Seri Framing Paper
RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja
Indonesia for Global Justice (IGJ)
April 2020
Tim Penulis:
Muslim Silaen & Olisias Gultom
Pendahuluan
Rencana perubahan aturan ketenagakerjaan dalam Prolegnas 2020 melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah memantik diskusi panjang di kalangan pekerja dan akademisi. Diskusi dan perdebatan telah dimulai saat memperhatikan pertimbangan poin b dalam RUU tersebut yang menyatakan “bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi”. Selain itu pada bagian latar belakang cukup jelas menyebutkan perihal mempersiapkan daya saing dalam menghadapi revolusi digital: “Sejalan dengan perkembangan teknologi, kebutuhan dan kondisi saat ini, tantangan dan persoalan ketenagakerjaan semakin kompleks dan beragam, khususnya dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dimana kedepannya era digitalisasi menjadi lebih dominan dan adanya bonus demografi di Indonesia. Hal ini tentunya akan membawa dampak khususnya di bidang ketenagakerjaan”. (hal 13)
Kedua hal tersebut secara sederhana bisa terlihat saling bertentangan. RUU yang dimaksudkan seolah hendak menumbuhkan lapangan pekerjaan, tetapi dengan mendorong adaptasi dan pemanfaatan teknologi, khususnya berbasis Industri 4.0, akan cenderung terjadinya pengurangan tenaga kerja pada industri yang ada atau sedang berjalan saat ini. Produksi yang di kenal dengan Smart Factory[1] akan menambah produktifitas manufaktur, dimana produktifitas terjadi dengan semakin rendahnya pemanfaatan tenaga kerja manusia. Kecenderungan terjadinya PHK akan tidak dapat dihindari apabila peralihan dilakukan demi mendapatkan peningkatan produktifitas 10-12%[2]. Proses globalisasi industri dimana terjadi global supply chain pada banyak jenis industri, akan mendorong proses peralihan penggunaan teknologi ini menjadi tren secara global.
Dalam Framing Paper IGJ tentang Omnibus Law[3] juga telah disebutkan bahwa perubahan tren globalisasi hari ini disebabkan oleh perubahan rantai pasok produksi global yang semakin ter-regionalisasi akibat perkembangan dan penggunaan teknologi digital. Catatan IGJ tersebut menguatkan bagaimana resep klasik kapitalisme kembali ditularkan oleh Bank Dunia dan OECD kepada Indonesia sebagai jalan keluar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini dengan melakukan adaptasi terhadap tren global yang mengarah pada model transformasi ekonomi dan industri berbasis teknologi digital dalam skema Global Value Chain.
Menurut Bank Dunia, kunci utama keberhasilan GVC sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru adalah dengan melakukan transformasi perdagangan ke arah revolusi industri 4.0. Hal ini diyakini bahwa industri 4.0 ini telah berkontribusi pada produktivitas yang lebih tinggi dan skala produksi yang lebih besar sebagai jawaban dari persoalan jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Dengan demikian produksi baru teknologi akan meningkatkan permintaan impor input dari negara-negara berkembang dan kembali mendorong pertumbuhan perdagangan global[4].
Terjadinya peralihan industri modern berbasis digital ini akan menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja. Peralihan tenaga kerja ‘model lama’ kepada industri yang masih membutuhkan model tenaga kerja seperti hal itu tetapi juga menimbulkan tren baru pada kompetisi pasar tenaga kerja. Tren kompetisi pasar tenaga kerja yang akan berkembang adalah tenaga kerja yang memiliki tren pada tenaga kerja dengan kemampuan berbasis digital. Menurut data BPS dari yang telah diolah Bank Indonesia dalam Laporan perekonomian Indonesia 2019, pasar tenaga kerja yang menghasilkan barang terus mengalami penurunan sejak perlambatan ekonomi global tahun 2012. Sedangkan di sisi lain yang mengalami lonjakan adalah pasar tenaga kerja penghasil jasa[5].
