Penyusun:
● Indonesia for Global Justice adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang dibentuk untuk mengadvokasi persoalan liberalisasi perdagangan yang meliputi isu-isu di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan turunannya seperti perdagangan barang, perdagangan jasa, serta perdagangan terkait aspek-aspek kekayaan intelektual.
● Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS melalui kolaborasi dengan beragam pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
● Koalisi Obat Murah adalah koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas beragam OMS yang memiliki concern pada isu kesehatan, khususnya akses pada obat-obatan terjangkau.
Pendahuluan
Undang-undang mengenai Perlindungan Kekayaan Intelektual adalah salah satu implikasi dari keanggotaan Indonesia di dalam Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Salah satu pilar yang dirundingkan di dalam WTO adalah mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang merupakan standar perlindungan KI untuk semua negara anggota. Indonesia yang telah meratifikasi keanggotaan WTO melalui Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1994 harus mengharmonisasikan seluruh peraturan domestik untuk memenuhi ketentuan TRIPS. Oleh karena itu, dibuatlah UU Paten, UU Hak Cipta, UU Merek, UU Perlindungan Varietas Tanaman, UU Desain Industri, UU Rahasia Dagang, dan UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 2 TRIPS bekerja sebagai standar minimum yang diwajibkan kepada negara anggota WTO, artinya negara anggota hanya diwajibkan menerapkan standar perlindungan, sebagai contoh, perlindungan paten selama 20
tahun yang ditetapkan di dalam TRIPS artinya negara hanya tidak diperbolehkan menetapkan perlindungan di bawah waktu tersebut dan tidak ada keperluan untuk menerapkan perlindungan di atasnya.
Maka dalam pembentukan UU terkait KI di Indonesia seperti halnya UU Paten, Indonesia tidak memiliki urgensi lain untuk menetapkan aturan di atas standar TRIPS karena hanya akan berdampak pada kepentingan masyarakat atas kesehatan utamanya akses pada obat-obatan yang terjangkau. Hal ini juga akan berimplikasi pada beban ekonomi Indonesia yang mengandalkan produksi obat-obatan generik untuk pemenuhan kebutuhan.