Jakarta, 23 Mei 2025 – Penunjukan Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru
membuka babak penting dalam arah kebijakan fiskal Indonesia. Forum Pajak Berkeadilan
Indonesia (FPBI), koalisi organisasi masyarakat sipil yang mendorong reformasi perpajakan,
menyampaikan lima pekerjaan rumah mendesak untuk memastikan sistem pajak yang adil,
transparan, dan progresif. Agenda-agenda ini menjawab tantangan fiskal, ketimpangan ekonomi,
dan kebutuhan untuk memperkuat peran Indonesia dalam tata kelola pajak global.
Penerimaan Pajak Melambat, Tekanan Fiskal Meningkat
Penerimaan pajak Indonesia menghadapi tren penurunan yang mengkhawatirkan. Pada 2022,
penerimaan pajak melonjak 34,27% dari Rp 1.278 triliun menjadi Rp 1.716 triliun, didorong oleh
pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, pertumbuhan ini melambat menjadi 8,87% pada
2023 dan hanya 3,38% pada 2024. Hingga triwulan I 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp
322,6 triliun atau 14,7% dari target tahunan Rp 2.189,3 triliun, menurun drastis 27,73%
dibandingkan periode Januari–April 2024 (dari Rp 624,2 triliun menjadi Rp 451,1 triliun).
Kondisi ini mencerminkan ketergantungan besar pada faktor ekonomi eksternal, seperti harga
komoditas global, dan lemahnya penggalian potensi pajak dalam negeri. Rasio pajak Indonesia
juga tetap stagnan, jauh di bawah rekomendasi internasional 15% dari PDB. Pada 2018, rasio
pajak tercatat 10,24%, anjlok menjadi 8,33% pada 2020 akibat pandemi, dan hanya pulih tipis ke
10,38% pada 2022, 10,31% pada 2023, dan turun lagi menjadi 10,08% pada 2024. Ketidakmampuan mengejar potensi pajak dari korporasi besar dan individu berpenghasilan tinggi
memperparah krisis struktural ini.
Lima Pekerjaan Rumah Mendesak untuk Dirjen Pajak Baru
1. Membangun Sistem Pajak yang Adil dan Progresif
Sistem perpajakan yang adil harus menjadi fondasi kebijakan fiskal. Fokus utama adalah
memperluas basis pajak dengan menyasar kelompok terkaya melalui pengenaan pajak kekayaan
(wealth tax) dan penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi yang lebih progresif.
Selama ini, beban pajak cenderung tidak proporsional, di mana kelompok berpenghasilan rendah
dan menengah menanggung porsi lebih besar dibandingkan kelompok kaya, yang sering kali
memanfaatkan celah hukum untuk menghindari pajak.
Reformasi ini membutuhkan keberanian politik untuk mengubah struktur tarif pajak agar lebih
mencerminkan kemampuan membayar. Pajak kekayaan, misalnya, dapat menargetkan aset
produktif seperti properti mewah atau kepemilikan saham besar, sehingga memperluas sumber
penerimaan negara tanpa membebani masyarakat kelas bawah. Langkah ini juga akan
memperkuat persepsi keadilan dalam sistem perpajakan, yang krusial untuk meningkatkan
kepatuhan pajak secara keseluruhan.
2. Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal
Transparansi adalah kunci untuk meminimalkan kebocoran pajak dan meningkatkan
kepercayaan publik. FPBI mendorong keterbukaan data pelaporan publik berbasis negara (public
country-by-country reporting) oleh korporasi besar. Sistem pengawasan pajak berbasis digital
juga perlu dikembangkan untuk mendeteksi praktik penghindaran pajak (tax avoidance), seperti
pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi berisiko rendah.
Selain itu, kerja sama antarlembaga, seperti dengan KPK dan PPATK, harus diperkuat untuk
menelusuri arus keuangan ilegal (illicit financial flows) dan menegakkan aturan secara lebih ketat
untuk memastikan kepatuhan pajak. Skema obral tax amnesty yang tidak tepat sasaran, yang
sering kali menguntungkan pelaku penghindaran pajak, perlu dihentikan. Dirjen pajak juga perlu
segera merampungkan otomatisasi sistem perpajakan, meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia di bidang pajak, serta meningkatkan akuntabilitas pegawai pajak. Dengan transparansi
yang lebih baik, masyarakat dapat mengawasi penggunaan dana pajak, sehingga memperkuat
akuntabilitas fiskal.
3. Mengurangi Ketimpangan dan Memperkuat Perlindungan Sosial
Pajak harus menjadi alat redistributif untuk mengurangi ketimpangan ekonomi. Dana pajak perlu
diarahkan secara optimal untuk membiayai jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan universal,
bantuan sosial, dan pendidikan gratis. Di tengah meningkatnya biaya hidup dan akses terbatas
ke layanan dasar, negara harus memastikan bahwa pajak yang dibayarkan rakyat kembali dalam
bentuk manfaat nyata yang mengurangi kemiskinan dan memperkuat kesejahteraan.
