IGJ Update – KTM IX WTO, Nusa Dua, Bali. 3-6 Desember 2013
Nasib Perjanjian Pertanian Di Tangan India, AS Siap-siap Lobby
Nusa Dua, 4 Desember 2013. Setelah dibuka kemarin (03/12) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, World Trade Organization (WTO) memulai pertemuannya pada 4 Desember 2013. Agenda pertama dari pertemuan tersebut adalah mendengarkan pernyataan umum dari masing-masing negara terkait isu perundingan yang mengemukan dalam Paket Bali.
Perbedaan pendapat muncul dari setiap pernyataan yang dibawakan oleh para pemimpin delegasi dari masing-masing negara tentang Paket Bali yang hingga hari ini masih belum mendapatkan kesepakatan, yakni Trade Facilitation dan Pertanian. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan beberapa negara yang memiliki pengaruh kuat di dalam dua perjanjian tersebut seperti Amerika Serikat (AS) dan India.
Dalam pernyataan AS sangat terlihat bahwa pertemuan WTO di Bali dapat memberikan sebuah kesepakatan terhadap perundingan yang belum dapat disepakati di Jenewa. AS juga menekankan bahwa jika pertemuan Bali tidak dapat mendapatkan kesepakatan maka dapat menghancurkan sistem perdagangan multilateral. Desakan AS agar Bali menghasilkan keputusan terhadap Paket Bali hendak memberikan tekanan
Pernyataan AS diperkuat oleh Menteri Perdagangan RI, Gita Wiryawan, menyampaikan bahwa, keberhasilan Bali adalah yang paling terpenting sehingga diperlukan political will dari seluruh pihak dan membuka peluang lebih besar bagi keberhasilan Bali.
Sedangkan India menyatakan akan tetap bertahan pada posisinya yang terakhir. Pernyataan keras yang keluar bahwa pertanian dan food security adalah hal yang sangat penting bagi India, sehingga isu tersebut tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable). India tetap mendorong agar aturan WTO, khususnya pertanian, harus diperbaiki sebagaimana usulan dari G33 yang ingin agar perjanjian pertanian di amandemen. Selain itu, India hanya menginginkan solusi permanen dari isu pertanian, bukan peace clause yang sifatnya hanya sementara. Dari hal tersebut, terlihat bahwa India tidak akan menukarkan pertanian dengan trade facilitation yang dirasa sangat tidak seimbang. Untuk itu, India meminta agar perjanjian trade facilitation dapat lebih inklusif dan menunjukan keseimbangan bagi negara berkembang dan terbelakang.
Walaupun India bertahan pada posisinya, nampaknya AS dan negara maju lainnya seperti EU dan Kanada akan mendorong India masuk ke dalam jebakannya. Hal ini terlihat dari upaya lobby-lobby yang dilakukan hari ini (04/12) dalam green room, dimana India, AS, EU, Kanada, dan Brazil akan mendiskusikan kunci penting dari isu pertanian, yaitu peace clause. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Indonesia yang selalu memposisikan dirinya sebagai fasilitator dan “honest broker”. Negosiasi yang dilakukan dalam ruang terpisah dan jauh dari sifat transparansi membuka peluang negara maju menekan India untuk bisa menerima tawarannya dan memenangkan perundingan.
Hari ini nasib perjanjian pertanian ada ditangan India. Jika terjadi perubahan posisi terhadap kepentingan India dalam proposal G33, khususnya peace clause, maka perundingan Bali akan sangat legitimasi dalam melanjutkan liberalisasi perdagangan yang mendorong isu pembangunan versi negara maju.
Seharusnya, menjaga nasib perjanjian pertanian juga menjadi tugas dari Pemerintah Indonesia yang merupakan Ketua dari G33 yang mengusulkan public stockholding for food security. Namun hal tersebut tidak terlihat dan bahkan pemerintah hendak merelakan pertanian nasional demi trade facilitation. Pemerintah Indonesia lebih sibuk menjadi ‘broker’ diantara dua negara yang berkonflik tersebut yang sangat berkepentingan terhadap keberhasilan Paket Bali, yaitu dimana ketika Trade Facilitation tercapai yang menukarnya dengan perjanjian pertanian. Hal ini akan sangat merugikan pertanian negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.***RH