Jakarta, Kamis (11/7) – Majelis Kesehatan Dunia atau World Health Assembly (WHA) yang digelar oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 27 Mei-1 Juni 2024 telah usai. Pertemuan yang digelar di Jenewa, Swiss, ini menghasilkan keputusan terkait pengesahan Amandemen Peraturan Kesehatan Internasional atau International Health Regulation (IHR) dan penundaan pengesahan Perjanjian Pandemi. IHR adalah peraturan kesehatan internasional yang bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan mewajibkan negara untuk melakukan pengawasan dan pelaporan kepada WHO terkait ancaman kesehatan internasional. Sementara, Perjanjian Pandemi membahas mengenai kesiapsiagaan, kesiapan, dan respons terhadap pandemi yang sedang dibahas melalui Badan Perundingan Antarpemerintah atau Intergovernmental Negotiating Body (INB). Keduanya dibahas secara paralel sejak bulan November 2022 dan diharapkan dapat selesai pada WHA ke-77 lalu.
Dalam keputusan tersebut, negara-negara anggota WHO akhirnya menyetujui Amandemen IHR. Pandemi COVID-19 menunjukkan kelemahan dalam instrumen IHR, termasuk tidak adanya penyebutan kata ‘pandemi’ dan tidak adanya antisipasi terhadap ketimpangan akses pada produk kesehatan. Amandemen IHR akhirnya mengadopsi beberapa aturan seperti penambahan kondisi darurat pandemi, ketentuan untuk mengatasi ketimpangan akses pada produk kesehatan, serta dukungan pembiayaan. Keputusan ini disambut baik oleh masyarakat sipil sebagai langkah penting dan strategis untuk mengatasi ketimpangan akses
Communication, Campaign, & Advocacy Coordinator Indonesia AIDS Coalition (IAC), Ferry Norila, menyatakan bahwa “Amandemen IHR ini menjadi langkah yang penting untuk mengatasi persoalan ketimpangan akses selama Pandemi COVID-19, meski tidak ada penyampaian secara eksplisit mengenai persoalan monopoli Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini cukup disayangkan, mengingat bahwa ketimpangan akses selama pandemi COVID-19 dan yang juga dialami oleh beberapa penyakit lain seperti HIV dan TB mayoritas disebabkan oleh persoalan monopoli tersebut.”
Keputusan lain dari WHA adalah terkait penundaan pengesahan Perjanjian Pandemi, yang mendapat sejumlah catatan dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil menyayangkan sikap dari negara-negara maju yang masih menolak untuk menambahkan beberapa ketentuan demi mengatasi persoalan ketimpangan akses pada produk kesehatan, sebagaimana dengan yang terjadi pada masa Pandemi COVID-19. Penundaan atas pengesahan Perjanjian Pandemi dan Amandemen IHR ini harus menjadi momentum agar Perjanjian tersebut dapat memuat ketentuan yang dapat mengatasi masalah ketimpangan akses global.
Peneliti senior Indonesia for Global Justice (IGJ), Lutfiyah Hanim, berpendapat bahwa “Kerangka kerja untuk menyelesaikan persoalan pandemi seperti COVID-19, Ebola, dsb. perlu mengantisipasi persoalan akses pada produk kesehatan yang kerap terjadi. Untuk itu, masa perpanjangan waktu perundingan perlu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Amandemen IHR bisa menjadi contoh yang cukup baik, tetapi masih perlu diperkuat untuk isu-isu teknis seperti transfer teknologi, akses patogen dan pembagian manfaat, serta pembiayaan.”
Koordinator Isu Kesehatan IGJ, Agung Prakoso, menambahkan, “Diskusi Perjanjian Pandemi yang mengalami kebuntuan ini dikhawatirkan menjadi pertanda bahwa Perjanjian tidak akan lagi menjadi prioritas. Sebab negara-negara maju lebih tertarik untuk mendorong Amandemen IHR yang telah disepakati. Untuk itu, kami terus mendorong negara-negara anggota WHO, terutama Pemerintah Indonesia, untuk terus memperjuangkan kepentingan masyarakat untuk akses pada produk kesehatan sehingga Perjanjian ini dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut jika kembali terjadi pandemi di masa mendatang. Sebelumnya masyarakat sipil juga mendorong agar Pemerintah tidak terburu-buru dalam menyetujui Perjanjian Pandemi.”
“Kami mengapresiasi posisi Pemerintah Indonesia karena sejauh ini sejalan dengan aspirasi masyarakat sipil. Namun proses perundingan Perjanjian Pandemi ini tetap perlu dikawal, juga diperlukan adanya diskusi yang intensif terutama terkait diseminasi informasi mengenai proses perundingan dan hasil dari WHA. Kami juga mendorong pihak-pihak lain seperti DPR untuk turut mengawasi perundingan-perundingan semacam ini.”
Narahubung:
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id
P: +6285788730007
Budi Larasati, Project Officer, Indonesia AIDS Coalition
E: blarasati@iac.or.id
P: +6287777494801
Tentang Indonesia for Global Justice:
Indonesia for Global Justice adalah organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu perdagangan bebas dan dampaknya kepada masyarakat, termasuk pada sektor kesehatan. Selengkapnya di: igj.or.id
Tentang Indonesia AIDS Coalition:
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Berdiri sejak tahun 2011, IAC memiliki pengalaman pengelolaan dana hibah yang ekstensif dan menjalin kemitraan dengan sejumlah K/L dan lembaga internasional seperti Komisi 9 DPR, Kementerian Kesehatan, Kantor Staf Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Komnas HAM, Komnas Perempuan, UNAIDS, UNFPA, UN Women, UNDP, kelompok pasien, serta jaringan nasional populasi kunci. Selengkapnya di: iac.or.id/id
Dokumen lainnya:
Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia terkait Perjanjian Pandemi di WHO