Jakarta, (Antara Sumbar) – Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta tidak melupakan upaya pendukung sektor hulu perikanan, terutama bantuan pengembangan produksi bagi nelayan ikan tangkap dan budidaya menjelang integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, kata LSM “Indonesia for Global Justice”.
“Tidak ada strategi khusus dari pemerinttah untuk petani dan nelayan yang semakin terpinggirkan karena industrialisasi,” kata Manajer Riset dan Pengamatan Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti pada paparan awal diskusi terbatas “Menghadapi MEA 2015” di Jakarta, Rabu.
Menurut Rachmi rencana aksi pemerintah menghadapi MEA yang kerap dijabarkan sebelumnya, tidak strategis dan belum merata antara penguatan sektor hulu dan hilir.
Dalam rencana peningkatan daya saing produk perikanan, kata Rachmi, fokus pemerintah mayoritas mencakup kegiatan pengolahan dalam industrialisasi, dan terkesan mengabaikan pentingnya biaya produksi di tingkat petani.
Padahal, jika merujuk data IGJ, biaya produksi yang diemban nelayan cukup memberatkan. Hal itu ditambah persaingan yang tidak sehat antara nelayan ikan tangkap yang memiliki kapasitas tangkap besar dan kecil.
Misalnya, menurut Rachmi, biaya bahan bakar untuk nelayan tradisional mencakup 40 hingga 60 persen dari biaya produksi.
“Nelayan tradisional sangat bergantung pada BBM. Biaya dengan angka itu cukup memberatkan,” ujarnya.
Selain itu, IGJ menemukan data di lapangan, masih banyak oknum yang menyalurkan bahan bakar bersubsidi untuk kelompok nelayan yang menggunakan kapal dengan bobot mati di atas 30 Gross Ton (GT).
“Di lapangan ternyata masih ada yang menggunakan subsidi. Jadi nelayan kecil harus bersaing secara tidak sehat dengan kapal 30 GT (gross ton) bahkan 60 GT,” ungkap dia.
Untuk penguatan sektor hulu perikanan, salah satu caranya dapat dilakukan dengan bantuan kepada nelayan untuk modernisasi armada kapal tangkap dan juga alat tangkap secara merata. Dengan begitu, nelayan diharapkan dapat menikmati efisiensi produksi.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perikanan dan Kelautan Yugi Prayanto, sebelumnya mengatakan, untuk penguatan sektor hulu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif bagi nelayan atas hasil tngkapan ikan.
Insentitif juga menjadi kompensasi pengurangan atau penghapusan subsidi BBM yang diderita oleh nelayan. Mengenai budidaya, Yugi menilai perlu adanya penambahan volume tambak.
Menurut data IGJ, tingginya biaya produksi bagi nelayan juga berimbas pada buruknya kesejahteraan nelayan. Pada 2011, menurut data IGJ, rumah tangga perikanan miskin di Indonesia mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin secara nasional yang mencapai 31,02 juta orang. (*/sun)
http://www.antarasumbar.com/berita/nasional/d/0/346566/lsm-jangan-lupa-hulu-perikanan-hadapi-mea.html