GERAK LAWAN – Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme
IGJ (Indonesia for Global Justice), Bina Desa, SPI (Serikat Petani Indonesia), SP (Solidaritas Perempuan), API (Aliansi Petani Indonesia), IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), CSF (Climate Society Forum), KAU (Koalisi Anti Utang), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), IHI (Institut Hijau Indonesia), LIMA (Lingkar Madani untuk Indonesia), JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), AJI Jakarta (Aliansi Jurnalis Independen), FPPI (Front Perjuangan Pemuda untuk Indonesia), LS-ADI (Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia), SNI (Serikat Nelayan Indonesia), KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), SBI (Serikat Buruh Indonesia), FSPSI Reformasi, ASPPUK (Asosiasi Perempuam Pendamping Pengusaha kecil), PBHI Jakarta (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia), Universitas Al-Azhar Indonesia (Dosen jurusan Hubungan Internasional), AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia), KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), APPI (Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia), Migrant Care, Institut Perempuan, LBH Jakarta.
Hasil KTM 9 WTO Bali
“Menenggelamkan Ekonomi Rakyat, Memperparah Korupsi, Menyandera Presiden 2014”
Jakarta, 9 Desember 2013. Koalisi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) menolak Paket Bali WTO dan mengecam peran aktif Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam meloloskannya. Kesepakatan tersebut telah meletakkan tujuan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan keberlanjutan lingkungan pada prioritas terendah, karena potensinya memperbesar praktek korupsi dan menjadi sandera politik pemerintahan baru pasca 2014.
Pada 7 Desember akhir pekan lalu, WTO mengumumkan disepakatinya Paket Bali oleh 160 negara anggota. Setelah terjadinya skandal politik tukar-guling (trade-off) untuk menyelesaikan dua isu: Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation) dan Proposal Public Stockholding for Food Security dalam Perjanjian Pertanian.
Hasilnya, Perjanjian Trade Facilitation berhasil diadopsi dengan mengakomodasi semua keinginan negara industri mendapatkan kemudahan akses impor dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonominya yang kini tengah terjerembab dalam krisis ekonomi berkepanjangan. Hal ini dapat terlihat dalam kesepatan Trade Facilitation menyepakati penghapusan hambatan dalam aturan kepabeanan sehingga mempercepat arus barang impor dan rendah biaya serta reformasi perpajakan. Hal ini semata-mata agar komoditas impor sampai di tangan konsumen dengan lebih murah. Tidak perlu mempermasalahkan apakah hal tersebut diproduksi di dalam negeri atau di impor. Tindakan ini bisa membuat industri dalam negeri sekarat, dan memperluas bangkrutnya sektor ekonomi rakyat di Indonesia.
Sementara keberhasilan meloloskan usulan public stockholding menjadi tanda keberhasilan negara insdustri merebut kedaulatan pangan negara berkembang. Mereka kini lebih leluasa meningkatkan produksi pertanian domestiknya dan meningkatkan pemberian subsidi kepada petani mereka.
Sayang, lemahnya soliditas dan kepemimpinan negara Anggota G33 telah mendorong lahirnya kesepakatan Proposal Agriculture dengan solusi “Peace Clause”. Yakni, selama empat tahun ke depan negara industri berjanji menahan diri tidak menggugat negara berkembang yang menambah pemberian subsidi kepada petaninya. Ini kabar buruk bagi petani Indonesia. Sebab pemerintahnya dilarang melakukan perlindungan bagi petani kecil dari ancaman liberalisasi, apapun yang terjadi termasuk jika mengalami gagal panen karena dampak perubahan iklim.
Negara industri, dengan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) di belakangnya memenangkan perundingan WTO, khususnya melalui Trade Facilitation. Paket Bali hanya merupakan janji kosong bagi kepentingan negara berkembang dan terbelakang. Sebab banyak ketidakjelasan aturan khususnya terkait komitmen negara industri, sebaliknya terlalu banyak komitmen yang mengikat bagi negara berkembang dan terbelakang.
Indonesia negara paling dirugikan dengan Paket Bali. Tidak saja karena telah mengeluarkan ongkos untuk mempersiapkan konferensi tersebut. Tapi, secara nyata hasilnya tak membantu kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang terbelenggu perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Saat ini, nilai impor pangan Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 12 miliar lebih. Atau setara dengan 12,3 persen cadangan devisa RI per Oktober 2013. Kita juga kerap digugat negara-negara anggota WTO. Terhitung 7 kasus gugatan, dengan perkara aktif sebanyak 3 kasus. Gugatan-gugatan yang membuat Indonesia tak beranjak dari kelas negara pengekspor bahan mentah pertambangan dan pasar raksasa bagi barang-barang negara Indistri.
Perjanjian perdagangan bebas, baik dalam kerangka WTO maupun Bilateral/Regional Free Trade Agreement sesungguhnya merupakan praktek mega korupsi dalam bentuk kebijakan yang sangat merugikan. Semua perjanjian-perjanjian tersebut dibuat oleh sebuah pemerintahan yang dengan sadar melangkahi amanat Pancasila dan UUD 1945. Selama ini barang-barang impor menjadi salah satu pintu utama korupsi di Indonesia. Salah satunya kasus impor daging sapi yang melibatkan petinggi Partai keadilan Sejahtera. Ke depan, amatlah terang benderang, Paket Bali akan memperlebar pintu bagi praktek korupsi dan perampokan sumber daya alam bernilai triliunan rupiah. Akan semakin sulit sistem hukum di Indonesia mengawasi dan membendung praktek pada rezim perdagangan dan investasi yang bebas ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah merendahkan martabat bangsa Indonesia, dengan membiarkan Paket Bali disepakati atas peran aktif Pemerintah Indonesia. Rezim SBY telah mewariskan kerusakan ekonomi nasional dengan mendorong secara massif sistem ekonomi liberal. Oleh sebab itu:
1. Kami menyerukan kepada petani, nelayan, UMKM, dan buruh untuk menolak Paket Bali
2. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk tidak memilih calon pemimpin indonesia yang mendorong sistem perdagangan bebas di Indonesia, khususnya yang Terlibat dalam meloloskan paket Bali WTO.
3. Mengajak rakyat untuk memperkuat solidaritas dan gotong royong untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Kontak
1. Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia): 0811655668
2. Riza Damanik (Direktur Indonesia for Global Justice): 0818773515
3. Dani Setiawan (Ketua Koalisi Anti Utang): 0812 9671744
4. Puspa Dewi (Solidaritas Perempuan): 085260241597
5. Gunawan (Ketua Indonesia Human Right Committee for Social Justice): 081584745469
6. Siti Maemunah: 0811920462