Jakarta – Diplomasi ekonomi luar negeri Indonesia sangat menentukan arah kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa ke depan. Karenanya, kebijakan perdagangan internasional Indonesia mesti mengedepankan perdagangan yang adil dan berpihak bagi rakyat kecil.
Bila meninjau kebijakan perdagangan internasional era kepemimpinan Presiden Jokowi, posisi Indonesia lebih mengedepankan perdagangan berbasis ekspor komoditas ekstraktif yang minim nilai tambah atas perdagangannya. Seperti ekspor minyak kelapa sawit, batu bara, kopi, karet, kayu, dan kakao. Di mana hampir keseluruhan komoditas ekspor tersebut masuk tujuh komoditas sebagai kontributor deforestasi berdasarkan kebijakan EU Deforestation Regulation (EUDR).
Lantas, apa yang diusung kandidat Capres-Cawapres dalam konteks kebijakan perdagangan internasional Indonesia melalui visi-misi mereka? Apakah akan meneruskan liberalisasi perdagangan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dan manusia –sehingga pola yang sama masih terus dilanjutkan dengan mengandalkan “barang-barang dari Tuhan saja” atau ekstrativisme?
“Perubahan” Anies-Muhaimin
Pasangan Anies-Muhaimin yang menggaungkan “perubahan” memiliki delapan jalan perubahan. Dalam konteks diplomasi ekonomi-politik luar negeri, salah satu yang didorong adalah memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral termasuk menyepakati perjanjian dagang seperti Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) maupun Perjanjian Dagang Terbatas (PTA) untuk mendongkrak daya saing dan daya tarik produk Indonesia.
Faktanya dari 24 Perjanjian Perdagangan Internasional kita tidak bisa memanfaatkan sepenuhnya. Malah terbelit pola liberalisasi dagang dengan pembukaan pasar 100% tanpa daya saing. Kalau misinya “memperkuat kerja sama perdagangan bebas baik bilateral maupun multilateral” tanpa terlebih dahulu memperbaiki tata kelola industri dalam negeri berbasis keberpihakan pada masyarakat maupun mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak rakyat kecil, maka kultur melanjutkan liberalisasi melalui perjanjian dagang akan semakin menguat yang memberi dampak buruk bagi kehidupan rakyat.
Terlebih lagi misinya menyebut “mendorong implementasi perjanjian ekonomi komprehensif kawasan (RCEP)”. Apa yang patut diimplementasikan dari Perjanjian RCEP? Dalam beberapa rilis pemerintah disebutkan bahwa Indonesia bergabung ke dalam RCEP berpotensi surplus hanya 0,05% hingga 2032 bahkan jika tidak bergabung, ekspor Indonesia akan terus meningkat angkanya walau hanya USD 0,23 milliar.
Lantas kita mau mengimplementasikan perjanjian RCEP yang kalkulasi ekonominya terbilang kecil daripada mengedepankan kedaulatan bangsa dan hak-hak rakyat kecil? Ini bersungguh-sungguh dalam “perubahan” atau tidak? Kalau iya, sebaiknya tinjau ulang misinya dari “mendorong implementasi RCEP” menjadi “menarik diri dari perjanjian RCEP yang tidak menguntungkan Indonesia”. Itu pun kalau berani.
Kalau tidak, maka Indonesia akan tersandera melalui perjanjian RCEP dan bahkan perjanjian perdagangan bebas lain. Ditambah lagi tidak adanya aspek perlindungan HAM, sosial maupun industri dalam negeri, maka bangsa Indonesia terus dijajah dengan dalih “perdagangan bebas dan kepentingan ekonomi”.
Sekaligus beranikah melakukan peninjauan ulang terhadap keanggotaan Indonesia di WTO? Sebab kedaulatan Indonesia selama menjadi anggota WTO telah berpengaruh buruk terhadap kebijakan perekonomian nasional. Dalam catatan Indonesia for Global Justice (IGJ) sebanyak 15 kasus gugatan yang dialami oleh Indonesia di WTO. Sejumlah gugatan itu mengalami kekalahan yang berdampak pada perubahan regulasi nasional, seperti kasus gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru yang mengharuskan perubahan empat regulasi nasional terkait pangan.
Ini seharusnya menjadi preseden bagi Anies-Muhaimin agar mengubah frase “menyeimbangkan posisi Indonesia di WTO” yang termaktub dalam misinya menjadi meninjau kembali keanggotaan Indonesia di WTO dengan mengkaji aspek kedaulatan bangsa dan negara.
“Kepentingan Nasional” Ganjar-Mahfud
Dalam konteks kebijakan perjanjian internasional, pasangan ini akan mengutamakan kepentingan nasional dengan mengutamakan produk dalam negeri, meningkatkan daya saing perekonomian nasional, mengedepankan isu-isu strategis dan kekinian, serta memastikan perlindungan segenap rakyat Indonesia.
Ke mana arah dan tujuan dari kepentingan nasional dalam perjanjian internasional itu? Karena selama ini pemerintah bernegosiasi menawarkan ekspor kelapa sawit, batu bara, dan nikel dengan dalih “kepentingan nasional”. Apa dan untuk siapa kepentingan nasional yang dimaksud itu?
Kemudian persoalan lain terletak pada keterikatan Indonesia terhadap perjanjian dagang yang sudah eksis dan implementatif bahkan yang sedang dinegosiasikan. Misalnya perjanjian dagang Indonesia – EFTA CEPA, Indonesia – Australia CEPA, dan ASEAN RCEP. Di mana Indonesia telah berkomitmen membuka liberalisasi dalam segala aspek perdagangan dan investasi. Pertanyaannya, bagaimana pasangan Ganjar-Mahfud akan mengoreksi komitmen dagang yang sudah eksis tersebut?