Situasi ini akan terus menekan Indonesia untuk segera melakukan perbaikan pasar tenaga kerja, seperti disebutkan dalam naskah akademik Omnibus law Cipta Kerja (hal 43) yang mengadopsi pada analisa OECD. Analisis OECD[6] menyebutkan “Reformasi regulasi diarahkan untuk memastikan bahwa regulasi ini benar sepenuhnya responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan teknis yang mengelilinginya. Banyak reformasi didorong oleh perkembangan teknologi yang telah mengubah biaya pokok dan struktur kompetitif dalam industri mulai dari telekomunikasi, perbankan hingga bioteknologi. Pada saat yang sama, reformasi regulasi adalah stimulus yang kuat untuk inovasi.”
Dok IGJ. 2019
Omnibus Law: Pasar Tenagakerja Berbasis Industri Digital
Peralihan tenaga kerja akan mengikuti perkembangan model industri berbesi digital, dimana industri jasa akan mendapatkan porsi yang besar. Peralihan tidak hanya akan terjadi sebagai tenaga kerja pada industri berbasis digital tetapi akan membawa pasar tenaga kerja pada tenaga kerja model baru. Model pekerja berbasis digital seperti Ojol dimana model usaha dimiliki oleh mereka (kendaraan, lisensi dan lainnya) menempatkan mereka pada posisi ambigu sebagai pekerja atau sebagai mitra usaha atau pebisnis berbasis digital. Mereka jelas tidak mendapatkan perlindungan sebagai pekerja maupun pengusaha. Hal yang hampir sama juga akan terjadi pada industri mikro dan kecil yang memanfaatakan fasilitas digital atau aplikasi digital, dimana usaha-usaha individu atau dilakukan oleh beberapa orang tersebut akan masuk dalam kategori yang tidak jauh berbeda dengan pekerja Ojol. RUU Cilaka ini tidak memberikan antisipasi atau mempersiapkan hal ini. Pemerintah seharusnya mulai mempersiapkan perubahan UU Ketenagakerjaan yang lebih mengantisipasi model pekerjaan baru agar mampu melindungi pekerja atau pelaku industri mikor dan kecil dalam bisnis atau fasilitas digital.
Pada pasal 89 RUU Omnibuslaw Cipta Kerja (RUU Cilaka) soal perubahan UU No.13 tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan/UUK) ayat 12 menyatakan menghapus pasal 59. Pasal 59 sebelumnya pada UUK pada ayat 1 menyatakan “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu”. Selanjutnya juga menjelaskan beberapa pekerjaan yang bersifat sementara dan tidak bisa mempekerjakan buruh untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap untuk kegiatan produksi dan dalam waktu yang lama atau lebih dari 3 tahun. Dalam RUU omnibus pasal ini dihapuskan, rantai pekerjaan inti (Core Business) di flexibelkan agar memenuhi perkembangan era digital.
Selain menghilangkan ketentuan yang tegas soal Core Business Omnibuslaw juga menghilangkan ketentuan soal alih daya (outsourching). Ketentuan pada UUK pasal 64 dihapus melalui ketentuan pasal 89 ayat 16 RUU Cipta kerja. Pada lingkungan produksi berbasis digitalisasi jelas akan sangat banyak jenis dan sifat pekerjaan yang dapat dikerjakan dengan alih daya. Hal ini akan menghilangkan aturan yang ketat atas jenis Core Business kepada siapapun tanpa aturan ketenagakerjaan. Jika sebelumnya ada larangan untuk perusahaan alih daya tidak dapat mempekerjakan buruhnya pada produksi pokok, kini tidak ada aturan yang ketat tentang hal tersebut. Aturan yang ditentukan pada pasal 65 UUK, kini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Situasi ini membuka ruang yang sangat luas akan lahirnya industri-industri yang sepenuhnya bekerja dalam rangkaian atau jaringan rantai alih daya atau outsourcing. Industri yang tidak memiliki inti industri yang jelas, dimana modal yang lebih kecil akan cenderung berkembang dengan resiko yang lebih besar. Model industri yang rapuh, fleksibel dan rendah dalam melindungi para pelaku industri khususnya tenaga kerja yang dilibatkan di dalamnya. RUU Cilaka cenderung terlalu optimis melihat perkembangan model industri tersebut memberikan penambahan nilai dan kesempatan berusaha ketimbang resiko yang akan diderita kebayakan rakyat yang akan terlibat didalamnya.
