Membongkar Watak Rezim Investasi Kolonial
Investasi adalah pengeluaran di masa sekarang untuk meningkatkan kesejahteraan di masa datang. Namun yang terjadi dengan investasi asing di Indonesia justru merupakan kelanjutan dari rezim kolonial yang merampas kekayaan rakyat. Buku Investment Colonial Model, karya Salamuddin Daeng Peneliti Institute for Global Justice (IGJ) memaparkan secara rinci bagaimana praktek investasi asing di Indonesia.
Latar Belakang
Keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Nusa Tenggara Barat, menjadi contoh yang pas dari penerapan investasi model kolonial yang terjadi di Indonesia. Realita yang terjadi hingga saat ini terdapat hubungan yang tidak pernah harmonis antara PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan masyarakat Sumbawa, NTB, khususnya Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Faktornya tentu adalah masalah bagi hasil pertambangan yang tidak adil antara rakyat Sumbawa sebagai pemilik tanah, dengan “imperium” Newmont yang mengangkangi dan menguras tanah Sumbawa tersebut.
Kemudian masalah berkembang ke arah yang semakin merugikan masyarakat Sumbawa. Yang paling dikeluhkan adalah kenaikan harga bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini disebabkan kehadiran Newmont yang membutuhkan berbagai bahan kebutuhan tersebut telah mengambil jatah yang sebelumnya dikonsumsi rakyat Sumbawa Barat. Akibatnya permintaan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga hargapun menjadi naik, yang akhirnya menyebabkan penduduk Sumbawa tidak memiliki daya beli. Dengan demikian terjadi proses pemiskinan terhadap rakyat Sumbawa Barat.
Proses pemiskinan ini lalu menghasilkan masyarakat yang kekurangan gizi dan tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pendidikan. Dengan demikian fakta yang terjadi dari kehadiran Newmont terhadap masyarakat setempat adalah menghasilkan kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini semakin diperparah oleh contoh buruk dari prilaku pejabat daerah dan tokoh masyarakat setempat yang mudah untuk “dikendalikan” oleh Newmont.
Kejadian yang terjadi di Sumbawa Barat tersebut ternyata juga terjadi di berbagai daerah lainnya di Indonesia, dimana ada perusahaan Multi National Corporation (MNC) yang beroperasi. Sehingga bila ditelusuri lebih dalam, maka inti dari permasalahan tersebut adalah investasi asing. Untuk itu Salamuddin Daeng (peneliti dari IGJ) kemudian meneliti masalah investasi asing tersebut yang dituangkan dalam buku yang berjudul Investment Colonial Model.
Buku Investment Colonial Model
Buku ini awalnya dipakai sebagai bahan untuk menggugat Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) ke Mahkamah Konstitusi. Karena banyak sekali pasal-pasal dan ayat-ayat dari UU PM tersebut yang jauh dari harapan rakyat Indonesia.
Terdapat dua hal baru yang paling sulit diterima rakyat Indonesia dari UU tersebut, pertama yaitu kemudahan bagi investasi asing yang lebih luas dalam hal penguasaan tanah skala besar, insentif perpajakan, kemudahan transfer keuntungan, dan repatriasi aset-asetnya dan peluang bagi investor untuk menguasai sektor-sektor strategis di Indonesia. Kedua adalah rencana pemerintah yang akan membuat kawasan perdagangan bebas dalam kawasan ekonomi khusus (KEK). Dimana pemerintah akan memberikan fasilitas penguasaan tanah, dan keringanan pajak yang jauh lebih besar kepada investor, khususnya pemodal asing.
Sejarah penanaman modal asing merupakan bentuk pelanggengan cara-cara lama dalam memperlakukan investasi. Contohnya adalah pengaturan penguasaan tanah yang menjadi aset terbesar dalam investasi terus diperlonggar. Padahal di masa kolonial, Penjajah Inggris dengan Gubernur Jendralnya Sir Stamford Raffles membatasi pemodal swasta menguasai lahan hingga 45 tahun. Dimasa penjajahan Hindia Belanda hanya boleh menguasai maksimal 75 tahun. Namun pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden SBY justru memberikan keleluasaan hingga 95 tahun melalui UU No: 25 tahun 2007.
Akibatnya total luas tanah yang telah diberikan pada investor telah mencapai 175 juta hektar untuk kontrak production sharing migas, kontrak karya pertambangan mineral, kontrak kerja pertambangan batubara, HGU perkebunan, dan HPH kehutanan. Jika luas daratan Indonesia seluas 195 juta ha, maka itu artinya penguasaan modal asing atas tanah di negeri ini setara dengan 93 persen luas daratan negara ini. Selain itu juga terjadi banyak sekali tumpang tindih perijinan, seperti yang terjadi di Kalimantan, yaitu ijin pengolahan hutan, ijin perkebunan sawit dan ijin pertambangan. Saat ini saja penguasaan asing terhadap migas mencapai 85%, batubara 75%, dan perkebunan 65%. Ditambah dengan penguasaan asing diperbankkan mencapai 65%, padahal bank merupakan jantung perekonomian suatu negara.
Investasi asing pada sektor pertambangan di Indonesia merepresentasikan bentuk nyata dari kolonialisme dengan cirri-ciri : Pertama, investasi tersebut memakai lahan yang sangat luas, menyebabkan terputusnya akses masyarakat lokal terhadap sumber ekonominya yaitu tanah, hutan dan perairan laut. Kedua, seluruh kebutuhan investasi seperti barang modal, bahan baku berasal dari luar negeri. Ketiga, investasi tersebut hanya bertujuan mendapatkan bahan mentah dari mengeruk bumi Indonesia untuk kemudian proses pengolahannya dibuat dinegaranya sendiri. Sehingga tidak terjadi proses industrialisasi yang membuat multiplier effect bagi rakyat Indonesia.