Beranikah melakukan peninjauan ulang atau bahkan menarik diri (withdrawal) dari perjanjian yang sudah ada itu? Karena, bagaimana akan mengutamakan produk dalam negeri sementara keran impor terus dibuka melalui perjanjian dagang? Lalu bagaimana meningkatkan daya saing perekonomian nasional, kalau perlindungan petani, nelayan, dan masyarakat marjinal tidak dianggap penting dalam konteks pasar bebas? Maka, patut dipertanyakan visi pasangan Ganjar-Mahfud tentang “Menuju Indonesia Unggul” itu.
Prabowo-Gibran: Rakyat atau Korporat?
Berbeda dengan dua Capres sebelumnya, Prabowo-Gibran tidak menuliskan secara spesifik konsentrasinya terhadap kebijakan perjanjian internasional. Tapi kita bisa lihat dalam konteks ekonomi, Prabowo-Gibran menggelorakan prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila, yang diyakini sebagai esensi terbaik dari ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Benarkah demikian?
Ekonomi Pancasila mengutamakan sosial-moral sebagai fondasi dalam menggerakkan roda ekonomi. Berarti sebagai konsekuensi dari sistem ini adalah seluruh kebijakan perjanjian internasional mesti mengutamakan kepentingan sosial dan moral terlebih dahulu, di samping ekonomi maupun keuntungan belaka.
Uniknya, fondasi dari visi-misi Prabowo-Gibran adalah melanjutkan fondasi Indonesia Maju yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi sebelumnya. Secara tidak langsung pasangan ini hendak meneruskan kebijakan perjanjian internasional yang dijalankan selama ini oleh Presiden Jokowi. Gibran menyebutnya dengan kalimat “melanjutkan” dan “menyempurnakan”.
Ini menandakan bahwa Prabowo-Gibran berpotensi besar melanjutkan pola dagang berbasis komoditas, dengan bukti bahwa mereka sudah memetakan beberapa komoditas sebagai modal bagi Indonesia, seperti cadangan nikel, timah, bauksit, tembaga, dan produsen kelapa sawit nomor satu dunia, serta produsen perikanan tangkap nomor dua dunia.
Perdagangan berbasis komoditas seperti ini tidak mengutamakan aspek sosial-budaya hingga moral sebagai fondasi ekonomi dalam perjanjian internasional. Melainkan cenderung mendukung korporat daripada rakyat kecil. Maka, patut dipertanyakan bagaimana konsistensi Prabowo-Gibran dalam menjalankan Ekonomi Pancasila itu.
Di sektor investasi, Prabowo hendak membuka seluas-luasnya investasi luar negeri ke Indonesia. Ini yang ia sebut sebagai “good neighbor policy” dengan tujuan agar menciptakan peluang tenaga kerja dan memberantas kemiskinan. Tampaknya Prabowo bermaksud meneruskan kebijakan omnibus law UU Cipta Kerja yang kontroversial itu. Dalam UU Cipta Kerja terbuka peluang seluas-luasnya bagi investasi luar negeri hingga 100%, namun tidak menjamin adanya peluang tenaga kerja baru. Walaupun undang-undang ini menggunakan sebutan “Cipta Kerja”.
Melanjutkan yang Ada
Sebenarnya dari tiga kandidat Capres-Cawapres dalam konteks kebijakan perdagangan internasional hanya melanjutkan kebijakan yang telah ada. Bahkan, Anies-Muhaimin sekalipun yang mengusung agenda “perubahan” tidak berbeda dengan visi-misi Jokowi-Ma’ruf Amin saat 2019 lalu. Misalnya memperkuat diplomasi ekonomi untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional Indonesia dalam kerja sama perdagangan, investasi, dan pariwisata.
Anies-Muhaimin juga sama yakni memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral termasuk menyepakati perjanjian dagang seperti Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA). Apabila Anies-Muhaimin agendanya demikian tanpa adanya peninjauan ulang maupun menghentikan perjanjian internasional yang merugikan masyarakat. Maka patut dipertanyakan agenda “perubahan” apa yang ditawarkan karena substansinya justru meneruskan yang telah ada.
Di sisi bersamaan, kebijakan perdagangan internasional dari Prabowo-Gibran maupun Ganjar-Mahfud juga tidak jauh berbeda dengan yang telah ada kini. Bahkan, Prabowo-Gibran jelas-jelas hendak “melanjutkan” dan “menyempurnakan” kebijakan pada era Jokowi. Termasuk terkait potensi dagang komoditas seperti nikel, batu bara, timah, bauksit, komoditas laut (perikanan tangkap), dan kelapa sawit akan berlanjut.
Ganjar pun demikian dalam penjelasannya di Forum CSIS, menyebut tidak hanya komoditas nikel, batu bara, dan kelapa sawit saja, melainkan potensi kekayaan laut hingga ekonomi digital akan menjadi agenda perdagangan maupun hilirisasi ke depan.
Kalau hanya memperbanyak kerja sama perdagangan dengan mengandalkan berdagang komoditas. Maka ekstrativisme dengan mindset pengerukan sumber daya alam hingga penggusuran masyarakat dari lahan mereka akan terus berlanjut dengan dalih bermacam-macam di antaranya “kepentingan nasional”, “Indonesia maju”, maupun untuk masyarakat “adil makmur”.
Rahmat Maulana Sidik
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ),
Magister Hukum Bisnis Pascasarjana Universitas Nasional
sumber : detik.com