Perihal jam kerja. Salah satu ciri industri pada era digital adalah sifat lentur yang dimilikinya. RUU Cilaka melakukan revisi pasal 77 UUK, dimana sebelumnya memiliki aturan dan ketentuan waktu kerja yang lebih pasti menjadi dilonggarkan. Pasal 89 RUU Cilaka melalui ketentuan pada ayat 20 membuat perusahaan dapat menentukan waktu kerja melebihi waktu 8 jam kerja sehari dan 40 jam seminggu dengan pertimbangan skema kerja yang selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini membuka ketidakpastian yang terlihat cenderung akan memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha (investor) ketimbang bagi para pekerja.
Menghadapi perubahan yang sangat signifikan terutama soal transformasi model industrialisasi berbasis digital ini, pemerintah kelihatannya menyadari penuh akan banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat efesiensi pekerjaan dalam industri. PHK massal akibat transformasi teknologi ini hanya diberikan jaminan yang sangat pragmatis. Hanya dengan mempersiapkan uang dalam bentuk jaminan kehilangan pekerjaan dan uang penghargaan. Sebuah model yang dengan mudah lebih memberikan keleluasaan bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan ruang untuk melakukan PHK dengan kompensasi yang rendah terhadap para pekerja. Aturan RUU Cilaka pasal 90 tentang perubahan UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan sosial merubah 1 pasal dan menambah 5 pasal (46A, 46B, 46C, 46D, dan 46E) diantara pasal 46 dan 47 yaitu soal jaminan kehilangan pekerjaan. Melalui pasal ini pemerintah berharap adanya jaminan manfaat yang diterima pekerja dari iuran jaminan setelah terdampak pada kehilangan pekerjaan. Begitu juga melalui pelatihan dan sertifikasi, uang tunai serta fasilitasi penempatan. Namun yang menjadi peserta yang megikuti pelatihan atau jaminan terebut menurut pasal 46 C adalah pada pekerja yang telah membayar iuran. Beban perusahaan menjadi sangat rendah, terlebih negara yang tidak terbebani atas potensi kebijakan ini.
Jaminan pelatihan kerja, uang dan sertifikasi sebagai bagian dari proses peralihan industri bisa digaris bawahi dilakukan atas pembiayaan para pekerja sendiri. Berlaku bagi mereka yang telah membayar iuran. Beban perusahaan menjadi lebih kecil, sebaliknya jaminan terhadap pekerja pasca peralihan sulit diukur atau bahkan boleh dibilang akan sangat kecil. Bagi perusahaan yang mempekerjakan banyak tenaga jerja hal ini merupakan kesempatan yang melegakan dibandingkan pada pekerja. Apa yang diperlihatkan pemerintah dalam penanganan Covid-19 dalam memberikan pelatihan lapangan pekerjaan bagi peserta kartu pra kerja memperlihatkan model dan kemampuan serta efektifitas program sejenis yang akan dilakukan bagi program peralihan ini.
Dalam perubahan UU No.24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) RUU Cilaka dalam pasal 91 merubah 2 pasal UU BPJS. Kebijakan atas BPJS sebagai pelaksana jaminan sosial ketentuan hanya menambah soal Jaminan kehilangan pekerjaan pada pasa 6 dan 9 UU BPJS. Jika kita lihat dalam prakteknya sangat banyak ketentuan yang harus diubah dan ditambah dalam UU BPJS namun itu kemudian oleh RUU Cilaka hanya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), berbeda dengan 4 jaminan lawas yang sudah ada sebelumnya.
Guna menambah persiapan, pemerintah kembali mengatur ketentuan soal penghargaan dalam pasal 92 soal memberi uang penghargaan kepada buruh. Dengan beberapa ukuran waktu kerja, pemerintah meminta kepada perusahaan untuk memberi uang penghargaan. Dengan 6 ayat ini pemerintah berupaya memberikan persiapan pada buruh yang akan kehilangan kerja mendapat uang penghargaan. Aturan ini kemudian akan diatur oleh peraturan pemerintah. Sekali lagi dari banyak pola yang dilakukan dalam RUU ini, yaitu menyerahkan banyak persoalan melalui PP dimana hal tersebut tdaik memberikan kejelasan. Frame peraturan dilakukan melalui FUU Cilaka, beberapa persoalan penting dilakukan melalui PP, dimana kebanyakan rakyat, khususnya para pekerja meragukan hal tersebut. RUU Cilaka ini mengamdung jebakan untuk disetujui, seperti ‘membeli kucing dalam karung’.