Selama ini tren jaminan sosial di Indonesia masih bersifat tebang pilih atau residual bukan bersifat
universal atau ditujukan kepada seluruh warga negara. Tren jaminan sosial residual ini meskipun
menyasar pada masyarakat yang diklaim miskin, namun tidak memberikan jaminan keamanan
ekonomi kepada kelas menengah yang rentan miskin karena goncangan ekonomi. Didorong oleh
sistem perpajakan yang progresif, regulasi perlindungan sosial yang mengatur jaminan sosial di
Indonesia juga perlu diubah. Sifat redistribusi dana pajak untuk program-program perlindungan
sosial perlu bersifat universal.
Hal tersebut selain diproyeksikan untuk dapat memberikan kepastian redistribusi kebutuhan
dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang merata kepada seluruh warga negara, di sisi lain
kebijakan perlindungan sosial universal dapat mengurangi praktik klientelisme dan praktik whole
sale vote buying (jual beli suara grosiran) ketika bergulirnya politik elektoral. Program
perlindungan sosial selama ini lebih cenderung digunakan oleh kandidat kepala daerah maupun
kepala negara sebagai kendaraan politik untuk memenangkan suara.
Pengelolaan redistribusi dana pajak yang transparan dan akuntabel juga penting untuk
membangun kepercayaan publik. Selama ini, banyak masyarakat merasa pajak yang mereka
bayar tidak sebanding dengan layanan publik yang diterima. Oleh karena itu, Dirjen Pajak baru
harus mendorong alokasi anggaran yang berpihak pada kelompok rentan, seperti pekerja
informal, keluarga miskin, dan keluarga rentan miskin untuk memperkuat kontrak sosial antara
negara dan rakyat.
4. Mengembalikan Pajak ke Rakyat
Pajak adalah kontrak sosial yang menuntut negara mengembalikan setiap rupiah yang
dikumpulkan dalam bentuk manfaat nyata bagi masyarakat. Ini mencakup investasi pada
infrastruktur publik, pelayanan kesehatan berkualitas, dan pendidikan yang terjangkau.
Ketimpangan akses terhadap layanan dasar, terutama di daerah terpencil, menunjukkan bahwa
distribusi manfaat pajak belum optimal.
Dirjen Pajak baru harus memastikan bahwa pengelolaan pajak berorientasi pada kepentingan
rakyat, bukan hanya mengejar target penerimaan. Program-program seperti subsidi energi yang
tepat sasaran, peningkatan fasilitas kesehatan masyarakat, dan beasiswa pendidikan dapat
menjadi wujud nyata dari pengembalian pajak. Dengan demikian, pajak tidak lagi dipandang
sebagai beban, tetapi sebagai investasi bersama untuk masa depan yang lebih baik.
5. Berperan Aktif dalam Reformasi Pajak Global dan Regional
Indonesia harus menjadi motor penggerak dalam tata kelola pajak global yang adil, terutama bagi
negara berkembang. Dominasi negara maju dalam kerangka seperti OECD/G20 Inclusive
Framework sering kali merugikan negara berkembang yang memiliki kapasitas dan daya tawar
terbatas. Inisiatif seperti Konvensi Pajak PBB (UN Tax Convention) harus didukung untuk
menciptakan sistem pajak internasional yang lebih inklusif.
Di tingkat regional, Indonesia dapat memperkuat Forum Pajak ASEAN untuk mengatasi
tantangan perpajakan di era ekonomi digital dan lintas batas. Misalnya, pengenaan pajak pada
perusahaan teknologi multinasional memerlukan kerja sama regional yang kuat. Dengan posisi
strategisnya, Indonesia dapat memimpin diplomasi fiskal untuk memastikan distribusi manfaat
pajak yang lebih adil di antara negara-negara berkembang.
Dengan legitimasi publik yang baru, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memiliki peluang
besar untuk mewujudkan reformasi perpajakan yang progresif. Pajak bukan hanya alat fiskal,
tetapi juga instrumen keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi. FPBI mengajak seluruh elemen
masyarakat untuk mengawal lima agenda mendesak ini demi Indonesia yang lebih adil,
transparan, dan sejahtera.
Narahubung:
PWYP Indonesia : Meliana Lumbantoruan (meliana@pwypindonesia.org )
The Prakarsa : Ema Kurnia Aminnisa (eaminnisa@theprakarsa.org )
TI Indonesia : Lalu Hendri Bagus (lbagus@ti.or.id )
CELIOS : Media Askar (media.askar@celios.co.id )
IGJ : Komang Audina Permana Putri (audina@igj.or.id )