHR, yang bertujuan untuk pembelajaran, pertukaran praktik terbaik, dan kerja sama negara-negara pihak. Komite dapat memberikan arahan mengenai kolaborasi dan bantuan internasional, dan aktvitas lainnya untuk implementasi IHR.
Baik dari akses dukungan pembiayaan dengan pembentukan CFM (poin 3) dan juga Komite Implementasi IHR, keduanya dapat dimaksimalkan untuk mewujudkan prioritas kepada negara berkembang.
Selain empat poin tersebut, terdapat beberapa amandemen terkait dengan percepatan pertukaran informasi seperti yang terus didorong oleh negara-negara maju dan juga penambahan dokumen digital sebagai dokumen kesehatan resmi dengan beberapa persyaratan terkait dokumen tersebut.
Instrumen Pandemi atau Pandemic Treaty
Negosiasi WHO CA+ on PPPR atau Pandemic Treaty menemui jalan buntu dimana beberapa tuntutan dari negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok Ekuitas dan Kelompok Afrika mengenai akses yang adil pada produk kesehatan masih belum terakomodir. Sementara negara-negara maju seperti Uni Eropa masih terus memblokade usulan tersebut. Sejak WHA ke-76, negosiasi Pandemic Treaty dilakukan secara paralel dengan amandemen IHR. Beberapa pihak menilai adanya risiko tawar-menawar dan pengorbanan salah satu negosiasi jika mengalami kebuntuan. Negara-negara anggota Afrika yang mendorong akses yang adil pada produk kesehatan melalui Pandemic Treaty khawatir ketika IHR disahkan maka negara-negara kuat yang lebih condong pada Amandemen IHR seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa, akan kurang berminat untuk bernegosiasi mengenai Pandemic Treaty.
Dalam Pandemic Treaty terdapat beberapa proposal dari negara-negara berkembang untuk mengakomodir persoalan akses yang adil pada produk kesehatan, salah satu yang paling krusial adalah mengenai Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS). PABS ditujukan untuk memastikan akses pada produk kesehatan yang dihasilkan dari pembagian informasi mengenai patogen. Pembagian ini berupa produk langsung dan juga pengurangan harga. Diharapkan PABS dapat memastikan akses produk kesehatan kepada negara-negara berkembang terlebih negara-negara berkembang di selatan memiliki biodiversitas yang luas sehingga kemungkinan besar informasi mengenai patogen dapat berasal dari negara-negara berkembang. Sementara negara-negara maju hanya menginginkan pembagian informasi dan kegiatan surveilans yang ekstensif melebihi apa yang relevan untuk mengatasi pandemi tanpa kewajiban yang sepadan melalui pembagian manfaat dan juga dukungan-dukungan lainnya seperti keuangan dan teknologi.
Diskusi Pandemic Treaty memang ditargetkan untuk selesai pada WHA 2024, namun dengan belum tercapainya kesepakatan, negosiasi ini diperpanjang paling lambat hingga satu tahun ke depan atau di WHA 2025. Beberapa poin terkait kesetaraan akses pada produk kesehatan di dalam IHR dapat menjadi landasan bagi diskusi Pandemic Treaty. Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia telah menyampaikan posisi terkait Pandemic Treaty melalui surat terbuka pada Pemerintah Indonesia pada Mei lalu, fokusnya adalah menuntut pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam menyetujui Pandemic Treaty dan mengutamakan kesetaraan akses pada produk kesehatan sebagai landasan negosiasi.