KBRN, Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi, mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty) dengan Singapura karena penandatanganan perjanjian tersebut mengancam kedaulatan negara.
Desakan ini dilakukan untuk menyikapi penandatanganan Perjanjian BIT antara Indonesia dengan Singapura pada Kamis lalu (11/10/2018) di Bali disela-sela pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia.
Perjanjian BIT memuat salah satu instrument Bank Dunia dalam memberikan perlindungan maksimum kepada Investor asing dibawah Konvensi ICSID. Instrumen ini dikenal dengan mekanisme gugatan investor asing terhadap negara atau dikenal dengan istilah Investor to State Dispute Settlement (ISDS). Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa penandatanganan BIT adalah sebuah kemunduran dari kebijakan yang pernah diambil Pemerintah Indonesia pada 2013 untuk mereview dan menghentikan pemberlakuan BIT.
“Pemerintah telah mengingkari komitmennya kepada rakyat, padahal secara sadar diakuinya jika BIT dan ISDS itu merugikan Indonesia bahkan dapat mengesampingkan Konstitusi dan undang-undang nasional,” tegas Rachmi dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Koalisi ini menilai penandatanganan yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia berada dibawah tekanan sistem neo-liberal yang dianut oleh IMF dan Bank Dunia. “Ini semakin memperlihatkan nuansa keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan impunitas korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat,” terang Muhammad Reza Koordinator dari KRuHA.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy melihat BIT akan memberikan perlindungan hukum dan hak yang sangat kuat bagi investor, melampaui kedaulatan negara dalam upaya melindungi warganya. Termasuk dalam hal tanggungjawab Negara untuk mengeluarkan regulasi pada sektor di mana perempuan mengalami dampak yang sangat signifikan sementara aturan yang sudah ada masih lemah.
“Tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” pungkas Marthin Hadiwinata, dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia(KNTI), menyambut pandangan Puspa Dewy.
David Sitorus, Ketua IHCS juga memandang bahwa BIT Indonesia-Singapura diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR RI sehingga fungsi kontrol rakyat/DPR atas kekuasaan Pemerintah telah hilang. Baginya hal ini telah bertentangan dengan konstitusi. Maka Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi menyatakan secara tegas penolakannya terhadap BIT Indonesia-Singapura dan mekanisme ISDS yang diatur dalam perjanjian tersebut. Bahkan mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan tidak meratifikasi BIT Indonesia-Singapura. Serta menuntut agar Pemerintah Indonesia untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif. (Rel)