• id Indonesia
  • en English
Kamis, Maret 30, 2023
  • TENTANG KAMI
Indonesia for Global Justice
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
“A Global Justice Order through Social Movements”s
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • ARTICLE MONITORING
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
Home Publikasi Pres Release & Statement

Ekstraksi Ekonomi Biru Mendorong Perampasan Ruang Laut

Juni 30, 2022
in Pres Release & Statement
Reading Time: 5 mins read
Ekstraksi Ekonomi Biru Mendorong Perampasan Ruang Laut
1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Siaran Pers
Indonesia Focal Point for Corporate Accountability

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Kritisi UN Ocean Conference 2022

Jakarta, 30 Juni 2022 — Kelompok Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Indonesia Focal Point for Corporate Accountability (Koalisi IFP) mengingatkan bahwa agenda tata Kelola Ekonomi Biru Global yang saat ini dibahas dalam Konferensi Laut Global PBB akan semakin mendorong perampasan ruang laut dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan masyarakat adat.

Hal ini karena, penyusunan tata Kelola laut dunia tersebut didominasi oleh intervensi kepentingan korporasi multinasional yang hendak memonopoli dalam rangka ekstraksi sumber daya laut seluas-luasnya. Komersialisasi oleh korporasi transnasional ini juga mengindikasikan tidak adanya peran negara dalam pengawasan dan penindakan terhadap komersialisasi besar-besaran ini. Koalisi IFP mendesak para pihak di lapangan internasional untuk segera mendesakkan tanggung gugat (liability) atas kerusakan ruang dan sumber daya laut yang diakibatkan oleh komersialisasi besar-besaran dari agenda ekonomi biru global.

Pertemuan UN Global Ocean Conference pada 27 Juni hingga 1 Juli 2022 di Lisbon, Portugal, mengusung tema “Scaling up ocean action based on science and innovation for the implementation of Goal 14”. Namun, dapatkah kita mengharapkan Konferensi Kelautan PBB menjawab masalah dengan cara yang berkeadilan.

Perkembangan Dari Konferensi Laut Global
Carsten Pedersen, Peneliti Transnational Institute, menjelaskan ruang kemudi politik ekonomi kelautan global saat ini dikendalikan dengan kuat oleh 100 perusahaan transnasional (TNCs) yang menyumbang 60% dari modal yang terakumulasi dalam ekonomi laut, dimana 86% nya berasal dari perusahaan minyak dan gas lepas pantai dan industri perkapalan1.

“Kooptasi kuat perusahaan multinasional tersebut dalam pengambilan keputusan dalam sistem PBB telah telah memperparah praktek perampasan laut. Mereka banyak berbicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru. Bahkan, mereka membentuk Blue Action Fund sebesar 1 Miliar US Dollar, yang sebenarnya hanya akan menjadi “Blue-Washing” dan semakin me-legitimasi lepasnya tanggung jawab korporasi terhadap hak-hak masyarakat korban yang terlanggar dan kerusakan lingkungan serta punahnya ekosistem laut yang ditimbulkan,” tegas Carsten menyampaikan laporan dari Lisbon.

Bahkan, proses pembahasan yang berlangsung di Lisbon sangat mengecewakan. Jesu Rathinam, dari National Fisherworkers Forum, India, menjelaskan bahwa pembahasan tata kelola laut di forum ini telah bergeser dari isu perlindungan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, kearah ekstraksi ekonomi biru.

“Isu investasi dan pembiayaan ekonomi biru mendominasi dalam rangka memompa keuntungan. Sebagian besar dari perusahaan wind energy, solar energi, bahkan perusahaan migas lepas pantai. Bahkan, Deklarasi Kawasan Lindung Laut diabaikan dimana perusahaan-perusahaan ini dapat melakukan kegiatan eksplorasi migas di kawasan lindung laut. Sedangkan, di kawasan lindung laut, nelayan saja tidak boleh menangkap ikan disana”, ungkap Jesu.

Strategi Ekonomi Biru Indonesia Tidak Berpihak Pada Masyarakat Pesisir
Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, menegaskan bahwa tata kelola laut di Indonesia pun disusun untuk melayani kepentingan korporasi skala besar.

Agenda strategi ekonomi biru Indonesia yang akan disampaikan oleh Pemerintah Indonesia di forum UN Global Ocean Conference jauh dari perlindungan masyarakat pesisir. Salah satunya yaitu kebijakan di bawah payung ekonomi biru yang sangat menguntungkan korporasi, yaitu penangkapan ikan terukur. Kebijakan ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang akan memberikan karpet merah kepada korporasi skala besar untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan.

“Padahal jika merujuk pada status pemanfaatan sumber daya ikan, statusnya merah dan kuning. Artinya sumber daya ikan Indonesia sudah fully exploited dan over exploited. Kebijakan yang didorong pemerintah seharusnya memulihkan bukan mendorong eksploitasi. Di dalam forum ini, seharusnya Pemerintah Indonesia mengevaluasi tata kelola laut Indonesia yang selama ini memprioritaskan kepentingan korporasi, tetapi pada saat yang sama tidak mensejahterakan masyarakat pesisir”, imbuh Parid.

Lebih lanjut, Parid menjelaskan terkait dengan kawasan konservasi laut, WALHI menilai kawasan ini akan mudah diubah untuk kepentingan proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan dan juga diubah untuk kawasan neo-ekstraktif seperti proyek pariwisata skala besar. Hal ini telah disebut jelas dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan.