Ini berarti meskipun investasi pertambangan membuat ekspor raw material yang banyak, menghasilkan PDB yang besar, dan perolehan pajak yang tinggi, namun pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat, justru menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas (low quality of growth). Investasi asing di sektor pertambangan berlangsung luas dan masif namun tidak memiliki korelasi positif dengan kesejahteraan rakyat.
Kasus Newmont Nusa Tenggara
Pada kasus Newmont di NTB sejak awal kedatangannya saja, Newmont telah mendapatkan fasilitas keringanan biaya masuk impor barang-barang modal dan insentif pajak. Artinya barang-barang modal tersebut didatangkan dari luar bukan dari hasil dalam negeri. Dan insentif pajak telah memberikan pendapatan yang semakin besar kepada Newmont, sementara pemerintah pusat dan daerah hanya sisa-sisa keuntungan yang diberikan dari belas kasih Newmont.
Terhadap penguasaan tanah, pemerintah telah memberikan kontrak karya kepada Newmont hingga mencapai 1,127 juta ha atau setara 55% dari luas daratan NTB, yakni 2,015 juta ha. Dengan perincian Blok I-IV di Pulau Lombok dan Blok V-VII di Pulau Sumbawa. Di Blok V Batu Hijau saja penguasaan Newmont mencapai 58.830 ha yang berarti menguasai 32% wilayah Kabupaten Sumbawa Barat.
Investasi tambang Newmont memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB pada tahun 2008 mencapai Rp 10,9 triliun, dengan pendapatan perkapita penduduk KSB sebesar Rp 138 juta/tahun. Namun kenyataannya Rp 10,2 triliun atau 94,07% pendapatan propinsi NTB dihasilkan dari produksi Newmont, dengan demikian pendapatan perkapita penduduk KSB yang sebesar Rp 138 juta/tahun hanya ilusi belaka. Terbukti bahwa KSB merupakan salah satu kabupaten penerima beras raskin terbesar di Indonesia. Dan jumlah pekerja formal di KSB hanya sebanyak 10.986 jiwa atau sekitar 10% dari jumlah penduduk daerah itu.
Bila dihitung, total modal investasi awal dari mega proyek di Batu Hijau mencapai USD 1,9 Milyar atau sekitar Rp 19 Trilyun pada 1997. Dengan pengapalan pertama dari hasil di Batu Hijau dilakukan pada Desember 1999. Pada tahun 2005, Newmont memperoleh keuntungan sebesar USD 1,28 Milyar. Nilai saham Newmont pada 2009 mencapai USD 4,8 Milyar (Rp 48 Trilyun). Sekarang bila pihak KSB meinginkan untuk memperoleh 24 persen saham Newmont, maka nilainya sudah mencapai Rp 8,6 Trilyun. Ini berarti untuk memiliki sebagian kecil kekayaan alam milik sendiri harus membelinya dengan harga yang sangat besar pada pihak asing.
Mencari Solusi Terbaik
Pada Kasus Newmont, sesuai Kontrak Karya (KK) tahun 1986, 80% saham NNT dikuasai Newmont Venture Limited (NVL, anak usaha Newmont Mining Corp.) dengan Sumitomo Jepang yang tergabung dalam Nusa Tenggara Partnership (NTP) dan 20% sisanya dikuasai swasta nasional, Pakuafu Indah (PI).
Sesuai KK, NTP diwajibkan mendivestasikan 31% sahamnya. Dari 31% saham yang didivestasi hingga tahun 2010, sebanyak 24% saham NNT telah dimiliki oleh konsorsium Multi Daerah Bersaing (MDB), dan 7% sisanya telah dibeli pemerintah pusat melalui (Pusat Investasi Pemerintah). MDB adalah konsorsium milik Multicapital (75%) dan Daerah Maju Bersaing, DMB (25%). Sedang DMB sendiri adalah BUMD yang didirikan Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa dan Pemkab Sumbawa Barat. Dengan tuntasnya proses divestasi, komposisi pemegang saham NNT menjadi 49% dikuasai asing (NVL) dan 51% dikuasai pemodal dalam negeri, yang terdiri dari 24% MDB, 20% PI dan 7% pemerintah pusat.
Masalah kemudian timbul karena kasus kepemilikan 2,2% saham PI yang dibeli oleh PT Indonesia Masdaga Investama (IMI) dengan menggunakan dana dari Newmont Holding. Akibatnya Newmont Holding, dalam laporan kepada Securities Exchange Commission menyatakan bahwa Newmont Holding telah mendapatkan hak suara sebesar 2,2% di NNT yang membuat perusahaan asing tersebut kembali mendominasi kepemilikan tambang NNT dengan menguasai 51,2%.
Fakta ini membuktikan bahwa kembalinya hak suara kepada pihak asing melanggar Pasal 24 ayat 5 Kontrak Karya. Dengan demikian solusi terbaik yang diminta dari masyarakat Sumbawa terhadap Newmont Holding dengan induk perusahaan NVL di Amerika yang dengan sengaja melanggar kontrak dan aturan yang berlaku adalah harus terkena sanksi default, pembatalan kontrak.
Selanjutnya demi kepentingan strategis negara, masyarakat pemerhati tambang dan rakyat Sumbawa meminta agar pemerintah segera menggalang pembentukan konsorsium nasional, gabungan saham 7% pemerintah pusat, 20% PI (termasuk 2,2% saham IMI) dan 24% MDB agar dapat mengendalikan Newmont Nusa Tenggara.
Dengan cara demikian maka pihak nasional dapat menjadi pemegang mayoritas saham PT NNT dan dapat menentukan arah kebijakan pertambangan sehingga memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. (NI)