Problem lain yang muncul adalah persoalan upah yang di tentukan atas “kemampuan” perusahaan yang dibuat bersama dengan buruh melalui mekanisme dialog “bipartit”. Ini lebih memperlonggar aturan tentang perlindungan atas upah buruh seperti dalam pasal 90 A perubahan UU Cilaka. Sehingga persoalan Upah di luar upah pokok seperti Lembur, THR, dan tunjangan lainnya akan sangat sulit didapatkan buruh. Perubahan dalam pasal 88 dalam Omnibuslaw, pemerintah menghilangkan pengawasan upah dengan tidak lagi menentukan jaring pangaman upah buruh yang selama ini dikenal dengan Upah minimum Kabupaten/Kota serta tentang upah sektoral di Kabupate/Kota. Aturan ini kemudian di perlemah kembali dalam Pasal 90B, yang mengkecualikan pada UMKM. Bahwa untuk mengupah buruh perusahaan harus membuat skala upah yang akan di dialogkan, aturan yang membingungkan kembali dibuat dengan skema satuan waktu pada perubahan pasal 92, dan bisa diubah sesuai kemampuan perusahaan seperti pasal 92 A. Ini semakin melemahkan posisi buruh, terutama perlindungan upah buruh. Karena di lapangan selama ini banyak penundaan pemberian upah buruh. Ini dilegitimasi kembali dengan hilangnya sanksi pidana pada yang memberikan upah buruh di bawah Upah Minimum yang telah ditentukan dengan dihapusnya pasal 90.
Selain soal upah dan status pekerja (PKWT/PKWTT) yang menjadi masalah lain adalah soal waktu istirahat dan cuti pada pasal 79. Perubahan itu membuat merubah skema kerja seperti bekerja model shift karena pekerjaan pada waktu 6 hari kerja dalam seminggu. Aturan tegas soal istirahat panjang yang sebelumnya diatur pada UU Ketenagakerjaan telah dihilangkan. Soal hak pengupahan atas cuti juga mengalami pelonggaran. Jika pada pasal 93UUK bahwa pengusaha harus tetap memberikan upah kepada pekerja yang sedang sakit, mengalami haid bagi perempuan, sedang menikahkan/mengkhitankan/membabtis atau istri sedang sakit, melahirkandan keguguran serta orangtua atau anggota keluarga meninggal tidak di atur secara tegas. Karena derajatnya diturunkan dalam peraturan pemerintah. Untuk itu masa-masa istirahat dan cuti akan semakin sulit didapatkan oleh buruh kedepan.
Melalui RUU Cilaka ini terlihat bahwa pemerintah dengan sadar akan melakukan perubahan aturan sehubungan dengan tenagakerja, mengikuti kepentingan investasi dan perubahan digital secara global yang sedang terjadi, termasuk model ekonomi digital. Rencana yang terlihat pada RUU Cilaka ini cukup jelas membuat aturan ketenagaakerjaan menjadi sangat fleksibel. Sementara kenyataan di lapangan saat ini telah banyak perusahaan mulai melakukan tekanan kepada para pekerja untuk mengakhiri pekerjaan mereka dengan skema pensiun dini, seperti fakta yang terjadi pada beberapa perusahaan di Jabodetabek. Penambahan mesin-mesin modern telah berdampak pada terjadinya pengurangan tenaga kerja. Perubahan oleh industri Indonesia yang umumnya masih menggunakan teknologi rendah dengan mengandalkan tenaga kerja manusia.
***
[1]https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0/
[2]https://www.supplychaindive.com/news/smart-technology-higher-labor-productivity-manufacturing/563511/
[3] Framing Paper IGJ RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, April 2020, dapat diunduh dari link: https://igj.or.id/framing-paper-igj-ruu-omnibus-cipta-lapangan-kerja/
[4] World Development Report 2020, Bank Dunia, Hal. 15
[5]https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/Default.aspx hal 117
[6]https://www.oecd.org/sti/inno/2102514.pdf
_______________________________________________
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Email: igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Website: www.igj.or.id
Download>>>Analisis Isu Ketenagakerjaan Omnibus Law_Adopsi pasar tenaker berbasis digital