Ini adalah bentuk perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbing) yang dilakukan oleh pemerintah. Ocean grabbing adalah perampasan kontrol dan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang menjadi hak masyarakat, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat serta merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, menjelaskan bahwa “pertemuan UN Global Ocean Conference, merupakan satu dari berbagai pertemuan untuk mengundang negara maju untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang berbasis korporasi”

Hal ini dapat dilihat dari regulasi yang disusun seperti Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang menjadi legal affirmative untuk penguasaan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan modal dan bentuk peminggiran masyarakat lokal secara sah melalui regulasi. Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia yaitu mendorong Marine Protected Area serta pengembangan kawasan konservasi, rehabilitasi pesisir dan laut, pengembangan SKPT di 7 pulau dan pengurangan sampah. Lima (5) komitmen ini dapat dijadikan kedok sebagai pengusiran masyarakat pesisir dan pulau-pulau dari ruang hidup yang telah dikelolanya secara turun temurun,” jelas Susan.

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) menyampaikan bahwa apa yang dibahas dalam pertemuan UN Global Ocean Conference semakin memperkuat kontrol korporasi pada penguasaan sumber daya laut global dan nasional, dan ini sejalan dengan kegagalan WTO dalam menghasilkan keputusan tentang penghapusan subsidi perikanan khususnya yang diberikan oleh negara-negara industri maju pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-13 di Jenewa pada 13-17 Juni yang lalu.

“Artinya dua pertemuan internasional ini telah melegitimasi kepemilikan laut dari kepemilikan publik menjadi closed ownership (kepemilikan tertutup). Padahal, pemeran utama yang harus dijaga hak dan kedaulatannya adalah nelayan kecil dan nelayan tradisional,” ucap Maulana.

Sebagai informasi, Koalisi Indonesia Focal Point for Binding Treaty and Corporate Accountability dibentuk pada tahun 2015 untuk terlibat dalam pelaksanaan mandat Resolusi 26/9 UNHRC mengenai negosiasi instrumen internasional yang mengikat untuk mengatur perusahaan transnasional. Instrumen ini penting untuk mendesak adanya mekanisme pertanggung-jawaban hukum korporasi yang melakukan berbagai pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan, serta mendesak tanggung

jawab Negara, baik host country maupun home country, yang telah memberikan legitimasi atas kejahatan bisnis korporasi multinasional.


Anggota Koalisi IFP (Indonesia Focal Point for Corporate Accountability):
WALHI, IGJ, KRuHA, IHCS, KIARA, FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, ELSAM, Lokataru, IILH-apintlaw

Informasi lebih lanjut, hubungi:
Rahmat Maulana Sidik,

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)
e-mail : rahmat.maulana@igj.or.id

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI
e-mail : parid.ridwanuddin@walhi.or.id


Susan Herawati
Sekjend KIARA
e-mail : susanherawati84@gmail.com

Rachmi Hertanti
Peneliti Transnational Institute
e-mail : r.hertanti@tni.org

PDF 📄
Previous Post

Putusan WTO pada TRIPS Agreement Tidak Akan Berdampak Pada Akses Kebutuhan COVID-19

Next Post

KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL DALAM PERUNDINGAN CEPA UNI EROPA – INDONESIA

Related Posts

KEPAL : DPR SAHKAN PERPPU CIPTA KERJA, INI MERUPAKAN PELANGGARAN KONSTITUSI
Pres Release & Statement

KEPAL : DPR SAHKAN PERPPU CIPTA KERJA, INI MERUPAKAN PELANGGARAN KONSTITUSI

Maret 26, 2023
Intervention on US-IPEF at Bali Nusa Dua
Kampanye

Intervention on US-IPEF at Bali Nusa Dua

Maret 21, 2023
Load More
Next Post

KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL DALAM PERUNDINGAN CEPA UNI EROPA - INDONESIA

covid-19 widget

Popular Post

  • Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    Ahli Tekankan Pentingnya Persetujuan DPR dalam Perjanjian Internasional

    2696 shares
    Share 1078 Tweet 674
  • Penghapusan Status B3 FABA dan SBE dalam PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan Sustainable Trade

    2682 shares
    Share 1073 Tweet 671
  • Penenggelaman Kapal Asing

    2237 shares
    Share 895 Tweet 559
  • DIPLOMASI VAKSIN COVID-19 INDONESIA: “Tantangan Akses Publik Atas Vaksin dan Layanan Kesehatan Berkeadilan”

    1195 shares
    Share 478 Tweet 299
  • Isu Lingkungan Hidup dan Iklim di WTO: Untungkan Negara Maju, Rugikan Negara Berkembang

    1153 shares
    Share 461 Tweet 288
  • PERDAGANGAN & INVESTASI
  • BISNIS & HAM
  • DIGITAL EKONOMI
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BERITA
    • IGJ ON MEDIA
    • JARINGAN
    • KEGIATAN IGJ
    • KUMPULAN BERITA
  • PUBLIKASI
    • BUKU
    • PRES RELEASE & STATEMENT
    • ARTICLE MONITORING
    • BRIEFING PAPER
    • INFOGRAFIS
  • OPINI
  • id Indonesia
  • en English

Indonesia For Global Justice© 2020

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used.